"Ya sudah."
Beruntunglah ada bus yang bisa mengantar kami langsung ke tujuan tanpa harus transit terlebih dulu. Sepanjang perjalanan, Arman terlihat jengkel meskipun kami berdua bisa duduk dengan nyaman, itu semua terjadi karena ada seorang remaja merokok tanpa rasa bersalah di dalam bus dan tak kunjung sadar sebelum didatangi petugas pengamanan bus, sampai-sampai dia menilai kehidupan sebagian masyarakat di kota ini masih belum sesuai dengan tempat tinggalnya, hidup tak berpendidikan di kota yang modern dan menjanjikan segalanya. Dia tak salah, kemarin ketika berbelanja dia melihat lebih banyak lagi orang merokok dan membuang sampah sembarangan dengan santainya. Akhirnya kami sampai di halte tujuan, berjalan sedikit, dan masuk ke kantor pemasaran.
Dengan penampilan kami seperti ini ditambah tubuh yang sedikit berkeringat, sales memandang kami sebelah mata. Ketika pengunjung lain ditawarkan kopi dan teh manis, kami tidak. Ketika pengunjung lain dilayani dengan sabar, sales kami justru bersikap ogah-ogahan dan malah menatapi layar gawainya. Ketika pengunjung lain diajak menumpang mobil milik pengembang ke lokasi proyek, kami malah diajak berjalan kaki. Arman menolak dan geram, dia berdalih kepada sales bahwa dia tak perlu ke lokasi proyek dan hanya butuh sedikit waktu untuk memilih tipe rumah. Belum selesai dengan kami, sales sudah melayani pengunjung lain lagi dan akhirnya Arman memilih angkat kaki sebelum langkahnya terhenti tepat di depan pintu kantor pemasaran.
"Halo, Man, Tang. Masih ingat aku tidak?"
"Can, Candra! Halo, Candra! Kamu ke sini mau beli rumah?"
"Bukan, aku sales di sini. Kalian ke sini mau beli rumah?"
"Arman yang mau beli rumah, Can."
"Can, rekanmu itu menyebalkan, sangat. Kami boro-boro dilayani, lihatlah ulahnya. Belum selesai dengan kami, sudah dengan yang lain."
"Berani mejeng di koran nasional, perilakunya seperti itu. Dia tidak takut kalau semua ini terbongkar? Bisa tamat karirnya."
"Dahlia?"
"Jangan sebut namanya, Can."