Prabowo, melalui kebijakan dan komunikasinya, memiliki peluang untuk:
1. Meningkatkan ekspektasi yang realistis dalam konteks pendapatan dan utilitas saat ini.
2. Mengubah ekspektasi negatif menjadi positif untuk menciptakan optimisme kolektif.
3. Menggunakan ekspektasi sebagai pendorong perubahan jangka panjang, baik dalam pembangunan ekonomi maupun sosial.
Ketika Prabowo berbicara tentang "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ia mengingatkan bahwa rakyat kecil---petani, nelayan, dan buruh---memiliki hak yang sama untuk menikmati hasil pembangunan. Namun, pada kenyataannya, mereka berada dalam kondisi pendapatan rendah (I) yang tidak sebanding dengan kerja keras mereka. Banyak dari mereka masih memiliki ekspektasi tinggi (E), tetapi tanpa pemenuhan kebutuhan dasar, utilitas (U) mereka tetap rendah.
Contohnya adalah seorang petani di pelosok Jawa Tengah. Ketika pemerintah menjanjikan program bantuan alat tani modern, petani ini berharap panennya akan meningkat. Namun, tanpa akses pasar yang adil atau kebijakan harga dasar yang mendukung, alat tersebut hanya menjadi simbol janji kosong. Ekspektasi tinggi berujung pada kekecewaan, dan kekecewaan ini menciptakan tekanan sosial terhadap pemerintah.
Prabowo juga berbicara tentang pentingnya ketahanan nasional dan pembangunan infrastruktur sebagai fondasi untuk masa depan yang mandiri. Namun, ia tahu bahwa proyek-proyek besar ini seringkali mengorbankan kebutuhan jangka pendek masyarakat, terutama mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam teori kita, ini adalah situasi di mana pendapatan rendah (I) dan utilitas rendah (I) dapat menciptakan ekspektasi negatif (E), yang pada gilirannya berisiko memecah belah bangsa.
Jika tidak dikelola dengan baik, masyarakat dapat kehilangan kepercayaan pada visi besar pemerintah. Oleh karena itu, manajemen ekspektasi menjadi kunci. Dengan memanfaatkan komunikasi publik yang jujur dan transparan, Prabowo dapat meyakinkan rakyat bahwa pembangunan adalah proses bertahap yang membutuhkan partisipasi dan kesabaran semua pihak.
Pidato pelantikan Prabowo adalah kisah tentang bagaimana seorang pemimpin mencoba menyatukan visi besar dengan tantangan nyata. Dengan mengelola ekspektasi masyarakat secara strategis, ia dapat menciptakan keseimbangan antara harapan dan kenyataan. Dalam konteks teori kami di sini, kepemimpinan Prabowo dapat menjadi contoh bagaimana ekspektasi (E) yang realistis tidak hanya meningkatkan utilitas (U) masyarakat dalam jangka pendek tetapi juga membuka jalan bagi peningkatan pendapatan (I) dalam jangka panjang.
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia tidak hanya membutuhkan visi besar tetapi juga alat yang efektif untuk menjembatani realitas dan harapan. Dalam perjalanan ini, pengelolaan ekspektasi bukanlah sekadar taktik politik, melainkan seni kepemimpinan yang menentukan masa depan bangsa. Prabowo, dengan segala tantangan dan peluang di depannya, kini memiliki kesempatan untuk menjadikan harapan sebagai fondasi dari kebijakan publik yang efektif dan bermakna.
Di sinilah muncul kebutuhan mendesak untuk adanya teori generik dan komprehensif yang dapat menjembatani kontradiksi ini. Teori yang menghubungkan pendapatan (I), utilitas (U), dan ekspektasi (E) ini memberikan kerangka analitis untuk memahami bagaimana harapan rakyat dapat diarahkan agar selaras dengan kapasitas dan sumber daya bangsa. Teori ini, pada intinya, menjelaskan bagaimana ekspektasi masyarakat (E) adalah variabel yang paling mudah dikontrol dibandingkan dengan pendapatan (I) yang membutuhkan waktu untuk bertumbuh atau utilitas (U) yang tergantung pada persepsi subyektif terhadap kesejahteraan.