Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kecupan di Ujung Penantian (Selesai)

7 September 2012   11:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:48 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Cerita sebelumnya,

[Aku membutuhkan hari-hari untuk lari dari segala simpul yang menjadikanku seperti manusia linglung ini. Entah apa yang ingin meledak, rasanya ingin berteriak kencang di lembah yang paling dalam, hingga gaungnya memantul bersahutan. Atau tertawa sebahak-bahaknya sampai serak dan mengalirkan panasnya air mata.

Sintingnya aku, hingga Linda, sekretaris manisku yang rajin bekerja ini harus menjadi korban gundahku.

“ Linda!..kesini kamu!”

Gadis mungil ini dengan gesit dan agak tergopoh datang karena teriakan kerasku.

“ Iya, Pak.., ada apa?”

“ Kamu sudah punya pacar?”

“ Be..belum, Pak. Ke..kenapa?”

“ Sebentar lagi, aku datang melamarmu! Kamu harus mau, okay!”

Linda pun sekejap pias, terkesiap dalam kejut dan cengang.

“ Mak..sud, Pak Surya?..Ba.., bapak kenapa, sih..?”

“ Hahahahahaha...., sorry..sorry, bercanda. Buatkan aku surat cuti!”

“ Be..berapa hari, Pak?”

“ Terserah kamu...!”

Lalu aku gegas beranjak pergi, aku tahu Linda mematung bingung dengan perintahku yang tak jelas juntrungannya. Yang jelas aku ingin segera pergi sekarang, tapi tak tahu hendak kemana. Satu hal yang pasti, ingin menghilangkan bayangan wajah Anita yang mungkin sekarang mengerang kesakitan karena tiba saatnya melahirkan. Bukan anakku yang ia perjuangkan! Itu anak Roland!

Anita memanggil-manggil namaku? Membutuhkan hadirku? Bohong besar! Aku tak percaya! Jika benar iya, ...bukankah aku telah membencinya?...Arrrgh,..kepalaku pusing, seperti hendak pecah..!]

.

.

Berputar-putar tak tentu tujuan, akhirnya memang hal itu yang aku lakukan. Dengan pengecut, berkehendak lari dari kenyataan, ponsel pun sengaja aku matikan. Satu hal yang sesungguhnya aku takutkan, yaitu jika benda ini kembali berdering, seiring kabar yang akan membuatku lagi-lagi berada dalam lemah hati yang harus kuhindari. Perasaanku harus tetap kujadikan mengeras,..tak ingin terlena dengan sekejap saja muncul lintasan angan yang menumbuhkan kembali rasa sayangku kepada Anita. Karena aku yakin, kalau sedikit saja benih itu kupelihara, maka dalam sesaat akan merambat racun berbisa dari sulur-sulurnya lalu menjeratku dalam kesesakan yang akan sangat mematikan. Sesulit apapun, hingga kini, hanya satu yang harus selalu kutumbuhkan tertuju pada wanita tak tahu diri ini,...akar-akar kebencian yang harus tetap ada.

Entah harus kemana lagi putaran roda ini kutempuhi. Terik siang telah bergeser menjadi senja, juga ketika senja terus meredup mencapai malam, saat kerlip kerjap lampu-lampu jalan telah mulai ternyalakan,..penuh warna warni yang seharusnya indah, tapi tidak bagiku, semua menjadi tampak menyilaukan dan membuat jiwaku begitu terasa gerah.

Kujelajah begitu banyak keramaian,..mengukur ruas-ruas jalan, tempat yang akan memberikan penghiburan, juga sudut-sudut yang memberikanku kesempatan untuk menyendiri, namun tak ada yang bisa memberikan aku sedikit saja kelegaan. Dari titik ke titik yang kusambungkan dengan garis-garis bayang, hanya berujung pada kebuntuan dan kebuntuan. Tersendat,..mampat, menggumpal menyesakkan, serupa dengan hampir setiap bilah jalanan ibu kota yang kulingkari, tak pernah terurai segala kemacetan.

