Yah, hidupku dikelilingi oleh keberuntungan. Bagaimana tidak, orang sepertiku yang menahan dentuman rasa lapar, tertolong dengan sebongkah roti dari hantaran undangan pemilik kos.
Uang saku tidak seberapa yah, tapi berkat Tuhan daku masih bisa menari dengan sehelai nafas yang ada pada kerongkongan. Aku tinggal tak sangat jauh dari kampung halaman, yah. Cuma beberapa jam namun memang netra kita tak saling beradu untuk menyaksikan teduhnya rembulan.
Sekilas, aku melihat orang bernasib malang, yah. Dengan kaki yang terpelintir meminta iba dari hilir mudiknya pengemudi jalan. Tak tega rasanya, yah. Andaikan aku di posisi itu, apa yang akan kau lakukan, yah? apakah kau akan memintaku kembali ke kampung peradabanku?
Yah, bak rindu yang terjerat dari kerasnya jeruji besi berkarat. Karatnya besi tak seberapa, namun rindunya yang kian membara. Yah, diriku sering dipandang lemah, dipandang kecil, dipandang remeh temeh seperti kedelai yang basi.
Acap kali, saudara seliang rahim pun, sering kali acuh. Aku sering kali tertawa, untuk membalut dukaku yang bergelimpangan. Yah, andai engkau tahu aku mungkin menyebalkan. Disekolahkan di jurusan ini, tapi kerjanya sangat berbeda haluan. Ingin punya usaha, terpentok modal kurasa. Aku tidak didukung karena banyaknya kekhawatiran. Bukan untung malah buntung. Bukan begitu, yah?
Yah, andaikan nadiku bisa kudekap dengan bunga mimpiku di setiap hari dikala temaramnya malam yang sunyi. Buana yang ada diseberang sana mungkin tak akan dilanda paceklik kasih sayang. Derasnya air matamu mungkin bisa mengalirkan rasa teduh nun lembut bagi sukmaku yang sudah lama dahaga.
Ayah, kecupan demi kecupan yang beralih kumpulan-kumpulan amarah kian menggenang di tempurung kepala. Ingin ku keluarkan tapi tak kuasa, yah. Jika aku menuntut sang waktu untuk diputar balik dengan senang hati. Apakah diperbolehkan, yah?
Aku takut, suatu saat ada lelaki yang hinggap di sepenggal kisah ku tidak mampu. Memberikan hadiah kenyamanan bagi hidupku, bagaimana ayah?
Aku butuh tempat untuk bernaung
Aku butuh tempat untuk meraung
Aku butuh tempat untuk menampung. Menampung segala yang pahit, yah. Tapi siapa? Andai engkau tahu, yah di lima windu yang lalu, ada laki-laki pernah menjamah ragaku tanpa seizinku. Semestinya cerita ini aku tutup rapat-rapat. Akulah rindu. Anak perempuan bungsu yang hidup dengan serba keberuntungan.
" Hei kamu, sekolahnya saja arsitek, tapi ujung-ujungnya kerja jadi koki. Emang dasarnya kamu pantesnya cuma di sumur, dapur, kasur." Tandas sang pria yang di ujung sana.
Aku hanya bisa memicingkan mata dan seraya merapal mantra kepada dewi.
" Andai ikan di laut dituntut untuk memanjat pohon, apakah keindahannya akan luntur dan terlihat sangat bodoh, dewi?" Ucapku dengan lirih.Â
Anak lelaki tersebut coba menerka-nerka setiap ekspresi wajahku dan kembali bertanya.
" Sudah, Lupakan saja. Memang kamu tidak seberuntung untuk hidup."
Dari sinilah, yah. Rapuhnya benteng pertahananku. Lambat laun, aku berusaha semampuku untuk bisa membalikkan dunia. Bahwa rindu, tak selamanya untuk dipendam.
Dia kuliah jurusan kedokteran di universitas ternama. Dia sudah mendoktrin dirinya sendiri bahwa menjadi lulusan kedokteran, akan mudah untuk mengais pekerjaan dan hidupnya akan sejahtera.
Singkat cerita, dari koas menuju profesi. Dalih-dalih lulus dengan jaminan prospek kerja di rumah sakit. Ternyata, hanya berlabel perongsok lowongan kerja.
Suatu pagi ia menemuiku, yah.Â
" Kau benar, hidup ini tak semestinya layaknya menilai ikan yang tidak bisa memanjat pohon."
Aku tersentak dengan kata yang diucapkan.
" Bagaimana kau bisa mendengar gerutuanku."Â
Ia menjawab, "Dewimu yang memberitahukan ku."
Setelah peristiwa itu, daku yakin. Bahwa lekukan indah sayap merpati akan terlihat mengagumkan jika dipandang di sudut embun pagi.
Hidupku habis untuk melanglang buana kesana kemari. Hilir mudik, hulu hilir telah kuanyam begitu rapi, yah. Hingga suatu ketika aku menemukan siapa diriku, dengan cara apa diriku menggapai asa yang selama ini masih menggantung, tiba-tiba aku bertemu seseorang tapi dengan paras yang berbeda, ia sangat muram.
