Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pemuja dan Memujamu

26 Januari 2018   19:56 Diperbarui: 26 Januari 2018   20:09 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

9 November

            Pipi Lili selalu memerah jika mengingat Endo. Lelaki itu selalu menjadi bayang-bayang dan lamunan indah dalam benaknya. Ia begitu memuja sosok berambut kriting, tinggi, dan berkacamata sampai-sampai di dalam pintu lemari pakaiannya lima lembar foto lelaki itu ditempel begitu rapi. Dipandangi setiap ia ingin melakukan aktivitas di luar rumah.

            "Andai kamu tahu kalau aku begitu memuja sampai aku hilang akal sehat, Endo," gumam Lili. Ia tersenyum kecil, memandangi botol kecil yang ada dalam lemarinya kemudian menutup pintu lemari pakaiannya. 

            Lili menutup pintu kamar pelan. Ia mengikat rambut ikal yang mulai melewati bahu. Sebenarnya Lili bisa saja menyempatkan diri mengikat rambutnya tapi ia lebih banyak menghabiskan waktu memandangi foto-foto itu.

            Perempuan itu ingat betul saat ibunya tanpa sengaja membuka pintu. Ibunya mengomeli dirinya dengan kecepatan bicara 40 km/jam. Ia tidak peduli. Sang ibu geleng-geleng kepala melihat tingkah sang anak lalu meninggalkan putrinya sendirian di sana.

*

            Di sekolah pun Lili selalu berusaha menyempatkan diri untuk melihat Endo. Di kelas di taman, dan setiap tempat di sekolah yang dilewati Endo. Tak luput dari pengawasannya. Seolah dia merupakan pengagum sekaligus pengutit rahasia. Tapi sayangnya akhir-akhir ini Endo sering tidak menampakkan diri.

            Ke mana lelaki pujaanku itu? Haruskah kubertanya pada teman-temannya? pikir Lili sambil mengelus dagu bulatnya. Lili tersentak seperti ada wahyu turun dari langit ke kepalanya.

            Aha! Aku tanya saja pada Richard. Mungkin dia tahu di mana Endo berada.

           Lili segera menuju tempat tongkrongan Richard, kantin mas Doy. Di kantin berukuran 8x10 meter dilengkapi tiga meja panjang, Richard sedang lahap menikmati mi kuah sampai kuahnya menempel di pinggir bibirnya.

            "Untung aku tahu kamu di sini. Aku mau nanya satu hal sama kamu," kata Lili sambil duduk di depan Richard.

            "Pasti tentang---"

            "Ya Endo. Kamu pandai sekali membaca pikiranku, hahaha." Perempuan berkulit putih vanili itu tertawa senang.

            Memang tidak begitu banyak para siswa berada di kantin itu tapi mendengar percakapan mereka berdua, membuat para penghuni kantin menoleh. Sadar dirinya menjadi bahan perhatian, Richard menyilangkan sendok dan garpu di atas mangkuk yang masih berisi mi.

            "Kita bicara saja di luar," tahan Richard.

            Sebelum meninggalkan kantin, Richard membayar mi pesanannya terlebih dahulu. Lalu diikuti Lili di belakang. Kini mereka berdua berada di samping koperasi, jauh dari kantin.

            "Sekarang kau bisa mengatakan di mana dia. Kau tahu 'kan, aku menyukai Endo dan aku ingin mengungkapkan perasaan padanya," jelas Lili. Tapi bukannya menjawab pertanyaan Lili, lelaki berkulit langsat itu memilih bungkam. Menatap iba perempuan itu. Lili masih sabar menunggu jawaban Richard.

            Richard terus berdoa dalam hati semoga ada keajaiban terjadi agar dia tidak berlama-lama dengan perempuan itu.

            Suara bel elektronik membahana ke seluruh penjuru sekolah.  Daun telinga Richard sigap menangkap suara itu. Ia mengembuskan napas lega. Keajaiban itu telah terjadi.