Hingga malam pun semakin tua, ketika setiap ruas mulai ditelan sunyi, ..deru mesin yang kujalankan masih saja gamang membelah penampakan tiang- tiang, sedikit bisu pepohonan,dan angkuhnya gedung-gedung beton bertulang, yang tersiram sinaran kerlip cahaya, lalu pantulkan bentuk hitamnya gambar-gambar kelam yang melekat pada permukaan aspal. Bayangan-bayangan yang menyajikan kehampaan, temaram seolah raksasa-raksasa marah kehausan, juga hembusan angin yang sertainya mengguratkan samar lambaian-lambain tangan...layaknya ucapan salam perpisahan, tanpa hangatnya harapan bahwa ada kepastian nanti akan berjumpa kembali.

Ciiiiiiiiittttt..!!!!

Suara derit roda mobilku yang menggurat aspal jalanan, menjerit dalam lengangnya malam. Seiring pedal rem yang kuinjak begitu keras. Selisih satu depa saja, lajuku nyaris menghantam sosok yang kini tampak pias wajahnya, di seberang kaca. Terduduk gemetar, seorang wanita,..pucat..lusuh dan terlihat...hamil tua!

Meskipun ada rasa kesal, karena kurasa ia telah ceroboh menyeberang jalan, dengan berdebar gugup aku keluar dari mobil, hendak melihat keadaannya. Bagaimanapun juga,..hampir saja aku tak sengaja membunuhnya. Perlahan, kupapah dia ke pinggir jalan.

“ Mbak! Ngelamun ya?! Hati-hati dong kalau nyeberang...!”

Wanita ini palingkan wajah, matanya tajam tepat ke arahku. Ah,...aku benci sorot seperti ini. Kosong melompong penuh misteri, mengingatkanku pada siapa yang telah membuat hari-hariku kacau balau, bahkan hingga tengah malam yang lengang, berada di tempat ini. Aneh sekali, tiba-tiba bibirnya bergetar..bergumam...lalu menyeringai berseri.

“ Bang Doni...?...Kamu Bang Doniii...kaan??”

“ Bu..bukan, kamu salah orang, mbak..”

“ Bukaan?.., Oh,..iya, kamu Bang Arman,..kan?”

“ Bukan juga..”

“ Bang Tino?”

“ Bukaaaan...!” Aku mulai jengkel,..tapi ...sedikit takut.

“ Ahhh,..Bang Farid.., tak salah lagi...!”

“ Bukan....”

“ Sudahlah..! Jangan mungkir! Bang Farid,...nikahin aku! Lihat! Perutku sudah buncit...!..”

Aku setapak demi setapak..jajar ke belakang,..coba menyingkir. Perempuan tak waras..., batinku.

“ Mau lari kemana kamu, Bang? Tanggung jawab, doong! Dasar laki-laki bajingan,..semua mau enaknya sendiri..! Hiiiihhhh...!!”

Tak kusangka,..wanita ini menjadi histeris, berteriak makin kencang, lalu berusaha mencakarku. Ahhh! Aku harus menyingkir,..dia sudah gila rupanya.., perempuan gila. Tapi.., uffs, dia hamil tua..!

Aku hampir hilang akal saat entah dari mana dia bergerak begitu cepatnya, telah berhasil cengkeram lenganku. Uhh.., ....harus bagaimana ini, haruskah aku bersikap kasar? Untung saja, tiba-tiba datang seseorang laki-laki. Tampak kumal dan lusuh pula, tapi aku yakin dia waras,..saat dengan tenangnya dia meraih tangan wanita aneh, yang tampak telah dikenalnya ini.

“ Asti!...Ayo kita pulang, ini sudah malam, jangan mengganggu orang lewat..!”

“Ihhhh..!!!, kamu lagi!..kamu lagi! Bang Parta! Sudah kubilang, aku nggak mau nikah sama kamu!..Dia bukan anakmu..!”

