“ Hahahahahaha...., sorry..sorry, bercanda. Buatkan aku surat cuti!”
“ Be..berapa hari, Pak?”
“ Terserah kamu...!”
Lalu aku gegas beranjak pergi, aku tahu Linda mematung bingung dengan perintahku yang tak jelas juntrungannya. Yang jelas aku ingin segera pergi sekarang, tapi tak tahu hendak kemana. Satu hal yang pasti, ingin menghilangkan bayangan wajah Anita yang mungkin sekarang mengerang kesakitan karena tiba saatnya melahirkan. Bukan anakku yang ia perjuangkan! Itu anak Roland!
Anita memanggil-manggil namaku? Membutuhkan hadirku? Bohong besar! Aku tak percaya! Jika benar iya, ...bukankah aku telah membencinya?...Arrrgh,..kepalaku pusing, seperti hendak pecah..!]
.
.
Berputar-putar tak tentu tujuan, akhirnya memang hal itu yang aku lakukan. Dengan pengecut, berkehendak lari dari kenyataan, ponsel pun sengaja aku matikan. Satu hal yang sesungguhnya aku takutkan, yaitu jika benda ini kembali berdering, seiring kabar yang akan membuatku lagi-lagi berada dalam lemah hati yang harus kuhindari. Perasaanku harus tetap kujadikan mengeras,..tak ingin terlena dengan sekejap saja muncul lintasan angan yang menumbuhkan kembali rasa sayangku kepada Anita. Karena aku yakin, kalau sedikit saja benih itu kupelihara, maka dalam sesaat akan merambat racun berbisa dari sulur-sulurnya lalu menjeratku dalam kesesakan yang akan sangat mematikan. Sesulit apapun, hingga kini, hanya satu yang harus selalu kutumbuhkan tertuju pada wanita tak tahu diri ini,...akar-akar kebencian yang harus tetap ada.
Entah harus kemana lagi putaran roda ini kutempuhi. Terik siang telah bergeser menjadi senja, juga ketika senja terus meredup mencapai malam, saat kerlip kerjap lampu-lampu jalan telah mulai ternyalakan,..penuh warna warni yang seharusnya indah, tapi tidak bagiku, semua menjadi tampak menyilaukan dan membuat jiwaku begitu terasa gerah.
Kujelajah begitu banyak keramaian,..mengukur ruas-ruas jalan, tempat yang akan memberikan penghiburan, juga sudut-sudut yang memberikanku kesempatan untuk menyendiri, namun tak ada yang bisa memberikan aku sedikit saja kelegaan. Dari titik ke titik yang kusambungkan dengan garis-garis bayang, hanya berujung pada kebuntuan dan kebuntuan. Tersendat,..mampat, menggumpal menyesakkan, serupa dengan hampir setiap bilah jalanan ibu kota yang kulingkari, tak pernah terurai segala kemacetan.
Hingga malam pun semakin tua, ketika setiap ruas mulai ditelan sunyi, ..deru mesin yang kujalankan masih saja gamang membelah penampakan tiang- tiang, sedikit bisu pepohonan,dan angkuhnya gedung-gedung beton bertulang, yang tersiram sinaran kerlip cahaya, lalu pantulkan bentuk hitamnya gambar-gambar kelam yang melekat pada permukaan aspal. Bayangan-bayangan yang menyajikan kehampaan, temaram seolah raksasa-raksasa marah kehausan, juga hembusan angin yang sertainya mengguratkan samar lambaian-lambain tangan...layaknya ucapan salam perpisahan, tanpa hangatnya harapan bahwa ada kepastian nanti akan berjumpa kembali.