"Hari apa lo pindah, Dan?" tanya gue.
"Minggu. Tiga hari dari sekarang," jawab Ardan, datar.
"Gue paham, kok, rasanya ninggalin sesuatu yang udah ngebuat kita nyaman."
"Emangnya lo pernah pindah rumah? Bukannya waktu itu lo bilang, lo nggak pernah pindah rumah?"
"Ya, emang nggak. Tapi, dulu, sekitar umur lima tahun, gue pernah tinggal lama di kampung halaman. Waktu gue harus balik ke Jakarta, gue merasa nggak rela. Gue udah terlanjur nyaman sama kampung halaman tempat gue lahir. Suasananya, temen-temennya, kebiasaannya, pokoknya enak, deh. Tapi, ya, apa mau dikata. Gue harus balik ke Jakarta. Dan menjalani kehidupan gue di sini."
Ardan terdiam. Ia terlihat merenung. Nggak lama dia buka suara. "Apa yang bakal gue alami nanti, sama kayak game over dalam game nggak, sih?"
"Maksudnya?" tanya gue nggak ngerti.
"Ya, gue harus mulai dari nol lagi. Dari awal lagi. Kayak main game."
Gue mengangguk pelan. Omongan Ardan mungkin ada benarnya.
Esoknya gue datang lagi ke rumah Ardan yang hari itu sudah mulai ada aktifitas mengemas barang. Di teras, nampak teronggok dua buah lemari besar yang kosong melompong. Nyokapnya Ardan nggak lama keluar dan terlihat sibuk mengatur kuli-kuli angkut yang disewa keluarganya. Ia lalu nggak sengaja melihat gue di ambang pintu pagar. "Eh, Dean? Mao nyari Ardan, ya? Tapi, maaf, Ardan-nya nggak boleh main pe'es dulu. Dia harus kemas-kemas barangnya sendiri di kamar."
"Aku nggak mao maen pe'es, Tante. Aku mao bantuin Ardan beres-beres di kamarnya," jawab gue.