Laki-laki yang dipanggil Parta ini tampak begitu tenangnya,..ada senyum tipis meski terlihat berat, tangannya begitu kokoh menggamit lengan wanita yang kudengar tadi bernama Asti. Kokoh,..tegas,..namun tulus tanpa kehendak menyakiti. Dengan nada sesal,..Parta menjurakan diri padaku,..suaranya sedikit terpatah-patah, tampak berusaha pula mengatur nafas, mungkin karena saat menuju ke tempat ini, dia tempuh dengan berlari.

“ Ma..maafkan dia tuan. Saya yang salah,..tadi ketiduran sampai tak tahu kalau dia keluar rumah..”

“ Nggak papa Bang. Kamu...., suaminya..?”

Parta hanya menggeleng perlahan.

“ Bukan,..baru ingin menjadi suaminya...”

Janggal. Aku pikir wanita ini istrinya, lalu dia mengandung anak siapa?

“ Nama-nama yang dia sebut tadi..siapa?”

“ Asti kebingunan, menganggap,..salah satu dari mereka harusnya tanggung jawab..”

“ Tapi,..banyak sekali? Dia hanya berkhayal..?”

“ Tidak, Tuan. Hemm...., dulu,...Asti itu memang seperti pelacur...”

Agak lirih suara Parta ketika perkataan terakhir. Agaknya ia sangat cekat untuk mengatakannya, sekaligus tersirat sebuah sikap,..itu bukan masalah lagi baginya.

“ Lalu kenapa..., kenapa..Abang...”

Hampir saja aku meluncurkan lagi sebuah tanya yang begitu deras terlintas,..namun tercegah seketika oleh debarku sendiri yang berperintah menghentikannya. Namun, meski tak tuntas kalimat tanyaku,..Bang Parta tampak mengerti,..tapi hanya berdiam diri. Mungkin memang berat untuk menjawab,...atau.., atau.., aku kira dia tak memiliki jawabannya.

Sambil berusaha sedikit menyeret Asti yang terus meronta, Bang Parta perlahan menyingkir.

“ Permisi, Tuan. Sekali lagi..maafkan dia..”

“ Beneran,...nggak papa kok,..Bang..”

“ Silahkan Tuan kembali jalan,..Sudah begitu malam,..Tuan tampak kelelahan juga..”

Aku hanya mengangguk pelan. Memang, aku lelah sekali. Beringsut..semakin lama sosok mereka perlahan menyingkir. Masih terdengar sayup suara penolakan Asti,..bersambut dengan hardik sang lelaki yang terlihat begitu keras namun ..sekali lagi..tak tersirat menyakiti. Kubiarkan bayangan dan sayup suara mereka itu hingga benar-benar tak terdengar, setelah bayangan mereka menghilang tertelan sebuah gang sempit di tepi jalan ini, juga remangnya malam.

Lunglai langkah kakiku kembali menuju kendaraanku. Kunyalakan mesin kembali, hari memang telah meliuk jauh malam. Parta benar, sebaiknya aku pulang. Hmm..Parta, ..dasar lelaki bodoh! Eh,..siapa? aku?..Parta? Hmmph! Dua-duanya, terjebak dalam perasaan tak berguna!

Hoaahmm! Aku benar-benar letih sekali. Segala-galanya. Harus segera tiba di rumah. Rumah yang pasti kini gulita karena tak ada lampu yang dinyalakan, sebab Anita tak ada lagi. Ah,..lengang pasti, seperti jalanan ini. Baguslah! Aku akan bebas kembali,... lalu menghempaskan diri dalam tidur yang panjang,..panjaang, hingga segalanya terlupakan.

***

Dan kini,..telah menginjak malam yang  ketiga sejak aku meniatkan hati untuk lari. Menjauh..pergi..terbang..sesuka hati..., membuang segala cerita yang secara nyata telah aku jalani selama hampir setahun ini. Enyahkan mimpi,..menghapus segala sisa bilur-bilur luka membekas pada tiap sudut rumah ini.

Merayakan kemenangan,..oh..tunggu, kemenangan atau kekalahan? Tidak! Aku harus yakinkan diri bahwa aku telah menang. Aku telah tunjukkan pada Anita, wanita angkuh itu, bahwa ia tak berarti lagi bagiku,..telah bersiap diri tentang datangnya waktu ini, saat dia akan pergi...dan pernikahan palsu ini diakhiri.

