"Buruan, Mbak. Dibuat yang cepat sebelum selera makan saya luntur."
Makanan diantar oleh rekannya lelaki, dia datang ke meja kami dan meletakkan makanannya satu per satu. Begitu selesai pekerjaannya, dia menatap kami keheranan dan Arman langsung melambaikan tangannya di depan mata lelaki itu.
"Mas, kenapa? Nanti kesambet, buruan balik lagi ke posisimu."
"Ini dua orang kan, Pak? Atau mata saya buram?"
"Mau dua orang, kek. Mau tiga orang, kek. Jelas gak penting buat kamu. Awas dibentak bosmu."
Jangankan dua pelayan tadi, aku pun bingung makanan sebanyak ini dipesan untuk sekali makan, tetapi lebih baik segera menyantapnya satu per satu sebelum Arman marah lagi.
"Ayo, Tang. Dimakan, Tang. Kamu makannya kurang lahap nih, bagaimana mau memotivasi aku makannya banyak? Sayang, Tang. Sudah datang ke Jakarta, mau aku coba semua dari makanan pembuka sampai penutup. Eits! Aku tahu apa penyebabnya, kekenyangan toh? Makanya, jangan pakai celana panjang nan ketat. Ini bukan kantor, Tang. Kamu bukan sedang bertemu RI 1 atau konglomerat kelas kakap, Tang."
"Jadi ini alasanmu pakai celana pendek? Kenapa gak bilang-bilang dulu, Man, Man."
Kami tertawa lepas. Satu jam berlalu, makanan di atas meja sudah ludes semua. Arman memanggil pelayan, membayar tagihan dengan lembaran-lembaran merah yang masih sangat licin dan mulus. Ketika pelayan itu datang memberikan kembalian, Arman memberikan semuanya kepadanya, sungguh luar biasa.
Tak jauh dari kawasan Gajah Mada, terdapat kawasan lain yang terkenal dengan barang berharga murah, apa lagi kalau bukan Mangga Dua. Jujur saja, kalau bukan karena Arman, aku tak pernah mau ke sini. Bukan karena aku sombong, tetapi aku takut dengan gedung parkirnya yang bagaikan roller coaster. Sampai di sana, aku memarkirkan mobilku di depan konter valet.
"Tang, ngapain kita parkir di sini? Ini bukan tempat parkir."