Sulit sekali menyiapkan jawab untuk merdu itu,..hanya getar cekat yang menjalar. Aku cukupkan waktu untuk hela nafas begitu berat,..aku ingin dia tahu,..aku baik-baik saja, tak perlu ia kasihani.
“ Anita. Kau...tak perlu lagi mengatakan itu. Aku baik-baik saja, tak usah lagi kau peduli...”
“ Mas,...a...aku..”
“ Pergilah..., jika memang ini waktunya. Percayalah,..aku baik-baik saja. Nanti aku pasti bangkit lagi. Aku yang meminta maaf,..aku malu,..mati-matian berusaha membenci dan kasar padamu....”
Kukira jaminan jawabku itu akan menenangkan isaknya. Pandangku menerawang pada kaca jendela yang telah lama ia buka. Matahari telah terang ternyata, langit di sana tampak begitu biru, jernih tanpa sebongkah awanpun yang menodainya. Tapi ternyata tangis itu tak henti, makin beriak bahkan sesak nafasnya pun terdengar.
Tak kusangka, Anita menghambur memeluk kedua lututku dengan jari-jari lentiknya yang tampak bergetar. Tiada dayaku menghindar, seolah tertancap sebuah paku yang begitu besar. Ahh.., aku hampir tak mampu mengendalikan diri karena hempasan harapan yang memercik kembali,..namun berusaha keras mengikatnya, tak ingin membiarkan mimpi itu muncul lagi dan berujung kecewa. Berani sekali kini aku, menatap wajah dan matanya yang basah, ...begitu lama, tak peduli, aku ingin memandang keindahan yang sempurna ini. Basah bibirnya membias terbuka,..lirih berkata,..
“ Ampun..., mas. Aku mohon...”
“ A..apa.., Anita..”
“ Kalau bencimu padaku sudah terlanjur datang,..aku sungguh berharap, buka kembali hatimu untukku...Biarlah,..aku.., pe..pelacurmu.., mengabdi padamu...”
“..kau...”
“ Aku.., mengaku,..mencintaimu...”