Pergilah Anita...sejauh-jauhnya, tak usah kembali lagi. Tak ada lagi cinta itu untukmu,...tak ada tersisa! Terkubur, terpendam,...tak akan pernah bersemi lagi meski hanya dalam mimpi!

Hahahaha! Kamu kalah Anita! Lihatlah! Aku berhasil membencimu,..terbukti! Kau telah rasakan sendiri hinaanku,..kejamku,..tamparku...! Kau jelas tak berarti bagiku lagi!

Prang!...

Kuhantam cermin itu hingga retak terbelah,..buku kepalku memercikkan darah. Benda ini selalu saja mementahkan hingar bingarku, karena dia  tak pernah sependapat denganku, bahkan seringai cibiran itu...

“ Hoi...! Lelaki kerdil! Apa kau bilang? Kamu menang?...hahahaha! Kamu kalah telak, tolooollll...!”

Bangsaaat!!!

Prang..! Pyar..!

Ku pecahkan kembali hingga kaca-kaca itu berkeping. Serpihnya berserakan di lantai,...berbaur dengan percik-percik darahku yang menetes lebih deras.., ada pedih....tapi tersamar surup amarah.

“ Aku menang!..Aku baik-baik saja...!”

“ Hahaha....!, pecundang!..Kalau kamu menang, mana??...apa kau buta?..Lihat kamu berantakan tanpa secuilpun asa,..kusut masai...putus asa. Akui saja,...kamu tak bisa melupakannya, kamu masih takut perpisahan ini.... Akui saja, kamu belum bisa,..belum bisaaa!...”

Dia makin keras berbisik.

“ Jujur saja...kamu belum mampu memendamnya,..wajahnya,..rindumu masih melekat pada tiap senti ruang rumah ini..Kamu menyesal menyakitinya kan? Tak berhasil membencinya? Kau masih berharap...pesan mertuamu itu benar kan? Anita terus memanggilmu...membutuhkanmu! Kamu tak percaya itu! Tapi, ingin hal itu terjadi kaaan? Hahahaha.....!”

Aku tak mau lagi menatap cermin yang telah berkeping-keping itu. Dia jelas telak tak salah. Ah..sudahlah,..untuk apa aku malu pada kata hati itu. Kenyataannya, aku memang gagal,..kalah..., Anita..., kamu benar-benar menaklukkan aku.., aku menangisi kepergianmu. Rumah ini terasa sepi tanpamu, meski selama ini hanya terisi dingin dan beku raut wajahmu. Anita,...sakitkah persalinanmu? Bagaimana kau sekarang? Anakmu sehat? Laki-laki...ataukah perempuan? Ijinkan aku berkhayal..., cerita ibumu bahwa kau membutuhkan aku itu benar..

Malam semakin larut..sunyi. Tubuhku semakin lelah,..begitu banyak titik darah tercurah. Perih.., namun ada yang lebih pedih,..di sudut dada lalu mengalir ke cekat kerongkongan,...lalu pecah membasah di mata. Biarlah aku kembali mempermalukan diri,..di pembaringan ini, kudekap busana tidur yang sering dikenakan Anita,...membelainya dengan mesra. Ahh,..mungkin aku sudah gila.., aku membangkitkan kembali mimpi yang seharusnya kuanggap mati.., berkhayal..aku dan dia benar-benar menjadi sepasang suami istri...yang sesungguhnya. Hanya itu malam ini yang mampu membuat tidurku sedikit terlelap.

Aku berjanji,...esok hari akan terjaga dengan hati yang lebih tegar menerima segala kenyataan yang ada. Tak perlu lagi aku memaksakan rasa benci,..harapan itu tetap harus dikubur kembali,..aku harus merelakannya pergi jika memang itulah yang akan membuatnya bahagia..., mungkin itu akan lebih berarti, rasa sakit karena berharap memiliki itu harus mampu aku tepiskan,..meskipun itu tak semudah segala teori,...teori tentang cinta yang aku sendiri sekian lama sungguh tak berani mengatakan mengerti.

