"Ayolah. Mas, ini uangnya. Lain kali punya mesin EDC itu dirawat, kalau pengunjung tak punya uang tunai kan jadi repot."
"Iya, Mas. Kami mohon maaf."
Kami berjalan keluar dan masuk toko-toko yang ada. Aku membelikan pakaian ala koboi untuk Arman, tak lupa dengan topinya. Aku mengajak Arman masuk ke kamar pas supaya dia memakai semuanya dan bisa kufoto, hasilnya keren meskipun Arman terlihat tak nyaman, mungkin dia tak biasa. Penjelajahan selesai, kami pulang ke rumah, membersihkan badan, dan bersantai. Penasaran dengan pekerjaan Arman, aku mengajaknya mengobrol.
"Man, sebenarnya kamu kerja apa sih, Man?"
"Kenapa kamu nanyain soal itu, Tang? Sudah punya rumah di Jakarta, punya mobil pula, apa yang salah dengan pekerjaanmu, Tang? Kamu stres? Bosan? Seharusnya kamu bersyukur yang banyak."
"Kamu juga sekarang sudah punya rumah di Jakarta meskipun belum jadi. Kalau beli sesuatu, royal banget. Udah dompetnya tebel isi daun merah segepok. Sedangkan aku, kadang-kadang masih mengandalkan kartu kredit, Man."
"Tang, sebentar lagi kamu punya dua rumah di sini, aku baru satu. Kartu kredit lawan daun merah? Kartu kreditmu pasti limit-nya lebih besar dari isi dompetmu dan pastinya bisa kamu bayar tagihannya. Sedangkan aku, bank mana yang mau menerbitkan kartu kredit untukku? Tak ada toh?"
"Kok bisa, Man? Emangnya kamu kerja apa?"
"Sepertinya kamu penasaran sekali, maaf kalau selama ini kamu telepon dan aku tak pernah cerita. Aku hanya tak ingin kamu sedih, Tang."
"Maksudmu?"
"Setelah aku lulus dari kampus itu, aku bekerja di sebuah perusahaan. Sayang, baru satu tahun bekerja, perusahaan itu pindah ke Makassar dan aku tetap tak ingin meninggalkan ibuku. Dengan modal yang aku punya, aku coba melihat potensi bisnis di kota kita. Banyak perajin ikan asin dan tidak ada yang produknya sampai ke Bandung."