"Tapi kamu gak bisa gini Dean, kamu punya keluarga. Jadiin keluarga kamu tempat kamu bercerita, tempat kamu pulang. Kita gak cuman bisa menerima kesenangan aja Dean, kita juga berhak menerima kesedihan apalagi hal itu kamu alami"
"Kamu nganggap aku apa ?!" Suara yang sangat pelan dan terdengar pilu.
Sedangkan dibalik pintu kamar ada anak kecil sedanga terduduk dilantai ia menangis karena  mendengar pertengkaran kedua orang tuanya, ini pertama kalinya Senjani mendengar pertengkaran kedua orang tuanya itu.
Ia terkejut karena nada bicara bundanya yang tinggi dan terdengar suara papahnya yang sangat pilu bahkan terdengar bergetar disaat menjawab pertanyaan bundanya itu karena lelaki itu menangis.
Tiba-tiba anak yang tadi mendengar pertengkaran kedua orang tuanya itu keluar karena ia tak kuasa mendengar suara tangisan bundanya.
"Papah, papah apain bunda"
"Kenapa papah bawa koper ? Ini kan bukan waktunya buat liburan" ucap Senjani sambil menangis.
"Papah mau pergi dulu sayang, jaga bunda ya" Dean hanya tersenyum dan tak banyak bicara, biasanya ia akan menjadi seperti burung beo yang selalu berkicau jiga sedang dekat Senjani.
Tetapi beda dengan malam itu, bahkan senyum yang ia tunjukan itu membuat Dewi merasa sakit.
"Papah jangan pergi lama-lama, nanti Senja sama bunda gaada yang jaga" ucap anak 7 tahun itu lalu memeluk cinta pertamanya itu.
Dean tidak menjawab, lebih tepatnya ia tidak mampu menjawab pernyataan yang putrinya ucapkan.