Bubur buatannya memang harus sejak dulu kuakui, lezat sekali. Apalagi, bumbu itu lebih terasa lengkap kini, ada kelembutan hati yang begitu mengalir di tiap kecap lidah ini. Tandas dalam sekejap. Aku pun merebahkan diri kembali,..terasa akan ringan tidurku pagi menjelang siang ini.
Belum terlelap saat lirih kudengar suara Anita, istriku, bersenandung merdu, berpadu dengan suara-suara gemerincing perkakas yang ia cuci. Juga saat harum tubuhnya melintas, dengan telaten mengayunkan sapu, membersihkan serpihan-serpihan kaca di lantai akibat ulahku.
“ Suaramu..bagus juga, coba dari dulu bernyanyi..”
“ Eh, kirain sudah pulas, Mas. Tidurlah,...biar cepet pulih..”
“ Iyaa,...bentar lagi.., hati-hati kacanya tajam..”
“ Oh,..iya. Lukamu nanti kuobati setelah tidur saja ya..”
“ He’em. Sepertinya juga, aku harus membelikanmu meja rias yang baru..”
“ Hihihi,...udah..,kapan tidurnya,..nggumam melulu,..ah”
“ Hehe.., ehmm, Maa, omong-omong,..masa nifas-mu sampai kapan...?”
“ Setahun lagi...hihihi..”
“ Yaaah...”