Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kerja Keras, Kepercayaan, dan Kesederhanaan yang Membuahkan Kebahagiaan dan Kesuksesan

17 Agustus 2021   05:30 Diperbarui: 17 Agustus 2021   05:41 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam tidurku, aku membayangkan betapa asyiknya naik kereta. Seumur hidupku, aku belum pernah melakukannya dan kini aku sangat tertarik. Besok pagi, di meja makan, aku mengutarakan niatku kepada Arman.

"Man, rasanya enak juga kalau aku bisa pulang ke kampung naik kereta. Seru, belum pernah dan jadi pengalaman baru."

"Itu baru keren, Tang, berani mencoba. Nanti saja saat mudik Lebaran, pesan tiketnya jauh-jauh hari, mumpung liburnya lebih panjang. Nanti aku jemput di stasiun, kita mengenang lagi tempat-tempat yang pernah menjadi bagian masa lalu kita, dan yang paling penting, pulang ke rumahmu sendiri. Setiap kali Lebaran, ibumu yang datang mengunjungimu di Jakarta. Lucu sekali, ibu malah menghampiri anak."

"Ya, itu juga bukan mauku, Man. Kata ibu, ibu yang ke Jakarta lebih murah dan mudah dibandingkan aku yang ke kampung."

"Sudah, tahun ini bilang sama ibumu, aku ingin bernostalgia dan melihat kemajuan kampungku, pasti ibumu akan membiarkanmu pulang kampung. Hidup di kota itu menegangkan, Tang. Istirahat sejenak di kampung halaman bisa menjernihkan pikiranmu, sepulang mudik otakmu kembali siap bertarung melawan sengitnya hidup di kota ini."

Waktu tidak banyak, kami memutuskan untuk berangkat ke stasiun. Semakin dekat menuju kepulangan Arman, aku menangis dan memeluknya erat-erat, rasanya tak ingin kehilangan sahabat yang beberapa hari ini datang dan meruntuhkan kesepian dalam hidupku. Arman terkejut, heran, dan hanya menyampaikan sedikit kata-kata.

"Kota ini ramai, Tang. Tidak seharusnya kamu hidup kesepian di tengah gegap gempitanya kota ini sampai kamu tak rela melepaskanku. Setiap ada pertemuan, pasti akan ada pula perpisahan. Satu hal, perpisahan itu tidak abadi karena kita masih punya kesempatan bertemu di lain hari. Kamu harus tetap semangat, berjuang, aku yakin kamu bisa. Sampai bertemu nanti di kampung atau di sini, tergantung mana yang lebih dulu, AJB atau Lebaran."

"Terima kasih atas beberapa hari yang kamu luangkan bersamaku, Man. Aku sungguh tak enak, kamu membayariku makan, sedangkan aku tak memberikanmu lebih dari baju dan topi koboimu. Kamu memberikan pelajaran berharga untukku, sekaligus membukakan pikiranku untuk turut berinvestasi. Terlebih lagi, kamu menemaniku selama beberapa hari, sejenak aku merasa hidupku tak lagi sepi. Jika kamu sudah sampai, beri kabar, Man."

"Justru aku yang sangat berterima kasih kepadamu, Tang. Tak semua sahabat mau meluangkan waktunya di hari libur yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk tidur, menonton televisi, atau bersosialita bersama teman-teman, apalagi menjadi sopir sehari penuh dan meminjamkan kamar di rumahnya. Soal investasi, untuk apa kamu tumpuk uangmu di bank jika bank hanya bisa memberikan bunga yang sangat sedikit? Membeli rumah, harganya naik dan bisa kamu sewakan, lumayan. Soal membukakan pikiran, kamu sudah berhasil membukakan pikiranku bahwa Jakarta tak sesempurna yang aku kira, masih banyak kekurangan yang harus diselesaikan bersama oleh penduduknya."

Kereta telah tiba, Arman berlari dengan cepat membawa seluruh barang bawaannya ke dalam gerbong. Terlihat dari kaca jendela, wajahnya bahagia pertanda kenangan yang dia bawa adalah kenangan manis. Setelah seluruh gerbong telah meninggalkan kawasan stasiun, aku pulang ke rumah. Hidupku kembali sendiri, masak sendiri, makan sendiri. Lebih parahnya lagi, aku benar-benar tak nafsu makan dan makananku tak habis, aku khawatir dengan perjalanan Arman sebelum dia benar-benar tiba di kampung. Bahkan, kekhawatiran terhadap Arman lebih lama dibandingkan terhadap ibu, maklum perjalanan yang harus ditempuh juga jauh lebih panjang. Stasiun berita televisi terus dinyalakan sebagai sumber informasi, begitu juga aku menghubungi ibu Arman di kampung untuk siap sedia dengan terus mendengarkan radio. Akhirnya, tepat jam sebelas malam, Arman mengirimkan SMS bahwa dia sudah sampai dengan selamat di rumahnya dan di saat itulah aku bisa tenang. Baru sebentar setelah aku naik ke tempat tidurku, Arman menelpon.

"Tang, aku lupa satu hal. Kalau kamu ke sini bertemu ibumu, sebisa mungkin sudah membawa calon menantu. Jika belum juga, mungkin aku, ibuku, dan ibumu akan bergerak untuk mencari gadis kampung sini yang baru pulang dari luar negeri dan mau berhenti untuk dinikahkan denganmu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun