"Ya sepi lah, lihat yang tadi duduk dekat pintu masuk. Harga minumnya saja itu daun biru."
"Bukannya kamui belum pernah ke sini? Dari mana kamu tahu harga minum itu?"
"Aku pernah lihat di supermarket, tiga botol daun merah. Ini restoran mewah, mungkin satu botol daun biru atau bisa saja lebih."
"Gila, untung kita batal masuk ke sana. Sudah cari restoran lain saja."
"Ide kamu kan ke sini, ya kan?"
Arman punya ide berikutnya untuk makan masakan kaki lima, tetapi perutnya sudah berbunyi pertanda lapar. Aku mengajaknya masuk ke pusat perbelanjaan di sebelah gedung tadi untuk mengisi perut, kali ini aku sebagai tuan rumah ingin mentraktirnya, masak tamu yang mentraktir tuan rumah? Kami melangkahkan kaki ke restoran tempat bosku biasanya mengajak para pegawai makan bersama. Selesai makan, kami melangkahkan kaki ke kasir dan aku menyerahkan kartu kreditku.
"Maaf, Mas. Kartu kreditnya tidak bisa dipakai."
"Ini limitnya masih besar kok. Tidak ada blokir juga dari banknya. Dicoba lagi."
"Maaf, Mas. Sepertinya mesin EDC kami bermasalah, sebentar kami perbaiki."
"Gak usah, Mas. Tang, sudahlah, aku bayar pakai uang tunai saja. Biar kita bisa jalan-jalan lagi."
"Jangan, Man."