Mohon tunggu...
Dean Ardeanto
Dean Ardeanto Mohon Tunggu... Seniman - Atlet gundu profesional

Manusia biasa yang hobi menulis. Suka kentut sambil tiarap.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Masa Kecilku: Demi Bermain Playstation

8 Januari 2024   08:00 Diperbarui: 8 Januari 2024   08:01 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay.com/Pexels

GUE masihlah seorang bocah ingusan, dengan kepala bau Matahari, dan ketek bau walang sangit ketika PlayStation 2 sedang hangat-hangatnya diperbincangkan. Umur gue masih sepuluh tahun kala itu, saat hampir setiap anak yang gue temui selalu membicarakan tentang betapa serunya main PlayStation 2. Sontak lama-lama pikiran gue teracuni. Dari yang tadinya cuma ngedengerin cerita mereka, lama-lama jadi kepengin main. Gue lantas bertanya dalam hati, 'gimana, ya, rasanya memainkan pe'es dua yang fenomenal itu?'

Rasa penasaran membawa gue akhirnya datang ke Nyokap pada suatu siang hari, berkata, "Bagi duit dong, Ma!"

"Buat apaan?" tanya Nyokap, menoleh. Tangannya sibuk menyetrika baju.

"Buat main pe'es. Murah, kok, Ma. Sejamnya cuma tiga rebu."

Mendengar kata murah, yang disandingkan dengan nominal tiga ribu, mata Nyokap melotot. Ia lalu dengan segera menyergah, "ITU MAHAL!"

"Tapi, itu udah tergolong murah kalo main di rental Bang Maman. Di rental lain malah ada yang empat rebu sejam."

"EH, ANAK TUYUL! LU DENGERIN, YE!" Nyokap meninggikan nada suaranya. Tangannya berkacak pinggang. "TIGA REBU ITU CUKUP BUAT JAJAN LU SELAMA TIGA HARI! TI-GA-HA-RI! SANA PERGI! MENDING MAEN YANG NGGAK PERLU NGELUARIN DUIT AJA!"

Sontak mendengar itu gue langsung ngacir kayak kucing garong yang bijinya diolesin balsem. Setahu gue, kalo dia sudah ngomong sama anaknya pake 'gue-elu', itu berarti amarahnya sudah meledak. Gue nggak mau, tuh, tetap cengo di sana saat doi sudah begitu. Bisa-bisa, besok, gue akan keluar dengan badan lebam-lebam dan tulang rusuk retak dikit (tapi nggak ngaruh).

Nggak dikasih duit buat main PS, membuat gue hanya bisa bengong setiap kali teman-teman cerita soal pengalamannya main PS 2. Seperti di sekolah misalnya, gue cuma bisa diam melongo acap kali mereka ngomongin tentang game PS 2. Momen itu membuat gue merasa seperti kambing congek: diam, celingak-celinguk nggak jelas, nggak tahu harus apa dan gimana. Itu membuat gue lalu jadi sering dicuekin ketika ngumpul dengan teman-teman di sekolah.

Namun, di antara teman sekelas yang ngomongin PS 2, ada satu teman yang gue tahu uang jajannya sedikit, tapi entah kenapa dia bisa fasih betul nyeritain pengalamannya main PS 2. Nama anak itu Surip. Dia adalah anak yang gue ketahui uang jajannya cuma seribu perak seperti gue.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun