"Kamu....apakah kamu mau menikahi aku, Wan?"
Kata terakhir darinya seperti halilintar yang menyambar sukma dan ragaku. Aku tidak tahu, harus bagaimana menanggapi pertanyaan seperti itu. Kau sangat bodoh Setyawan, sangat bodoh.
"Aku tahu, kamu bingung dan tidak bersedia menikahiku. Melihat kita kenal saja masih dalam beberapa minggu disini, aku faham Wan."
"Jelaskan dahulu, kenapa kamu sampai mengatakan seperti itu."
"Sudahlah, Wan." Fitri meninggalkanku dengan kata-kata yang menggantung di hatinya. Tapi dengan sigap aku mencengkram tangan kirinya sambil mendekatkan wajahku dengan wajah cantiknya.
"Jelaskan dulu, berbagilah terlebih dahulu. Kalau tidak kau jelaskan. Bagaimana aku bisa menafsirkan setiap jeda dari kata-katamu itu, Fit."
Pipi yang ranum itu menggeliat didalam bola mataku. Pipi yang sempurna. Fitri, kau memang wanita sempurna dari segi fisik yang pernah aku temui di dunia ini.
"Aku hamil, Wan. Aku sudah kotor, aku dipaksa untuk melayani pria yang tidak aku cintai."
"Apa? kau....kau."
"Dia lari saat aku mengatakan, bahwa aku telah hamil 3 bulan, Wan."
Air mata yang mengalir deras itu membuatku pilu. Bagaimana ini, Dewa? apakah ini pertanda aku bertanggungjawab atas apa yang tidak sama sekali aku lakukan. Bagaimana dengan? Rindu. Ya, aku mencintainya sampai detik ini. Apa aku harus berbalik arah dengan dia.