            "Sudah waktunya masuk, Lil. Setelah pulang sekolah, aku akan beritahu deh apa yang terjadi sebenarnya," tandas Richard sambil berbalik badan meninggalkan Lili.

            "Aku tunggu ya." Lili juga berpaling meninggalkan Richard menuju kelasnya.

            Sepanjang perjalanan menuju kelas, semua orang di sana menatap Lili dengan tatapan jeri dan janggal. Sudah  dua hari belakangan ini tak sedikit penghuni sekolah mendengar desas-desus itu. Sebuah berita tidak mengenakkan tentang dirinya.

            "Kenapa sihdia terus-terusan mencari Endo? Dasar cewek psycho!" bisik dua orang perempuan yang berdiri 60 meter dari tempat Lili berjalan saat ini.

             Lili mendengar jelas suara bisik-bisik itu meskipun yang mereka bicarakan adalah dirinya, ia tetap memilih abai sambil berjalan menuju ruang kelasnya yang hampir sampai.

            Dalam kelas pun, konsentrasi Lili tak tertuju pada pelajaran Biologi yang dijelaskan Ibu Corry. Ia menatap lurus sambil tersenyum sendiri. Yang ada di pikirannya adalah ketika pertama kali dirinya mengenal Endo.

*

            5 November

            Lili bilang dibilang sosok gadis introvert-ekstrovert. Bisa sewaktu-waktu ia menjadi seseorang yang tertutup dan tak banyak bicara ketika mood sedang turun. Dan bisa jadi orang yang gemar bicara atau membercandai teman-temannya kalau moodsedang baik. Seperti seseorang yang terkena kelainan jiwa---kepribadian ganda. Tapi bagi teman akrab yang sudah lama mengenal Lili, ia tidak begitu.

            Suatu ketika, Lili duduk di depan taman kelas sambil fokus membaca novel di tangannya. Salah satu teman Lili, Rasya, bilang kalau Lili sedang serius, tidak boleh ada yang bisa mengganggunya. Bahkan seekor singa pun akan dimarahi kalau singa itu mencoba mengusiknya.

            Ketika Lili menikmati alur cerita dalam novelnya, tiga orang laki-laki terlibat kejar-kejaran. Ketiga lelaki itu sedang menuju ke tempat Lili. Lili menyorotkan pandangan tak senang pada para laki-laki itu.

            "Hei, kalian punya pikiran 'kan?" tanya Lili sambil menutup novelnya sebentar.

            "Apa maksudmu hah? Kau merasa sekolah ini Bapakmu? Kalau kau mau baca buku, kan bisa di perpustakaan," sanggah Farid, laki-laki berbadan bongsor. Merasa kesenangannya diusik, lelaki itu menghampiri Lili yang masih duduk dan menatap dirinya tak senang.

            Melihat situasi mulai memanas, Endo dan Richard segera turun tangan menahan Farid.

            "Sabar, Bro.  Dia cewek. Gua tahu elo benar tapi jangan pakai otot. Oke?" lerai Endo sambil memegang pundak Farid.

            "Kita biarkan aja si Endo ngurus ini cewek," tambah Richard.

            Endo langsung membelalakkan bola matanya pada Richard. Tapi malah dibalas kedipan mata kanan.

            "Eh Ndo, lo kan jomblo. Lo bisa manfaatkan ini momen buat kenalan sama nih cewek. Gua sama Farid mau pergi. Bye," pamit Richard sambil menarik tangan Farid, membiarkan laki-laki dan perempuan itu berdua.

            "Maafkan temanku yang gempal itu ya. Dia orangnya emosian," ucap Endo sambil mengulas senyum kecil.

            "Jadi dia pikir karena badannya besar, akut takut? Kukepret kepalanya peang tuh," ketus Lili sambil menaruh bukunya di lantai depan kelas.

            "Tapi coba aku lihat buku apa yang kamu baca tadi," pinta Endo. Perempuan kulit putih itu langsung memberikan buku yang dibacanya pada Endo.

