Aku tak mau lagi menatap cermin yang telah berkeping-keping itu. Dia jelas telak tak salah. Ah..sudahlah,..untuk apa aku malu pada kata hati itu. Kenyataannya, aku memang gagal,..kalah..., Anita..., kamu benar-benar menaklukkan aku.., aku menangisi kepergianmu. Rumah ini terasa sepi tanpamu, meski selama ini hanya terisi dingin dan beku raut wajahmu. Anita,...sakitkah persalinanmu? Bagaimana kau sekarang? Anakmu sehat? Laki-laki...ataukah perempuan? Ijinkan aku berkhayal..., cerita ibumu bahwa kau membutuhkan aku itu benar..
Malam semakin larut..sunyi. Tubuhku semakin lelah,..begitu banyak titik darah tercurah. Perih.., namun ada yang lebih pedih,..di sudut dada lalu mengalir ke cekat kerongkongan,...lalu pecah membasah di mata. Biarlah aku kembali mempermalukan diri,..di pembaringan ini, kudekap busana tidur yang sering dikenakan Anita,...membelainya dengan mesra. Ahh,..mungkin aku sudah gila.., aku membangkitkan kembali mimpi yang seharusnya kuanggap mati.., berkhayal..aku dan dia benar-benar menjadi sepasang suami istri...yang sesungguhnya. Hanya itu malam ini yang mampu membuat tidurku sedikit terlelap.
Aku berjanji,...esok hari akan terjaga dengan hati yang lebih tegar menerima segala kenyataan yang ada. Tak perlu lagi aku memaksakan rasa benci,..harapan itu tetap harus dikubur kembali,..aku harus merelakannya pergi jika memang itulah yang akan membuatnya bahagia..., mungkin itu akan lebih berarti, rasa sakit karena berharap memiliki itu harus mampu aku tepiskan,..meskipun itu tak semudah segala teori,...teori tentang cinta yang aku sendiri sekian lama sungguh tak berani mengatakan mengerti.
***
Entah berapa lama aku terlelap bagai orang mati, tanpa sedikitpun berhias mimpi. Hanya berkerjap hendak terjaga, ketika mataku terasa semakin basah. Bukan oleh air mataku,..ada tetesan-tetesan sejuk yang jatuh menambahkannya. Awal mulanya samar,..lalu saat kelopakku perlahan melebar, wajah itu mulai jelas tergambar. Sejenak aku ragu, semula kuanggap ini masih bagian dari mimpi, tapi rasa perih di buku jemari membuatku lebih pasti. Ini nyata,..dia.., yang terduduk di tepi pembaringan,..tepat dihadapku itu...Anita. Wajah cantiknya tampak lelah,...berlinang deras air mata, juga bahunya yang berguncang bagai bahtera diterpa badai,..isaknya pun tampak tertumpah.
Mungkin karena aku belum begitu tersadar, masih terbalut aroma terlelap, hingga aku hanya menatap nanar, menikmati pesona ini. Semburatnya bagai melihat dia di masa dulu,..tak ada terlihat salju,..bisu, juga keangkuhan mendung yang beku. Tapi itu hanya sesaat,..ketika sepenuhnya mengingat, aku terlonjak dalam muka yang memerah,..entah kemana hilangnya rasa hendak marah, yang lebih memberontak adalah rasa malu yang demikian parah.
“Kenapa kau tak ketuk pintu dulu...”
“ Pintunya...., tidak terkunci...”
Kuberanikan diri kembali menatap wajahnya. Ah,..jauh berbeda. Sepertinya sekarang dia telah lega,..kini akhir dari semua, dengan hasil kemenangan penuhnya. Bahkan ia tahu,..aku hanya pecundang,..mencoba membenci tapi tertangkap basah tak henti merindunya. Tapi,..untuk apa isak dan air matanya? Air mata bahagia? Atau,...pura-pura berbelas kasihan?
Terpaksa aku memalingkan wajah, sungguh,..tetap saja aku tak sanggup menantang wajahnya. Debar-debar ini selalu tersulut membesar. Ah,..cukuplah Anita, aku tak ingin akhir kisah ini terlalu membekas sakitnya. Tapi, kudengar isaknya tak juga reda,..juga rimbang air mata yang dari dulu ingin aku lihat itu,..juga,..suara lembutnya yang kini begitu jauh berbeda.
“ Mas,..maafkan aku,..karena aku kau menjadi seperti ini..”