" Hei kamu, sekolahnya saja arsitek, tapi ujung-ujungnya kerja jadi koki. Emang dasarnya kamu pantesnya cuma di sumur, dapur, kasur." Tandas sang pria yang di ujung sana.
Aku hanya bisa memicingkan mata dan seraya merapal mantra kepada dewi.
" Andai ikan di laut dituntut untuk memanjat pohon, apakah keindahannya akan luntur dan terlihat sangat bodoh, dewi?" Ucapku dengan lirih.Â
Anak lelaki tersebut coba menerka-nerka setiap ekspresi wajahku dan kembali bertanya.
" Sudah, Lupakan saja. Memang kamu tidak seberuntung untuk hidup."
Dari sinilah, yah. Rapuhnya benteng pertahananku. Lambat laun, aku berusaha semampuku untuk bisa membalikkan dunia. Bahwa rindu, tak selamanya untuk dipendam.
Dia kuliah jurusan kedokteran di universitas ternama. Dia sudah mendoktrin dirinya sendiri bahwa menjadi lulusan kedokteran, akan mudah untuk mengais pekerjaan dan hidupnya akan sejahtera.
Singkat cerita, dari koas menuju profesi. Dalih-dalih lulus dengan jaminan prospek kerja di rumah sakit. Ternyata, hanya berlabel perongsok lowongan kerja.
Suatu pagi ia menemuiku, yah.Â
" Kau benar, hidup ini tak semestinya layaknya menilai ikan yang tidak bisa memanjat pohon."
Aku tersentak dengan kata yang diucapkan.