***

Entah berapa lama aku terlelap bagai orang mati, tanpa sedikitpun berhias mimpi. Hanya berkerjap hendak terjaga, ketika mataku terasa semakin basah. Bukan oleh air mataku,..ada tetesan-tetesan sejuk yang jatuh menambahkannya. Awal mulanya samar,..lalu saat kelopakku perlahan melebar, wajah itu mulai jelas tergambar. Sejenak aku ragu, semula kuanggap ini masih bagian dari mimpi, tapi rasa perih di buku jemari membuatku lebih pasti. Ini nyata,..dia.., yang terduduk di tepi pembaringan,..tepat dihadapku itu...Anita. Wajah cantiknya tampak lelah,...berlinang deras air mata, juga bahunya yang berguncang bagai bahtera diterpa badai,..isaknya pun tampak tertumpah.

Mungkin karena aku belum begitu tersadar, masih terbalut aroma terlelap, hingga aku hanya menatap nanar, menikmati pesona ini. Semburatnya bagai melihat dia di masa dulu,..tak ada terlihat salju,..bisu, juga keangkuhan mendung yang beku. Tapi itu hanya sesaat,..ketika sepenuhnya mengingat, aku terlonjak dalam muka yang memerah,..entah kemana hilangnya rasa hendak marah, yang lebih memberontak adalah rasa malu yang demikian parah.

“Kenapa kau tak ketuk pintu dulu...”

“ Pintunya...., tidak terkunci...”

Kuberanikan diri kembali menatap wajahnya. Ah,..jauh berbeda. Sepertinya sekarang dia telah lega,..kini akhir dari semua, dengan hasil kemenangan penuhnya. Bahkan ia tahu,..aku hanya pecundang,..mencoba membenci tapi tertangkap basah tak henti merindunya. Tapi,..untuk apa isak dan air matanya? Air mata bahagia? Atau,...pura-pura berbelas kasihan?

Terpaksa aku memalingkan wajah, sungguh,..tetap saja aku tak sanggup menantang wajahnya. Debar-debar ini selalu tersulut membesar. Ah,..cukuplah Anita, aku tak ingin akhir kisah ini terlalu membekas sakitnya. Tapi, kudengar isaknya tak juga reda,..juga rimbang air mata yang dari dulu ingin aku lihat itu,..juga,..suara lembutnya yang kini begitu jauh berbeda.

“ Mas,..maafkan aku,..karena aku kau menjadi seperti ini..”

Sulit sekali menyiapkan jawab untuk merdu itu,..hanya getar cekat yang menjalar. Aku cukupkan waktu untuk hela nafas begitu berat,..aku ingin dia tahu,..aku baik-baik saja, tak perlu ia kasihani.

“ Anita. Kau...tak perlu lagi mengatakan itu. Aku baik-baik saja, tak usah lagi kau peduli...”

“ Mas,...a...aku..”

“ Pergilah..., jika memang ini waktunya. Percayalah,..aku baik-baik saja. Nanti aku pasti bangkit lagi. Aku yang meminta maaf,..aku malu,..mati-matian berusaha membenci dan kasar padamu....”

Kukira jaminan jawabku itu akan menenangkan isaknya. Pandangku menerawang pada kaca jendela yang telah lama ia buka. Matahari telah terang ternyata, langit di sana tampak begitu biru, jernih tanpa sebongkah awanpun yang menodainya. Tapi ternyata tangis itu tak henti, makin beriak bahkan sesak nafasnya pun terdengar.

Tak kusangka, Anita menghambur memeluk kedua lututku dengan jari-jari lentiknya yang tampak bergetar. Tiada dayaku menghindar, seolah tertancap sebuah paku yang begitu besar. Ahh.., aku hampir tak mampu mengendalikan diri karena hempasan harapan yang memercik kembali,..namun berusaha keras mengikatnya, tak ingin membiarkan mimpi itu muncul lagi dan berujung kecewa. Berani sekali kini aku, menatap wajah dan matanya yang basah, ...begitu lama, tak peduli, aku ingin memandang keindahan yang sempurna ini. Basah bibirnya membias terbuka,..lirih berkata,..

“ Ampun..., mas. Aku mohon...”

“ A..apa.., Anita..”

“ Kalau bencimu padaku sudah terlanjur datang,..aku sungguh berharap, buka kembali hatimu untukku...Biarlah,..aku.., pe..pelacurmu.., mengabdi padamu...”

“..kau...”

“ Aku.., mengaku,..mencintaimu...”

Tercekat. Kurasa bagai tak ada setitik pun basah di kerongkongku,..begitu kering dan serak.

“ Roland..? bukankah...hanya dia..?”

“ ...Dia,..sudah lama mati sejak dulu,..sejak dia masih hidup,..”

“ Maks...maksudmu..?”

“ Maafkan aku,..sejak dulu berbohong padamu. Karena dulu,..aku begitu rendah diri di depanmu..., ternyata sikapku itu sebuah salah...”

“ An.., Anita,..aku masih belum mengerti..”

“ Roland telah lama mati bagiku,...sejak dia selalu kejam saat aku belum juga menggugurkan janin itu....Sikapku padamu selama ini,..hanya karena merasa tak pantas buatmu..”

Aku terpana dengan semua ini, berharap sungguh bahwa yang kurasakan bukanlah sebuah mimpi. Tuhan,..jika ini hanya mimpi, jangan bangunkan aku dari lelap ini,..aku siap mati demi ini,..karena sungguh, belum pernah ku merasakan keindahan ini. Sulit untuk mengucap kata,..aku tak ingin menjadi terjaga karenanya. Hanya hendak mendengar merdu suaranya saja..

“ Mas,..kau benar telah membenciku..?”

Kuhanya menggeleng.

“ Sediakah menerima aku kembali...?”

Angguk kepalaku mantap.

“ Berkatalah, Mas. Kau mau belajar lagi, menumbuhkan rasa yang dulu pernah ada,.. untukku?”

Beberapa jeda kami terdiam, hanya saling memandang. Dia tampak menunggu suaraku, setelah angin sejuk yang menyela dari sela-sela daun jendela.

“ Anita,..rasa itu tak pernah mampu aku matikan. Masih selalu bersemayam...”

Anita tersenyum,..indah sekali. Sekarang, aku yakinkan diri, semua ini bukanlah mimpi. Sepakat untuk mengistirahatkan segala kata, semua habis tercurahkan. Ku busai wajah beningnya pada kedua telapak tanganku. Damai sekali saat ia raih dan mengecup punggung tanganku. Ada perih bekas luka itu, semakin jelas bahwa saat ini benar-benar nyata. Pagutan kami pun begitu lamanya, lalu pelukan yang begitu erat bagai tak ingin terpisah meski sedetik saja. Tak ada,..tak ada di antara kami yang ingin meniatkan diri mengakhiri.

“Mas..., Mas Surya. Udah..ah,...ada yang rembes, nih..”

“ Hah?..apa.., rembes..?”

“ ASI-ku, mas.., kegencet...”

Ufss!..Astaga,..kenapa aku bisa lupa. Keterlaluan, aku benar-benar terlena hingga mengabaikan yang seharusnya aku pun perhatikan.

“ Maaf..., maaf,...Anita,..bagaimana persalinanmu, ..anakmu,..cewek apa cowok? baik-baik saja..,kan?”

“ Anak kita, Mas. Kalau kau tak keberatan..”

“ Ahhh,..tentu..tentu,..sejak dulu aku hanya menanti ijinmu..”

“ Dia sehat mas,..cewek,..cantik...”

“ Mana..., mana dia..?”

“ Sementara,..kutitipkan di rumah ibu, Mas..”

Aku bergegas turun dari ranjang,..meraih kunci mobil di atas meja rias, yang cerminnya semalam telah kupecahkan. Limbung tubuhku menyadarkan, ternyata kondisiku sedemikian lemah, mungkin baru sekarang semua terasa,...apalagi setelah banyak kehilangan darah.

