"Ya sudah, Tang. Besok aku naik pesawat."
"Sudah, pulsa telepon itu mahal. Kamu kirim SMS atau WA saja."
"Ya sudah kalau begitu. Maaf ya jadi ngerepotin. Sampai ketemu besok."
Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Mata masih ingin menghindarkan dirinya dari pemandangan dunia, kepala masih ingin berbaring manis di atas bantal, tetapi semua dukungan dan bantuan yang diberikan Arman kepadaku semasa kami sekolah tentu lebih besar dan berat dibandingkan sekadar meninggalkan kasur tempat tidurku. Menggosok gigi, mandi, berpakaian rapi, semua aku lakukan untuk menyambut kedatangan Arman setelah lama kami tak berjumpa. Melihatnya datang dari penerbangan yang panjang dengan maskapai rendah biaya, aku khawatir dia lapar dan haus sehingga biskuit dan air mineral kusiapkan di pintu mobil.
Arman tiba, keluar dari terminal bandara sambil mengangkut barang bawaannya, dan langsung ke area parkir untuk masuk ke dalam mobilku. Betapa kagetnya aku ketika Arman yang dari dulu selalu tampil rapi dengan kemeja dan celana panjang kini hanya memakai kaos oblong dan celana pendek.
"Tang, kenapa mandangin kayak begitu? Buruan lah, antar aku ke gado-gado yang enak."
"Gado-gado enak? Kalau gado-gado di Gajah Mada, mau?"
"Nah, denger-denger di tempatku, kalau ada yang baru datang dari Jakarta, gado-gado di situ paling enak. Sudahlah, hayuk ke sana."
"Tumben, Man. Celana pendek, habis ini mau ke pantai? Aku siap mengantar."
"Bukan, Tang. Lihat saja nanti."
Kami sampai di rumah makan gado-gado, aku dan Arman duduk berhadapan. Seorang gadis bercelemek datang membawa buku menu dan menunggu kami memesan makanan. Arman membukanya, dilihatnya setiap halaman, dengan cepat dia menunjuk satu per satu yang ada di sana. Sungguh sang gadis bingung, apakah yang dia hadapi di depannya adalah seorang manusia normal atau justru singa yang sedang lapar?