"Iya pak, dia teman kuliahan saya."
"Halo" ( Setyawan dengan refleks menyodorkan tangan untuk bersalaman )
"Oke, salam kenal. Duduk dulu. Oh iya, Rin. Kamu bisa lanjut saja, saya ingin berbicara empat mata dengan temanmu."
"Baiklah." Aku bergegas pergi dan meninggalkan dia bercengkrama dengannya.
Pak Aris menjelaskan apa-apa yang menjadi tanggung jawab Setyawan selama ia bekerja disana secara rinci, tapi....
"Mohon maaf pak, saya tidak punya ilmu dasar di bidang itu, takutnya nanti saya tidak bisa maksimal untuk menjalankan pekerjaan ini."
"Baik, jika begitu. Apakah kamu dengan memiliki ijazah lulusan kedokteran universitas ternama dan ilmu tersebut bisa kamu terapkan di dunia pekerjaan? Apakah kamu diterima kerja sebagai dokter? dan, mengapa selama ini kau tidak pernah bisa lolos seleksi untuk bekerja di instansi tersebut. Ilmumu sudah mumpuni bukan? apakah dengan jaminan ilmu dan lulusan akademik saja, kamu bisa dengan lega untuk dapat pekerjaan yang kamu senangi. Tolong realistis, saudara."
Merunduk merunduk merunduk. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Selama ini, ia terlalu mendewakan profesi tersebut hingga ia tak sadar, dirinya terbelenggu dengan masa lalu yang tak pernah terelakkan.
"Kalau begitu, saya menerima lowongan pekerjaan ini."
"Seenaknya saja kamu, tadi saja beralasan dengan pernyataan yang kamu sampaikan kepada saya. Terus kamu sekarang memutuskan untuk mengambil. Sedangkal itu."
"Tolonglah saya, pak. Saya tahu itu salah. Bagaimana juga saya butuh pekerjaan ini untuk menyambung hidup. Saya tidak mau terlunta-lunta lagi."