"Kasihanilah saya, dahulu kala diriku adalah lulusan sarjana kedokteran yang sampai saat ini berkarat menunggu beberapa lowongan kerja untuk menerimaku."
Dengan badan yang lusuh nan compang-camping, aku menghampirinya dan berkata, " kau sepertinya tak asing denganku. Kau lelaki yang waktu itu bukan. Kamu Setyawan, bukan? Lulusan kedokteran katamu."Â
Ia merunduk dan sepertinya malu. Mencoba menahan air mata, namun tak dapat dipungkiri. Air itu jatuh seketika.
"Iya, benar. Akulah yang pernah mencemooh dirimu, dengan fatwa-fatwaku yang menghakimimu. Maafkanlah aku, rindu. "
Ingatlah, langit tak pernah meninggalkan hiasan langitnya. Sebagaimana aku. Tak akan mampu untuk tidak memaafkanmu. Walaupun membekas sekalipun.
"Pulanglah, kedua orang tuamu menunggu di luar pintu sewaktu-waktu" Jawabku.
Dia hanya bisa merenung dan menunduk dengan malunya. Barangkali ia menyadari bahwa anak yang sudah diperjuangkan mati-matian kepada kedua orangtuanya hanya menyandang duka yang tak terkira.
''Aku pengangguran, Rin. Aku tidak punya uang. Darimana aku bisa mendapatkan uang untuk pulang ke rumah, dengan keadaan badan lusuh pakaian kumuh seperti ini. Aku malu, Rin."Â
"Tidak perlu merisaukan hal itu, pulanglah. Aku yang membiayaimu untuk pulang. Ceritakan semua pola hidupmu di perantauan. Barangkali, orang tuamu bisa mengerti apa yang kau rasakan, Wan." Lanjutku untuk meyakinkan perasaan hatinya yang diguncang gelisah.Â
Setetes kopi yang semula hangat menjadi dingin pun mempunyai alasan yang tersirat untuk diungkap, Wan. Apalagi dengan Berbagai perdebatan asumsi kedua orang tuamu tentang hidup yang engkau alami saat ini.Â
"Kamu butuh apa? jika bisa untuk kubantu, semoga bisa membantumu."
"Aku sebenarnya malu denganmu, Rin. Dengan semua ucapan racunku yang pernah ku lontarkan, engkau masih bisa memaafkanmu tanpa ada beban sedikitpun di pundakmu."
Ingat. Seperti ampas kopi yang seringnya diabaikan, ia masih sedia dan setia untuk menikmati setiap tegukan yang masuk dari kerongkongan tuannya, Wan.Â
"Aku ingin punya pekerjaan, Rin. Apakah kau masih mau membantuku?" Tanya dia.
"Bisa, kau ingin melamar pekerjaan dimana, Wan?" Tanyaku kembali ke Setyawan.
"Ke rumah sakit negeri ternama, Rin. Masih seperti dulu, masih selamanya begitu."
"Dengan impian yang berkali-kali kau impikan tapi tak lekas untuk terealisasikan, bagaimana kau masih berharap harapan yang basi, Wan? Bagaimana dengan profesi yang lain?" Cobaku menawarkan haluan pekerjaan yang lain kepadanya.
Aku berusaha untuk mengembalikan semangatnya, yah. Walaupun aku sendiri juga bisa merangkul sukaku dengan ratapanku sendiri.Â
"Baiklah akan ku coba, Rin. Tapi, profesi yang seperti apa yang harus aku lakoni untuk sekarang?"
"Ikuti aku."Â
Aku dan dia bergegas untuk meninggal tempat yang tidak punya hawa yang baik dengan pergolakan nasib. Pergilah aku dan dia ke suatu tempat, dimana dia akan memulai hidupnya dari awal.
"Kamu bekerja saja disini, aku sudah kenal pemilik perusahaan ini. Tinggal kamu bawa dan lengkapi persyaratannya saja." Aku mencoba menjelaskan.
"Tapi, Rin. Aku sebagai tour guide? What! aku tidak ada basic disini, Rin."
"Sudahlah, uang tidak akan memilih orang yang hanya gengsi dalam memeluk jabatan. Bukan begitu, Wan?" Balasku.
Pekerjaan yang aku tawarkan memang bukan menjadi keterampilan mendasar bagi dirinya, akan tetapi saya harap itu menjadi pilihan yang terbaik.
"Pak, ini teman saya di desa, ingin melamar pekerjaan disini sebagai tour guide. Untuk hari ini bisa saya bertemu dengan Pak Aris?"Â
"Oh bisa, Bu Rindu. Sekarang Pak Aris masih di ruangan, bisa langsung kesana saja, bu." Jawab resepsionis padaku.
"Baiklah, ayo Wan. "
"Ini, Rin. Yang kamu pernah ceritakan padaku. Malang sekali nasibnya." Tanya Pak Ari.
"Iya pak, dia teman kuliahan saya."
"Halo" ( Setyawan dengan refleks menyodorkan tangan untuk bersalaman )
"Oke, salam kenal. Duduk dulu. Oh iya, Rin. Kamu bisa lanjut saja, saya ingin berbicara empat mata dengan temanmu."
"Baiklah." Aku bergegas pergi dan meninggalkan dia bercengkrama dengannya.
Pak Aris menjelaskan apa-apa yang menjadi tanggung jawab Setyawan selama ia bekerja disana secara rinci, tapi....
"Mohon maaf pak, saya tidak punya ilmu dasar di bidang itu, takutnya nanti saya tidak bisa maksimal untuk menjalankan pekerjaan ini."
"Baik, jika begitu. Apakah kamu dengan memiliki ijazah lulusan kedokteran universitas ternama dan ilmu tersebut bisa kamu terapkan di dunia pekerjaan? Apakah kamu diterima kerja sebagai dokter? dan, mengapa selama ini kau tidak pernah bisa lolos seleksi untuk bekerja di instansi tersebut. Ilmumu sudah mumpuni bukan? apakah dengan jaminan ilmu dan lulusan akademik saja, kamu bisa dengan lega untuk dapat pekerjaan yang kamu senangi. Tolong realistis, saudara."
Merunduk merunduk merunduk. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Selama ini, ia terlalu mendewakan profesi tersebut hingga ia tak sadar, dirinya terbelenggu dengan masa lalu yang tak pernah terelakkan.
"Kalau begitu, saya menerima lowongan pekerjaan ini."
"Seenaknya saja kamu, tadi saja beralasan dengan pernyataan yang kamu sampaikan kepada saya. Terus kamu sekarang memutuskan untuk mengambil. Sedangkal itu."
"Tolonglah saya, pak. Saya tahu itu salah. Bagaimana juga saya butuh pekerjaan ini untuk menyambung hidup. Saya tidak mau terlunta-lunta lagi."
"Apa kamu bisa meyakinkan saya. Dengan cara apa?" Tanya Pak Aris kepada Setyawan.
"Saya berusaha semaksimal mungkin untuk pekerjaan ini."Â
"Ok, selama tiga bulan masa training. Saya pantau kinerja kamu."
"Baiklah, pak. Terima kasih sebelumnya."
Diterimanya bekerja disana menjadi angin segar untuk Setyawan dalam menyambung hidup yang selama ini sangat buram dan muram.Â
Dia tersadar, Rindu sudah tidak ada di tempat itu. Ia lupa menanyakan dimana dia tinggal, dia bekerja dimana, sedang apa, dan bagaimana.
"Ya Tuhan, aku lupa menanyakan alamat dia. Terus bagaimana ini? aku tidur dimana?"
"Disini saja." Suara yang berasal dari belakang pundaknya pun menjadi perhatiannya.
"Oh iya pak, resepsionis. Saya mau tanya, alamat Rindu tadi dimana ya pak."
"Alamat Rindu di Jalan Kasih Gang Rasa RT cinta RW sayang."
Seketika aku melongo dan tertawa
"Hahaha tidak tidak, becanda saja kok itu. Mbak Rindu tinggal sangat jauh dari sini. Kalau mau, bisa tinggal di kos dengan saya, bagaimana?"
"Jauh ya pak, sebenarnya saya mau ketemu dan mau bilang terima kasih sudah diberikan pekerjaan ini. "
"Dia memang sangat baik, pak."
"Kurasa juga begitu." Batin Setyawan bergumam tak karuan.
Ia memutuskan untuk menumpang di kos bersama bapak tersebut.
"Oh iya pak, saya belum sempat kenalan. Nama bapak siapa?"
"Hehehe nama saya Bejo, pak. Panggil saja Om Jo, kalau sampean namanya siapa?"
"Nama saya Setyawan pak."
"Ok, ok. Saya panggil Mas Wawan, boleh?"
"Bagaimana yang bapak nyaman saja untuk memanggilnya."
Hari berganti dengan rotasi yang begitu cepat kurasa, yah. Sepertinya ia sudah mengawali pekerjaan barunya. Aku tidak tahu menahu dengan perasaan yang selalu hinggap di hatiku, yah. Bagaimana ini? daku ingin kesana, tapi....
"Hei, Rin. Nglamun aja nih. Kenapa? mikirin dia ya." Suara teman kerjaku ini membuatku terkejut.
"Tidak ada dia, San. Tidak ada yang khusus bertahta di hati saya. Cukup dewi yang senantiasa setia hinggap di benakku."
"Iya deh iya. Semoga diannya segera diketemukan ya, Rin."
"Siap, San. Doakan saja."
( PT. Luar Biasa Jaya )
"Silahkan, ada yang bisa saya bantu untuk memandu perjalanan menuju rute yang ingin anda lewati."
"Oh bisa bisa. Saya perlu tour guide untuk menuju ke jalan ini ( sambil menunjuk peta yang sudah tersedia untuk pengunjung )."
"Baik, mari saya antar."
Gadis cantik yang rambutnya terurai, sedikit menggelombang dengan mata yang lentik nun sayu. Sepertinya sangat mengagumkan.
Kenapa jantungku berdetak kencang sekali.
Apakah ini yang dinamakan riuh yang bersua dengan kesunyian. Buana yang lenyap dengan sepi. Apakah sudah kembali pulih. Sangat dini sekali rasanya jika rasa ini tumbuh, ingat. Kamu fokus untuk pulihkan perekonomianmu, Wan. ( Pergolakan batin yang menderunya membuat ia cepat sadar dan teringat akan rencana awalnya ).
Cinta yang berlabuh, memang tak mengenal tempat dan waktu yang terus berkutat.Â
"Maaf, apakah ini masih lama?" Tanya si wanita itu.
"Sebentar lagi sampai, puan. Tunggu sebentar, ya. "
"Baiklah, terima kasih sebelumnya."
Aku yang berusaha memberanikan diri untuk memulai percakapan yang akan sangat basi mungkin, kedengarannya.
"Kalau boleh tahu, puan berdomisili dimana?" Tanyaku.
"Oh, saya pendatang disini, tuan. Saya ditugaskan bekerja di daerah sini, kalau boleh tahu namanya siapa, tuan?"
Dengan wajah yang tidak karuan bentukannya, aku pun membalas pertanyaannya. "Nama saya Setyawan. Puan sendiri namanya siapa?"
"Oh. Nama saya, Fitri Nur Fadilah. Panggil saja Fitri."
"Oke Kak Fitri."
"Jangan panggil kak, Fitri saja. Biar terlihat akrab."
Mendapati balasan yang sangat baik, dia meneruskan pendekatan yang mengingat tempat yang dituju hampir dekat.
"Fitri, kalau ada apa-apa, mau ke tempat lain, bisa hubungi saya, ya. Ini nomor WA saya 08xxxxxxxxx. ( Sambil menyodorkan gawai kepadanya)."
"Oke, Wan. Saya simpan, ya kontakmu."
"Baiklah, Fit. Terima kasih ya."
"Sama-sama, Wan."
Tak terasa, tempat yang dituju sudah ada di sebelah kiri. Bangunan yang amat kokoh dan menjulang tinggi, dan ternyata. Dia bekerja di rumah sakit ternama, yang selama ini aku idam-idamkan.
Aku berbalik arah, kembali ke tempat awal. Selama perjalanan pun. Aku masih memikirkan dia. Anggun bak dewi yang bersimpuh di Kerajaan Rahwana. Menarik sekali untuk dibidik secara berkala.Â
Aku masih memikirkanmu, Rindu. Kemana dia, sedang apa, bagaimana dia disana, dengan siapa dia berada, dan apakah dia masih berteman denganku. Selama ini aku selalu merendahkan dia.
1 tahun kemudian, selama bekerja di perusahaan itu.
"Bro, nglamun aja nih. Ketilang lalat baru tahu rasa hahaha." Tio teman kerjaku yang selalu jahil dan iseng kalau lihat aku sedang melamun.
"Ah kamu, Yo. Ganggu aja nih. Kamu nggak kerja?"
"Kerja lah, Wan. Tapi udah luang nih. Lah kamu sendiri ngapain bengong gak jelas, ada apa?"Â
Ada rasa gelisah dihatiku, seperti guncangan yang tak bisa kutafsirkan dengan frasa-frasa yang menggeliat difikiranku. Angan yang tersapu sendu dengan berbagai kesah yang tak berkesudahan.Â
"Iya, Yo. Rasanya aneh. Aku sudah lama tidak bertemu dengan dia. Padahal hanya teman biasa. Tapi kok begini rasanya. Aneh, Yo."Â
"Cinta maksudmu, Wan?"
"Tumben kamu connect, Yo. Biasanya lama sekali nyambungnya."
"Kalau masalah itu, aku gerceo, Wan. Namanya manusiawi. Rasa itu pasti pernah hingga di hati setiap orang yang bernyawa, Wan, emangnya siapa sih wanita yang kau maksud. Mungkin aku kenal orangnya."
"Kau tak perlu tahu, Yo."
Belum sempat Tyo membalas percakapanku, aku segera meninggalkannya dan menuju ke sebuah tempat yang bisa jadi, itu menjadi spot ternyaman selama aku bekerja disini.
Andai kau hadir sepenggal saja, Rin
Mungkin semi jiwaku
Andai abu itu tak berarti
Mungkin jika abu itu kau semai, akan berubah wujud menjadi kayu yang kokoh
Apa kabar Rindu.
Gawai berdering mengganggu nyenyapnya aku berselancar ke ruang mimpi-mimpi. Tak terasa mentari sudah menyapa terlebih dahulu.
Kring.....kring.... kring....
"Halo, Wan. Maaf mengganggumu. Kamu bisa tidak jemput aku sekarang? Di Jalan Margoasih No.27 blok 2C?"
"Dengan siapa, ya ini?"
"Masih ngantuk ya, coba dilihat di ponselmu. Aku ini siapa."
Dengan senyum yang masih kecut, malu rasanya. Ternyata Fitri.
"Maaf, Fit. Emang efek masih mode pesawat nih. Oke oke tapi tunggu agak lama tidak apa-apa kan, Fit?"
"Oke deh, Wan. Tidak apa-apa. Aku tunggu di Haltenya ya. "
"Siap".
25 menit kemudian
"Hai, Fit. Maaf menunggu lama, ya?"
"Santai, Wan. Aku juga nggak buru-buru kok."Â
Seperti tak biasanya. Fitri terlihat cemas akhir-akhir ini.Â
"Ada apa, Fit? apa ada masalah?"
Empat bola mata yang tak sengaja bertaut dengan jarak yang hanya berjarak satu setengah meter ini pun berurai degup jantung yang menderu sangat laju.
Bibirku mungkin bisa saja mendarat di bibirnya saat ini.
"Tolong aku, Wan. Aku butuh kamu."
"Ada apa? Siapa yang mengusikmu? Kenapa kau sangat gelisah begini?"
"Senyumku telah direnggut oleh seseorang..."
"Seseorang siapa?" Aku semakin penasaran dengan setiap sepenggal kata yang dia katakan padaku, hatiku semakin tak karuan.
"Kamu....apakah kamu mau menikahi aku, Wan?"
Kata terakhir darinya seperti halilintar yang menyambar sukma dan ragaku. Aku tidak tahu, harus bagaimana menanggapi pertanyaan seperti itu. Kau sangat bodoh Setyawan, sangat bodoh.
"Aku tahu, kamu bingung dan tidak bersedia menikahiku. Melihat kita kenal saja masih dalam beberapa minggu disini, aku faham Wan."
"Jelaskan dahulu, kenapa kamu sampai mengatakan seperti itu."
"Sudahlah, Wan." Fitri meninggalkanku dengan kata-kata yang menggantung di hatinya. Tapi dengan sigap aku mencengkram tangan kirinya sambil mendekatkan wajahku dengan wajah cantiknya.
"Jelaskan dulu, berbagilah terlebih dahulu. Kalau tidak kau jelaskan. Bagaimana aku bisa menafsirkan setiap jeda dari kata-katamu itu, Fit."
Pipi yang ranum itu menggeliat didalam bola mataku. Pipi yang sempurna. Fitri, kau memang wanita sempurna dari segi fisik yang pernah aku temui di dunia ini.
"Aku hamil, Wan. Aku sudah kotor, aku dipaksa untuk melayani pria yang tidak aku cintai."
"Apa? kau....kau."
"Dia lari saat aku mengatakan, bahwa aku telah hamil 3 bulan, Wan."
Air mata yang mengalir deras itu membuatku pilu. Bagaimana ini, Dewa? apakah ini pertanda aku bertanggungjawab atas apa yang tidak sama sekali aku lakukan. Bagaimana dengan? Rindu. Ya, aku mencintainya sampai detik ini. Apa aku harus berbalik arah dengan dia.
"Tenang dulu, Fit. Kita cari solusinya sama-sama. Jangan gegabah. Aku tahu ini membuatmu sangat hina dan terpuruk, tapi jangan sampai kau ada niatan untuk menghabisi nyawa si janin yang tidak tahu menahu tentang ini."
"Iya" suara lirih itu, ah. Aku tak kuasa, Dewa.
"Bagaimana, Wan. Apa kamu bersedia dengan hal itu. Aku mohon, Wan. Aku akan merasa sangat hina jika kau tak mau menerima tawaranku ini." Lanjutnya.
Terlena dari perbuatan yang hanya memberikan kenikmatan sesaat. Mencelupkan liang yang sepatutnya belum diperizinkan untuk dipersilakan. Dewa, andaikan aku bisa memanipulasi rasa dan hatiku dengan wanita lain. Sepertinya walupun begitu, aku belum bisa. Jika aku mengiyakan, aku akan menjadi seseorang yang sangat naif dibuana ini.Â
Bayangan setiap lekuk keindahannya masih melekat di tahta kalbuku, Tuan
Bagaimana bisa aku menyingkirkan setiap nadi yang melekat pada inangnya
Aku menjadi pujangga yang lara
Lara akan semua pilihan yang melilitÂ
Delusi cinta yang tak berporos
Akankah menjadi sebuah potret kehidupan yang non fiktif, Tuan?
Esok hari aku tak sengaja menemui dia yang duduk termenung. Aku paham apa yang ia pikirkan dan rasakan.Â
Tuhan...
Aku ini tak pelak hanyalah bongkahan tanah yang kau titipkan seberkas cahaya ruh yang bersinar
Perihal cinta
Aku sangat ringkihÂ
Apakah rasa yang tidak bisa terbalas ini harus menjadi sengketa
Dimanakah kau rindu?
Dari bulan sabit hingga menjelang bulan purnama, ia tidak menjengukku.Â
"Apa iya aku harus menerima lamarannya. Ah...sangat menyiksa , tapi iba sekali aku melihat keadaanya." Gumamku yang kusimpan di hati.
Rindu ...
Yah, aku ingin bersua dengannya
Tapi dengan dalih apa aku menjumpainya
Olokannya yang pernah diucapkan padaku, masih membekas dan menganga sangat curam
Aku takut luka ini basah kembali dengan perkara yang baru, yah.
"Hai, Rin. Udah sore nih, pulang bareng yok."
Dia adalah teman seprofesiku, Andi. Anak perantauan, dia sangat baik dan perhatian. Entah hanya sebatas diluar penampilannya. Aku tidak tahu.
"Tidak, Di. Aku jalan kaki saja." Jawabku.
Andi yang mencoba mendekatkan jarak kepadaku dan bertanya.Â
"Aku takut, gadis semanis kamu tidak dapat bajaj menjelang sore seperti ini. Ayolah, tidak apa-apa. Aku tidak akan menggigitmu."
"Hehehe masih ada kok, Di. Tenang saja. Kemarin, aku nunggu bajaj masih ada kok."
"Yakin?"
"Yakin lah. Sudah sana pulang."
"Ya sudah kalau kamu maksa."
Aku tahu dia memperhatikanku dan mengkhawatirkanku. Di kejauhan saja, ia masih menoleh diarahku sampai tubuhnya tidak terlihat lagi dalam pandanganku.
Seperti yang dikatakan, alhasil tidak ada bajaj yang melintas. Becak saja tidak ada sama sekali.
"Bagaimana ini." Lirihku.
"Tuh kan. Ngga ada yang lewat bajajnya. Sudahlah, ayo naik."
"Loh, kok kamu belum pulang."
"Aku sudah lama merantau disini, dan aku paham betul jam berapa bajaj, busmini, becak itu beroperasi. Mana ada sore-sore menjelang maghrib ada yang melintas, halu kamu Rin."Â
Teduh sorotan matanya seperti.... ah, tidak.
Keadaan yang menuntunku harus pulang bersama dengannya. Tapi entah mengapa, Andi tidak membawaku pulang ke kos.
"Ini dimana ya, Di?" Tanyaku heran.
"Sudah, ikut saja. Indah kok pastinya, kayak kamu."Â
Setelah menjajaki beberapa ruas jalan raya sampai menuju ke jalan setapak, terlihat bangunan kayu yang belum pernah ku lihat, yah.Â
"Nah, udah sampai. Turun yok."
"Oke." (Sambil turun ke motornya).
Dia yang berlalu saja meninggalkanku dengan menghampiri gumpalan bukit yang menjulang tak terlalu tinggi di tempat itu. Memang, hawa yang disajikan kepadanya sangat nyaman dan tentram. Sembari itu, aku menghampirinya untuk duduk disampingnya.
"Damai, ya disini. Ini tempat favoritmu ya?" Tanyaku.
"Mmmm...bisa jadi, Rin. Aku kesini kalau tumpukan masalah yang di ubun-ubun terlalu penuh untuk ditampung."
"Emang, kamu masalahmu apa. Kalau boleh tahu."
"Kamu, Rin."
"A...a..aku? kenapa?"
"Wajahmu, parasmu, kebaikanmu, polosmu, dan apa yang melekat di tubuhmu. Itu yang memenuhi fikiranku selama bertahun-tahun."
Dari percakapan itu, suasana hening yang menyelimuti kedua manusia yang saling menerka-nerka keadaan hatinya, yah.
"Jadi, maksutnya apa?"
"Aku cinta sama kamu, sedangkan aku tahu. Banyak trauma-trauma yang masih kau sandang sampai sekarang. Kau tidak percaya dengan laki-laki, kan Rin?"
"Aku paham maksudmu. Benar, apa yang kamu katakan. Aku saja masih kebingungan dengan yang aku geluti sampai bertahun-tahun. Bertahan dengan kedukaan yang sebenarnya telah pergi, tapi masih aku simpan dengan rapi."
Dia yang mencoba memulihkan semua keadaanku yang serba rancu dan membelit otakku untuk membuka hati dan rasa. Tapi...dia bagaimana, yah? Apa kabar.
"Apa saat ini kamu masih berharap dia kembali, Rin." Tanyanya dengan rasa ingin tahu.
"Berharap iya, untuk kembali sepertinya tidak." Jawabku.
Aku yang mencoba menjelaskan kisah lalu kepadanya dengan sangat hati-hati. Aku takut pedih yang telah kubur sejak lama, muncul kembali. Diawali dengan cacian yang dilontarkan kepada seseorang yang sebenarnya sangat aku cintai, yah. Sampai Rindu menemukannya dengan keadaan yang memprihatinkan. Lalu, bangkit dan kokoh. Lantas, dengan berat hati. Ia ku tinggalkan, aku mencoba menepis itu dengan membiarkan dia menciptakan kisahnya sendiri. Mungkin dengan wanitanya sekarang.Â
"Apakah kamu selama hidup begini-begini saja, Rin."
"Tidak. Aku juga ingin sembuh. Tapi, sembuhnya pun tak bisa secepat halilintar yang menyambar langit dengan cipratan kilauannya." Tandasku.
Aku yakin, dia kebingungan dengan pergulatan yang ada di hatiku. Singkat sekali, sampai-sampai malam sudah menyambut kita berdua.
"Aku hanya berharap, Rin. Kamu bisa menafsirkan apa yang ada di diriku."
Terkekeh dengan pernyataannya, yang berusaha membuka fatwa yang sebenarnya sudah lama ia ingin ungkapkan.
"Aku paham. Sabar ya, jangan terburu-buru."
"Aku harus apa biar kamu bisa menerimaku, Rin."
"Terima dan tunggu."
"Hufft..berapa lama?"
"Selama kamu kuat untuk bertahan, jika tak tahan. Silahkan untuk beralih dengan yang lain. Rindu tidak ingin memaksa seseorang yang ingin mencari cinta yang lebih mengasyikkan."
"Baiklah."
"Terima kasih."
Akhirnya, kami berdua pun meninggalkan tempat itu. Tapi sebelumnya....
"Rin, tempat ini bisa dijadikan tempat peraduan kah? Untukmu."
"Kemungkinan bisa, kalau mau kesini lagi. Ajak Rindu, ya."
"Sepaket dengan rasanya, ya."
"Hahahaha..."
Cairnya suasana disambut dengan temaramnya malam yang mengiringi laju sepeda motor yang kami tunggangi.
*Sampai di rumah.
"Terima kasih, ya. Untuk hari ini."
"Siap, Rin. Nggak bosan kan ya?"
"Nggak lah."
"Kalau begitu, saya pamit dulu, Rin. Salam buat keluarga di rumah."
"Siap, nanti ku sampaikan."
Hari yang telah kujejaki dengan semua pesonanya. Mengapa wajahnya masih menguasai? Oh Dewi dengan segala sinar kebaikanmu.
Hembusan angin malam yang berhembus riuh di gendang telingaku, yah
Samar-samar menyusup hingga ke relung kalbu yang curam sekalipun
Bagaimana diri dengan entengnya pasrah
Sedangkan hatiku yang masih berstatus gundah
Ingin ku jamah dengan keadaan yang tabah
Tapi, sudahkan rautannya yang masih ingin bertahta dengan ramah
*Keesokan Harinya*
"Wan, bagaimana? kau belum menjawab semua pertanyaan yang kemarin masih menggantung." Tanyanya dengan rasa harap yang berlebih.
"Fit, jujur. Aku iba padamu dengan situasimu yang seperti ini. Akankah cinta karena kasihan ini bisa diteruskan?" Tanyaku padanya.
"Aku mohon, Wan. Cuma kamu yang bisa menolongku. Jika tidak...."
"Tidak, apa?"
"Aku gugurkan saja janin yang tak guna ini."
"Hei apa-apaan kamu" ( dengan nada yang sedikit meninggi. Refleks yang mengakibatkan dia tercengang mendengarnya ).
"Dangkal sekali fikiranmu, Fit. Dia tak bersalah. Dia juga tidak ingin memilih dilahirkan dengan keadaan yang tidak jelas statusnya."
Plaaaaaak.....
"Apa maksudmu, kau kira aku sangat menjijikan, Wan? Apa kau kira aku sangat murahan seperti kupu-kupu malam yang memangkirkan pahanya dengan pelanggannya. Lancang sekali kamu."
Gulatan emosi yang tak terbendung membuatku semakin tak karuan.
" Bukan begitu maksudku, Fit. Dengarkan aku."
"Aku tak butuh penjelasanmu." Pergi dengan tergesa-gesa dengan sorot wajah yang sangat membenciku saat ini.
"OKE. AKU AKAN MENIKAHIMU!"
Semua yang duduk di kafe itu melihat kearahku dan terheran-heran. Ia menghampiriku
"Kamu yakin?"
"Kamu yakin?"
Hal seperti ini yang memaksaku untuk mau tak mau harus menikahinya, demi.....Rindu?
"Iya." ( dengan nafas berat, aku menjawab kata-kata itu ).
Dia yang tiba-tiba menghampiriku dan memelukku dari belakang, seraya berkata, " Terima Kasih, Wan. Telah bersedia menutupi aibku yang hina ini."
*dua minggu kemudian*
Undangan telah disebarkan, satu persatu karyawan, teman, kolega, tetangga, kerabat diberikan undangan. Tinggal satu yang belum ku haturkan. Undangan untuk Rindu.
"Nih, Wan. Untuk Rindu, tolong kasih ke dia ya."Â
"Kenapa tidak kamu saja yang memberinya undangan." Tanyaku.
"Kamu kan teman dekatnya. Jadi lebih baik, kamu saja yang memberikan ini padanya."
Hatiku terbelah menjadi dua. Pilu, kalut, gundah. Menjadi satu, akankah semua ini menjadi begini. Oh Rinduku.
( Via Telepon )
Tuuuuut ..... Tuuuuut..... Tuuuuut
Rindu : " Halo."
Setyawan : " ( Diam )
Rindu : " Halo...maaf, ini dengan siapa ya?"
Setyawan : " ( Dengan menggumam, suara itu masih terdengar merdu dan mengalun lembut )
Rindu : " Halo, jika tidak berbicara, maka akan saya ma...."
Setyawan : " Iya halo, Rin. Ini aku, Setyawan."
Rindu : " Oh kamu, Wan. Ada apa, kok tadi tidak ada suaranya."
Setyawan : " Iya, Rin. Maaf. Tadi sinyalnya agak jelek."
Rindu : " Ok, baiklah. Ada apa, Wan?"
Setyawan : " Kamu dirumah? kalau iya, aku ingin kerumahmu. Memberikan sesuatu."
Rindu : " Sesuatu? sesuatu apa nih, Wan?"
Setyawan : " Adalah pokoknya."
Rindu : " Ok, aku dirumah kok. Datang saja."
Setyawan : " Baiklah." ( Telepon pun mati, dengan rasa gugup yang tak karuan ).
Rindu : " Ada apa ya? kok sampai segitunya. Ditutup tanpa salam."
*Menuju ke rumah Rindu.
Sampailah ke depan pintu gerbangnya. Ah, apa-apaan ini. Jantung ini kok seperti sedang lari maraton.
Tok tok tok
Cekreeeek.....
" Hai. Silakan masuk."
"Iya, Rin."
Dia yang memulai percakapan dengan menanyakan kabar dan skema di dunia pekerjaanku. Dan tak lama...
"Oh iya, katanya kamu mau ngasih sesuatu. Sesuatu apa ya, Wan?"
" I....ini, Rin."
( Dia mengambil dan membukanya )
Terlihat senyum menipis di lekuk bibirnya.
( Andai kamu tahu, Wan. Sakit sekali hatiku melihat tulisan yang bergenre seperti ini. Undangan pernikahanmu ).Â
"Siap, Wan. Aku pasti datang, tapi maaf kalau telat datang ya. Soalnya pas banget pas pulang kerja." Jawabnya.
"Tentu, Rin. Tidak apa-apa. Terima kasih sebelumnya."
Hening....
"Oh iya sudah, Rin. Aku harus menyebarkan beberapa undangan lagi di teman yang lain."
Tiba-tiba dari arah belakang, muncul seseorangÂ
"Eh Wawan cah bagus, mau kemana. Kok buru-buru."
"Iya, bu. Ini Wawan mau nyebar undangan lagi ke teman-teman."
Ibu memandangiku, seperti paham apa yang dirasakan oleh putri semata wayangnya itu.
"Oalah, iya Wan. Selamat ya cah bagus. Semoga lancar sampai harinya." Jawab Ibu.
"Terima kasih bu. Kalau begitu Wawan pamit dulu."
"Iya, cah bagus." ( Bersalaman dan bergegas pergi meninggalkan tempat itu ).
Punggung yang sudah tampak di kejauhan mata pun, diiringi dengan linangan air mata yang terpaksa aku tepis. Tapi ibuku mengetahuinya.
"Nduk, ibu tahu apa yang kamu rasakan, jika menangis bisa meredakan semua kesedihanmu. Maka menangislah."
Apa ini Dewi?
Seketika kokohnya pendirianku tiba-tiba melemah
Tanpa kompromi terlebih dahulu
Tanpa basa-basi terlebih dahulu
Tanpa aba-aba terlebih dahulu
Bagaimana dengan semua yang masih tertanamÂ
Yah, dengan cara bagaimana aku bisa merasakan rengkuhan hangat lagi. Perempuan yang berusaha berdiri tegap tanpa terjatuh ini sangat melemah. Batin terkoyak bak dililit seribu rotan yang panjang nun menyakitkan.Â
Aku tidak bisa menuntut seseorang untuk senantiasa bersedia merengkuh teduhku.
Siapa, yah. Siapa.
Jingga yang tiba-tiba menghampiri, bunga yang mencoba merekah di teduhnya hiasan langit. Tak pelak membawa reda, walupun sesaat.
Mencoba berdamai dengan keadaan. Mencoba berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu, yah. Aku seperti perempuan, yang sedang merengkuh teduhku sendiri.
"Aku tahu pasti kau disini, Rin."
"Kamu...." Jawabku dengan heran.
"Apa sih yang tidak aku ketahui dari dirimu, sudah banyak yang aku tahu. Termasuk dia."
Hanya bisa merunduk kelu, tak bisa berbicara apa-apa.Â
"Tolong, ajari aku untuk pura-pura bangkit."
"Tak perlu berpura-pura kok. Cukup realita saja." Jawabnya.
"Apa maksudnya?"
Lembutnya jari jemarinya yang menggenggam hangat dan sangat tulus untukku, seperti terkena percikan air hujan.
"Kasih aku kesempatan, untuk membuka kebahagiaan. Dengan caraku sendiri, Rindu. Aku tahu, membuka hati itu sangat sulit. Aku akan tetap berusaha."
"Bagaimana."
"Terima dahulu tawaranku."
"Baiklah."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H