“ Mas..! Mau kemana? Mas belum sehat benarrr..!”

“ Ayo,..kita jemput dia pulang.., segera..”

“Nanti sore saja, Mas. Kau harus istirahat biar pulih dulu. Dari kapan Mas belum makan? Aku bawakan bubur ayam kesukaanmu. Lagian, lihat,..aku harus merapikan rumah ini. Berantakan sekali sejak beberapa hari aku tak di sini”

“ Hmmh,..baiklah kalau begitu..”

“ Istirahat dulu ya, Paaa..”

“ Iyaaa,..Maaaa..”

Bubur buatannya memang harus sejak dulu kuakui, lezat sekali. Apalagi, bumbu itu lebih terasa lengkap kini, ada kelembutan hati yang begitu mengalir di tiap kecap lidah ini. Tandas dalam sekejap. Aku pun merebahkan diri kembali,..terasa akan ringan tidurku pagi menjelang siang ini.

Belum terlelap saat lirih kudengar suara Anita, istriku, bersenandung merdu, berpadu dengan suara-suara gemerincing perkakas yang ia cuci. Juga saat harum tubuhnya melintas, dengan telaten mengayunkan sapu, membersihkan serpihan-serpihan kaca di lantai akibat ulahku.

“ Suaramu..bagus juga, coba dari dulu bernyanyi..”

“ Eh, kirain sudah pulas, Mas. Tidurlah,...biar cepet pulih..”

“ Iyaa,...bentar lagi.., hati-hati kacanya tajam..”

“ Oh,..iya. Lukamu nanti kuobati setelah tidur saja ya..”

“ He’em. Sepertinya juga, aku harus membelikanmu meja rias yang baru..”

“ Hihihi,...udah..,kapan tidurnya,..nggumam melulu,..ah”

“ Hehe.., ehmm, Maa, omong-omong,..masa nifas-mu sampai kapan...?”

“ Setahun lagi...hihihi..”

“ Yaaah...”

Anita pun beranjak ke ruang tengah, benar juga, anda dia berlama-lama menyapu lantai kamar ini, aku tak bakalan tertidur. Dia pun tetap bersenandung dengan renyah,..ah sungguh indah. Belum terasa lelap benar, saat sayup-sayup kudengar ia memutar keping lagu,...uffs..lagu itu, aku memang menyukainya, tapi sedikit membuat malu..

“Would you swear

That you'll always be mine?

Or would you lie?

Would you run and hide?

Am I in too deep?

Have I lost my mind?

I don't care

You're here tonight.


I can be your hero, baby.

I can kiss away the pain.

I would stand by you forever.

You can take my breath away.”

“ Aduuuh,..lagu itu bikin aku malu saja,..ah..”

“ Ya, ampun, Mas. Belum tidur juga..?”

“ Belum...”

“ Biarin, ah, aku suka lagi ini kok. Udahlah,...tidur..tiduur..”

Hmm. Ya, sudahlah. Terus terang, aku juga memang selalu suka lagu itu. Nampaknya cocok untuk mengiringi lelapku. Hero?..ah,..I can be..., I can be.., demi kamu,..istriku.

Kembali selintas pandangku menerawang pada kaca jendela yang telah lama ia buka. Matahari telah semakin terang ternyata, langit di sana tampak begitu biru, jernih tanpa sebongkah awanpun yang menodainya. Kemarau ini memang begitu panjang, entah kapan akan turun hujan. Namun, yang penting saat ini aku bersyukur karena retak-retak tanah gersangku telah tersembuhkan oleh mencairnya mendung dan bongkahan salju, telah datang kesejukan yang sedari lama kurindukan itu. Penantian ini begitu panjang,...namun kecupan-kecupan itu meluruhkan kegersangan.

Dan akupun kini benar-benar ringan terlelap.

(SEKIAN)

.

.

C.S.

Tamat. Maaf, panjang.

Terima kasih banyak untuk yang sedia luangkan waktu membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun