" Bagaimana kau bisa mendengar gerutuanku."Â
Ia menjawab, "Dewimu yang memberitahukan ku."
Setelah peristiwa itu, daku yakin. Bahwa lekukan indah sayap merpati akan terlihat mengagumkan jika dipandang di sudut embun pagi.
Hidupku habis untuk melanglang buana kesana kemari. Hilir mudik, hulu hilir telah kuanyam begitu rapi, yah. Hingga suatu ketika aku menemukan siapa diriku, dengan cara apa diriku menggapai asa yang selama ini masih menggantung, tiba-tiba aku bertemu seseorang tapi dengan paras yang berbeda, ia sangat muram.
"Kasihanilah saya, dahulu kala diriku adalah lulusan sarjana kedokteran yang sampai saat ini berkarat menunggu beberapa lowongan kerja untuk menerimaku."
Dengan badan yang lusuh nan compang-camping, aku menghampirinya dan berkata, " kau sepertinya tak asing denganku. Kau lelaki yang waktu itu bukan. Kamu Setyawan, bukan? Lulusan kedokteran katamu."Â
Ia merunduk dan sepertinya malu. Mencoba menahan air mata, namun tak dapat dipungkiri. Air itu jatuh seketika.
"Iya, benar. Akulah yang pernah mencemooh dirimu, dengan fatwa-fatwaku yang menghakimimu. Maafkanlah aku, rindu. "
Ingatlah, langit tak pernah meninggalkan hiasan langitnya. Sebagaimana aku. Tak akan mampu untuk tidak memaafkanmu. Walaupun membekas sekalipun.
"Pulanglah, kedua orang tuamu menunggu di luar pintu sewaktu-waktu" Jawabku.
Dia hanya bisa merenung dan menunduk dengan malunya. Barangkali ia menyadari bahwa anak yang sudah diperjuangkan mati-matian kepada kedua orangtuanya hanya menyandang duka yang tak terkira.