"Ya, iya. Memang begitu orangnya, maruk dan hanya mau melayani yang berpenampilan mentereng, mewah maksudnya. Kalau mau beli rumah, jangan di sini. Nanti jam istirahat aku antarkan kalian ke sana, pasti kalian lebih suka. Duduk saja dulu temani aku, aku sedang tak ingin layani pengunjung, ayo minum kopi dan makan kuenya."
"Can, kalau rumah di tempat lain lebih bagus, kenapa kamu masih duduk di sini? Ada-ada saja."
"Bukan begitu, Man. Di sini, komisi sales lebih besar, maklum harganya lebih mahal."
Candra mengantar kami ke kantor pemasaran perumahan lain yang disebutnya. Masuk ke dalam, kami dilayani jauh lebih baik meskipun memang di sini sales hanya menawari kami air putih. Melihat lokasi proyeknya, tentu lebih strategis. Melihat brosurnya, rumah di sini lebih besar, lebih murah, dan tidak terlalu mewah, sesuai dengan prinsip investasi. Arman memantapkan hati untuk membeli, dikeluarkan dan diisinya selembar cek sebagai pembayaran rumah itu. Aku yang semula hanya menemani pun memutuskan ikut membeli, meski baru membayar tanda jadi. Sisanya akan aku bayar dalam dua minggu sesuai waktu yang diberikan pihak pengembang. Setelah perjanjian kami tanda tangani, sales mengatakan bahwa akta jual beli baru bisa dibuat ketika rumah sudah mulai dibangun dan kira-kira masih lima bulan lagi.
Perjalanan naik busway berlanjut lagi, Arman ingin berkunjung ke sebuah restoran rooftop yang ternyata ada di gedung yang sama dengan lokasi kantorku. Meskipun demikian, aku tak pernah masuk ke sana. Berangkat, masuk kerja, makan di kantin, kerja lagi, pulang. Kapan ke restorannya?
"Man, ini kan kantorku, Man. Kamu tahu restoran di sini dari mana?"
"Restoran yang ada di koran itu ternyata di sini, di gedung kantormu? Kalau begitu, pasti kamu tahu dong apa yang enak di sini?"
"Bahkan, aku belum pernah masuk, Man. Beda lantai, ke lantai dia pun aku tak pernah."
"Lucu kamu, berkantor di sini dan tak pernah ke restoran yang ada di sini. Supaya jadi pernah, ayo kita masuk."
Sampai di sana, kami dicegah masuk oleh satpam restoran sambil menunjuk pakaian dan alas kaki yang kami kenakan. Kami mencoba bernegosiasi dan satpam tetap menolak dengan alasan setiap pengunjung harus berpakaian rapi dan elegan. Tangan Arman memberikan ajakan untuk pergi, wajahnya menunjukkan kekesalan yang tak termaafkan. Ketika kami berjalan masuk lift, terlihat seseorang dengan jas dan dasi dari dalam restoran menemui satpam sambil marah.
"Tang, kamu lihat? Paling itu bosnya yang marah karena tidak mengizinkan kita masuk. Satpam sombong, hukumnya itu yang penting kita bayar. Lihat restorannya, sepi. Mau bisnis atau mau mejeng?"