"Soal gadis, kamu salah, Man. Kalau tak percaya, kamu lihat saja sendiri. Di sini susah, bagaikan kucing dalam karung."
Banyak hal yang kami bicarakan kecuali mengenai pekerjaan, kami sepakat untuk menghindarinya mengingat ini adalah masa liburan. Kami lebih banyak membahas masalah keluarga dan mengenang masa lalu, masa lalu yang indah ketika dulu persahabatan kami begitu dekat dan sulit dipisahkan. Kami sudah duduk bersama di sekolah yang sama sejak masih menggunakan celana pendek merah, waktu itu Arman menjadi bintang kelas dan aku ada di kondisi sebaliknya sebagai pelanggan kelas remedial. Meskipun demikian, Arman tetap mau berteman denganku, menguatkan hatiku, menjaga semangatku, dan mengajariku dengan sabar sampai aku bisa. Bahkan, ketika kami sudah SMA, aku menjadi saingan dekat Arman dan kami selalu memperebutkan juara umum di sekolah kami, tetapi hubungan kami tidak merenggang. Kami bergantian menginap, Arman di rumahku dan aku di rumah Arman, kedua ibu kami begitu menyayangi kami seperti anaknya sendiri. Tak lain tak bukan, ini kami lakukan untuk mengatasi rasa kesepian karena kedua ayah kami sudah tiada ketika kami masih kecil. Seketika aku teringat akan kegiatan tawar-menawar yang tadi dilakukan Arman.
"Man, ngomongin soal ibu nih, tadi waktu kamu belikan barang untuk ibumu, mengapa kamu menawar sampai segitunya? Sedangkan untuk makanmu sendiri, justru memberikan tips yang lumayan besar kepada pelayannya."
"Tang, ini bukan soal diri sendiri atau ibu. Kamu lihat pelayan tadi, apakah mereka terlihat gemuk dan makmur? Bandingkan dengan para penjual, kelihatannya mereka adalah pemilik toko itu sendiri dan penampilan mereka menunjukkan keadaan keuangannya. Selama mereka masih bisa menggunakan baju mahal, tas mahal, berdandan, apakah mereka perlu dikasihani, Tang?"
"Tapi, tadi kamu gagal mendapatkan beberapa barang untuk ibumu meskipun sudah lama menawar. Ini bukan karena aku tak sabar menunggumu tadi ya."
"Aku mengerti, Tang. Sudahlah bicara yang lain, soal tadi gadis dalam karung. Maksudmu bagaimana, Tang?"
"Kamu lihat saja nanti jam sembilan atau jam sepuluh. Ayo kita duduk di lobby, kita buktikan."
"Nanti kamu pulangnya bagaimana? Sudahlah, tidur di sini saja. Jatah parkir mobilmu pakai jatah kamarku, jatah tidurmu pakai kasur yang kosong, sarapanmu pakai kupon sarapanku yang tak terpakai. Gampang kan?"
"Lihat nanti saja."
Arman begitu penasaran, pandangan matanya tak pernah lepas dari sebuah jam digital yang ada di atas meja samping kasur. Aku mengajaknya menonton siaran televisi, tetapi dia menolak, takut terlewat. Lima belas menit sebelum jam sembilan, dengan begitu semangatnya Arman mengajakku untuk turun ke lobby. Tak lama, datang seorang pria tua bersama perempuan yang rasanya belum lulus SMP jika dilihat dari keadaan fisiknya. Tangan perempuan itu tak pernah lepas dan gerak-geriknya terus menggoda pria yang datang bersamanya. Setelah mereka naik lift, kami kembali ke kamar dan Arman langsung mengemasi barang-barangnya. Dia meminta untuk tidur di rumahku selama sisa masa liburannya di Jakarta.
"Man, kamu di sini baru bayar satu malam atau sudah bayar sampai selesai?"