            "Hmm, kamu suka ya karya-karya sastra klasik karangan Marah Roesli, Abdoel Moeis, Pramoedya Ananda Toer?"

            "Begitulah. Karya sastra yang seperti inilah yang membuatku  kagum dengan kelihaian para pengarang zaman dulu dalam mengolah kata," jelas Lili.

            "Aku juga suka sastra. Tapi aku lebih suka membaca karya luar negeri," balas Endo.

            Lili tersenyum senang begitu mengetahui kalau laki-laki yang berada di dekatnya saat ini, juga penyuka karya sastra. Tak masalah itu karya sastra dalam negeri atau luar negeri. Dalam hati Lili, ia pesimis jika melihat anak remaja seumurannya tidak suka membaca. Padahal dengan membaca, kita bisa mengetahui bagaimana keadaan dunia sebenarnya. Minimal peka terhadap segala perubahan yang terjadi di sekitar kita. Dengan membaca, kita bisa menambah ilmu dan wawasan yang tak sepenuhnya kita dapat di bangku sekolah atau perkuliahan.

            "Eh kapan-kapan kita tukaran buku yuk? Aku juga kepengen baca buku sastra luar negeri. Kamu mau nggak?" usul Lili pada Endo.

            "Boleh juga tuh. Kamu tentukan aja kapan kamu mau ke rumahku."

            "Gimana kalau kalau hari Kamis? Senin, Selasa dan Rabu aku sibuk les."

            Endo menanggapi usulan Lili dengan mengganggukkan kepala dua kali. Lili dan Endo memilih berpisah ketika lonceng masuk kelas membahana bunyinya ke seluruh penjuru sekolah. Lili melambaikan tangan kanan menandakan perpisahan walau perpisahan yang mereka akhiri hanya berlangsung sampai pulang sekolah.

            Lili terus saja berpikir mengapa hari-hari berjalan begitu lambat. Ingin rasanya dia menyudahi ceramah dan penjelasan guru lesnya agar ia cepat pulang. Bolak-balik melirik arloji yang terikat di pergelangan tangan jadi kebiasaannya semenjak dia mengenal Endo. Lelaki yang baru hari ini dikenalnya, entah kenapa bisa menyita perhatian dan hati Lili. Perempuan berambut hitam lurus itu menyempatkan membuat puisi di sela kegiatan les. Tangan kanan sudah memegang pena hitam dan di bawah tangannya ada secarik kertas kosong. Sebelum dia merangkai kata, perempuan itu memikirkan terlebih dahulu kata apa saja yang akan ditulis.

            Ke mana saja kau kucari

            Belahan utara dan selatan yang melintangi bumi tak jua ketemu

            Aku lelah dalam pencarian yang hampir kukira sia-sia

            Kumengira kau bersembunyi kar'na malumu

            Tak boleh malumu itu halangi aku 'tuk miliki

            S'bab kamulah inti dari mulut letihkulantunkanribuan doa pada Sang Kuasa

           Masih sepenggal bait puisi ditulis Lili. Banyak ide dan ekspresi ingin disampaikan perempuan itu dalam puisinya akan tetapi Lili berpikir bahwa apa yang dia tuliskan dalam puisi, melebihi dari apa yang tengah dirasakan.

*

            Endo mencurahkan ujung teko ke dalam gelas plastik sebanyak dua kali. Ia tak habis pikir tak hilang-hilang juga rasa pahit obat yang barusan diminumnya.

            "Ibu, sampai kapan aku harus meminum obat sialan ini?" tanya Endo dengan nada jengkel sambil meletakkan kembali gelas yang dia pegang di atas meja.

            Ibunda Endo hanya menatap penuh harap pada anak lelakinya. Hanya diam yang juga menjadi jawaban kedua untuk pertanyaan anaknya. Sang ibunda memilih berdoa dalam hati agar sang Tuhan sudi menurunkan mukjizat-Nya untuk kesembuhan Endo.

*

            6 November

            Lili sudah memutuskan pakaian apa yang akan dikenakan untuk bertemu dengan lelaki pujaannya, Endo. Tubuh sintalnya dibaluti kaus merah bergambar Winnie The Pooh dan celana jins pendek setengah paha. Sudah tiga kali ia mengganti pakaian demi tampil menarik di hadapan Endo dan kini ia sudah siap pergi sambil menyimpan tiga novel yang akan ditukarkan dengan Endo di dalam ranselnya.

            Lili memutar kunci sepeda motor untuk menyalakan mesinnya. Begitu deru mesin terdengar, Lili mendaratkan bokongnya di atas jok. Sebelum meninggalkan rumah, ia sudah pamit terlebih dahulu pada ibunya. 

            Perempuan berambut kucir kuda itu sudah tiba di depan pagar besi berwarna perak. Sang tuan rumah berinisiatif menuju sumber suara yang berasal dari depan pagar rumahnya.

            "Baru datang ya, Lil?" tanya Endo.

            "Iya nih, En. Bukain dong pagarnya. Di luar lagi panas," ucap Lili sambil mengipas leher menggunakan tangannya. Endo menganggukkan kepala membalas perkataan Lili. Sebentar saja, pagar terbuka lebar, mempersilakan Lili dan sepeda motornya masuk ke dalam kediaman Endo.

            "Mana Ibu kamu, En?" tanya Lili begitu ia memarkirkan sepeda motornya.

            "Ibuku lagi di ruang tamu. Lagi baca majalah."

            "Bukan hanya kamu aja yang suka membaca tapi Ibu kamu juga."

            "Ya bisa dibilang kebiasaan membaca ini menurun dari Ibuku. Tapi bedanya mamaku suka baca majalah sama tabloid.  Oh itu Ibuku," tunjuk Endo kemudian Lili menghampiri Ibu Endo yang sedang membaca. Ibu Endo menurunkan majalahnya saat ia melihat seorang perempuan sebaya dengan putranya menghampiri dirinya.

            "Perkenalkan tante nama saya Lili Aulia Kasih. Saya temannya Endo," ucap Lili sambil menyalam punggung tangan perempuan paruh baya itu.

            "Oh saya kira kamu ini pacar anak saya," gurau Ibunda Endo pada Lili. Pipi perempuan itu merah semu mendengar gurauan Ibunda Endo padanya.

            "Ibu..." Endo memandang ibunya dengan wajah malu bercampur kesal.

            "Kalau begitu duduk dulu, Dek. Endo, kamu bikin minum sama pacar ups maksud Ibu teman kamu ini," ujar ibunya sambil menyuruh anaknya ke dapur.

            Bola mata Lili mengitari seisi ruang tamu keluarga Endo. Di sana bisa terlihat ada dua rak buku berisi berbagai macam jenis buku terpajang rapi. Bisa disimpulkan kalau keluarga Endo merupakan keluarga yang mencintai buku dan karya sastra. Inilah yang membuat Lili bersemangat untuk berbincang-bincang dengan Endo.

            "Silakan diminum dulu, Dek." Ibunda Endo tiba dengan sebuah nampan yang di atasnya terdapat gelas berisi cairan kuning jeruk bercampur pecahan es batu. Lili mengangguk takzim sambil meraih gelas yang disodorkan ibunda Endo padanya. Lili menyeruput sedikit cairan itu lalu meletakkan gelasnya kembali ke atas meja.

            "Nah kalian berdua ngobrol saja di sini dan jaga rumah selagi Ibu mau pergi," ucap ibunda Endo.

            "Tante mau pergi ke mana?" tanya Lili.

            "Biasa. Menghadiri arisan. Doakan Tante ya mudah-mudahan giliran Tante yang narik," kelakar Ibunda Endo sambil berpaling meninggalkan mereka.

            Begitu perempuan paruh baya itu pergi, kini Lili mengarahkan pandangan pada Endo yang kini sedang duduk di sebelahnya.

            "Ibu kamu orangnya ramah dan suka bercanda ya, En?"

            "Begitulah. Ibuku terkadang suka berlebihan dan itu yang membuatku kesal. Oh ya, mana buku yang kamu bawa?"

            Lili menegakkan badan sambil menurunkan ransel dari kedua pundaknya. Tangan kanannya menarik resleting seraya mengaduk isi tas. Ia mengeluarkan tiga novel yang dia bawa dari rumah.

            "Ini," kata Lili sambil mengangsurkan pada Endo. Lelaki itu menerima buku yang diberikan Lili padanya.

            "Tunggu sebentar," tahan Endo kemudian membalikkan badan meninggalkan gadis itu. Tak berselang lama, lelaki itu sudah menenteng lima novel tebal di tangan kanannya.

            "Aku harap kamu akan menyukainya." Endo meletakkan novel itu di atas meja lalu Lili mengambil buku-buku itu, memasukkannya ke dalam ransel.

            "Terimakasih, Endo tapi kalau boleh tahu di mana ayahmu?"

            Endo diam sejenak sambil berpikir apakah pertanyaan Lili perlu dijawab atau dia menunggu kesadaran Lili untuk tidak menanyakan pertanyaan semacam itu. Tapi Endo memilih menjawab pertanyaan itu.

            "Dia sudah mati. Dia memilih meninggalkan kami demi perempuan lain," jawab Endo dengan nada bicara dingin.

            "Maaf. Aku tidak bermaksud---"

            "Tidak apa-apa. Never mind. Omong-omong, apa yang terselip di ransel itu?" tunjuk Endo pada sebuah kertas yang menyempil keluar dari kantong ranselnya.

            "Eh ini bukan apa-apa. Ini hanya kertas biasa tapi nanti dehkukasi padamu setelah aku pulang dari sini," ujar Lili gugup sambil menekan kertas itu hingga tak terlihat lagi.

            "Ya sudah tapi boleh aku bertanya padamu---satu hal?" Kini Endo memandang serius ke arah bola mata Lili. Perempuan  itu merasa kalau tatapan Endo bereaksi pada degup jantungnya. Yang semula pelan kini kencang dan seirama dengan hela napasnya. Lili hanya mengangguk kikuk mengiyakan pertanyaan Endo.

            "Jika kau punya waktu hidup satu minggu lagi, hal-hal macam apa yang akan kau  lakukan?"

            Bola mata Lili yang jernih terbelalak begitu mendengar pertanyaan Endo. Dan dalam hati ia bertanya-tanya pertanyaan macam apa yang diajukan lelaki itu padanya. Namun perempuan itu tetap berpikir positif dan menjawab pertanyaan Endo seperti menjawab pertanyaan bersifat umum.

            "Kalau aku punya waktu seminggu, aku bakal habiskan waktu bersama dengan orang-orang yang kukasihi. Aku bakal meminta maaf dan memaafkan jika aku atau orang lain punya kesalahan padaku. Satu lagi, jika ada cinta yang belum kuungkap selama aku hidup, aku akan mengutarakan itu. Diterima atau tidak, itu urusan belakang. Aku tidak ingin ada penyesalan," ungkap Lili sambil menatap Endo penuh keyakinan.

            Endo mengulas senyum kecil menyimak jawaban Lili lalu membalas, "Kalau tidak diungkap sih, menurutku, itu tidak apa-apa. Karena ada perasaan yang sejatinya harus dipendam dan memang cuma kamu sendiri yang boleh mengetahuinya. Secepat dan selambat apapun itu diungkap, suatu saat pasti akan terlupakan."

            "Tidak seperti itu. Semua perasaan berhak untuk diungkap. Jika ditolak atau diterima, ya syukuri saja. Anggap saja semua itu bagian dari pendewasaan diri," balas Lili. Keduanya tidak menyadari kalau Ibunda Endo sudah melewati mereka dan pergi tanpa sepatah kata. Ibunda Endo tahu benar kalau mereka dalam pembicaraan serius.

            "Hati-hati ya Tante." Meskipun sedang dalam pembicaraan serius, lirikan mata Lili mengarah pada Ibunda Endo tampil cantik dengan paduan kemeja khusus wanita dewasa dan celana satin panjang hitam.

            "Oh ya, Nak. Kalian serius banget sampai-sampai Tante tidak berani menyapa kalian." Lili tertawa kecil menutupi rasa malunya. Tak terlihat lagi Ibunda Endo di sana. Ia sudah meninggalkan mereka bersamaan suara daun pintu yang tertutup.

            "Jadi sampai mana cerita kita tadi?" sambung Endo.

            Lili memilih mengganti topik pembicaraan ke arah umum. Seputar sekolah, kegiatan sehari-hari, sampai penulis favorit. Sepanjang pembicaraan mereka, tidak ada yang pasif maupun terlalu mendominasi. Keduanya mendapatkan porsi berimbang dalam hal memberi dan menjawab pertanyaan. Kadang disertai gelak tawa dan pukulan gemas Lili pada Endo. Ini semakin menguatkan perasaan Lili pada lelaki di depannya. Ingin diungkap momen itu juga tapi perempuan itu masih ragu. Dalam pikirnya masih perlu beberapa pendekatan lagi.

            "Sudah jam tiga sore, aku harus pulang," kata Lili lalu membalikkan posisi lengannya sehabis menengok arloji. Ia meraih tas yang tergeletak di lantai kemudian bangkit berdiri.

            Sesudah berpamitan pada tuan rumah, Lili mulai melangkah menuju pintu ruang tamu.

            "Tunggu, aku yakin kamu pasti melupakan sesuatu," cegat Endo sambil telunjuknya menunjuk pada Lili yang sedang memegang gagang pintu.

            "Apa?" sahutnya.

            Sebelum membuka pintu, Lili berpikir sejenak apa yang dimaksud oleh Endo. Lili menepuk jidatnya sendiri begitu dia mengerti apa yang Endo bicarakan. Wajah Lili memerah ketika ia akan mengambil barang yang tadi disembunyikannya rapat-rapat. Dengan menahan detak jantung tak karuan, Lili menggeser pangkuan ransel sebelah kanan sambil membuka resleting kantong ransel paling depan.

            Lipatan kertas itu agak lecek tapi Lili menekan-nekan kertas itu agar tidak terlihat terlalu kusut.

            "Maaf," kata Lili sambil menyodorkan kertas itu pada Endo. Lelaki berambut keriting itu menerimanya. Selesai memberikan kertas itu, Lili mendorong gagang pintu hingga terbuka disusul dengan dirinya langsung keluar dari ruang tamu.

            Dasar cewek aneh. Sebenarnya apa yang ditulis dia dalam kertas ini? ujar batin Endo seraya memutar badan, mengambil gelas yang tertinggal di atas meja.

*

            Usai meletakkan buku bacaan yang telah selesai dia baca, kaki Endo segera beranjak menuju kasur pembaringan. Sebelum dia merebahkan badan, tak sengaja ekor matanya melihat kertas yang diterimanya dari Lili tadi siang.

            Kertas itu kini sudah berada di tangannya.Akan tetapi, Endo akan membuka perekat kertas itu, mendadak paru-parunya seakan mengembang bak balon tiup. Kemudian dirinya terbatuk-batuk begitu keras hingga terasa sesak di dada. Hal itu terus menerus terjadi hingga ceceran darah sudah mengotori lantai kamarnya.

            "I-i-ibu." Kertas yang dipegangnya terlepas dari tangannya. Denyut saraf di dalam kepala begitu kencang dan menusuk hingga membuatnya terhuyung-huyung. Tak bisa menahan keseimbangan, tubuh Endo jatuh begitu saja di atas permukaan lantai.

            "Endo!"pekik sang ibunda sambil tergopoh-gopoh menghampiri putranya.

*

            Lili masuk sekolah seperti biasa. Dan seperti biasa pula keadaan kelasnya selalu ramai dengan teman-temannya yang asyik mengerjakan PR. Teman dekat Lili, Rasya melihat Lili santai meletakkan tas di atas kursi tempatnya duduk lalu meninggalkan kelas.

            "Lil, loe udah siap PR bahasa Inggris belum?" tanya Rasya sambil tangannya menulis.

            "Udah, Ras," jawab Lili.

            "Tumben-tumbenan loe siap? Biasanya loe kan paling heboh sana-sini kalau belum siap PR apalagi PR bahasa Inggris," balas Rasya.

            "Ya selagi gua masih bisa ngerjain sendiri, enggak mungkin dong terus-terusan minta tolong sama teman, ya kan?"

            Rasya menggangguk setuju dengan apa yang dikatakan Lili. Begitu sudah selesai berbicara dengan temannya, Lili lanjut melangkah meninggalkan temannya. Tapi dalam hati Rasya  menduga kalau ada sesuatu yang tengah dipikirkan temannya itu.

            Kalau kau ingin datang untuk sekedar melihat, datang saja pagi-pagi ke kelas XI IPS 1. Itulah ruang kelasku.

           Berbekal perkataan Endo, Lili melangkah menuju kelas XI IPS 1 untuk sekadar melihat apakah lelaki pujaannya berada di sana atau tidak. Tidak sampai lima menit, Lili berada di depan pintu kelas XI IPS 1. Ia lanjut saja berjalan sambil lirik matanya seolah menerawangi isi kelas.

            "Eh kamu Richard, kan?" Perempuan berambut panjang itumencegat seorang laki-laki kurus berkulit putih.

            "Iya kenapa? Bukannya kamu perempuan yang cari masalah sama Sony 'kan?"

            "Namaku Lili. Aku ke sini mau nanya, kamu kenal sama Endo 'kan?" Lelaki itu mengangguk pelan lalu dilanjutkan, "Benar ini kelasnya Endo?"

            "Iya benar. Kenapa cari Endo? Kamu ada perlu apa sama dia?" tanya Adi selidik.

            "Tidak. Tidak ada apa-apa?" Dengan wajah agak kecewa, Lili membalikkan badan meninggalkan Richard. Lelaki kurus itu bingung dengan apa yang terjadi dengan perempuan yang barusan mengobrol dengannya.

*

            Selang infus masih tertancap di urat nadi Endo. Detak jantung Endo mulai tidak stabil. Itu yang tergambar di kardioelektrograf di samping kepala lelaki itu. Sang ibu sedang tertidur di sampingnya. Dalam tidur Endo, ia memimpikan seorang gadis tengah berbincang penuh kehangatan dan canda tawa. Di tengah perbincangan, gadis itu memberikan sebuah lipatan kertas padanya.

            "Bacalah. Aku yakin kamu suka," ucap gadis itu sambil menyimpulkan senyum manis.

            Perlahan tapi pasti, Endo membuka kelopak matanya. Dadanya masih menyisakan sesak dan sakit menyiksa. Ia berusaha mengatur irama pernapasannya agar lebih rileks. Kepalanya menoleh ke kiri ada ibundanya tertidur dengan posisi kedua tangan dilpat menimpa kepala.

            "I-ibu,"panggil Endo dengan nada bicara lirih tapi itu belum cukup untuk membangunkan ibunya. Endo mencoba memanggil ibunya.

            "I-ibu... a-aduh, I-ibu." Telinga ibundanya peka begitu ia mendengar suara putranya memanggil dirinya. Sontak sang ibunda menegakkan kepala, memastikan apakah yang memanggil dirinya itu adalah anaknya.

            "Endo kamu sudah sadar, Nak? Puji Tuhan kamu sudah sadar. Ada perlu apa anakku? Apa yang bisa Ibu bantu untuk kamu?" tanya Ibundanya dengan hati gembira sambil memberikan pelukan refleks pada putranya.

            "Ker-tas, Bu."

            "Kertas? Kertas apa?" tanya sang Ibu bingung sambil melonggarkan pelukannya. Tapi kebetulan ibunya membawa tas sandang di pundak lalu membuka resleting tas. Perempuan paruh baya itu mengaduk-aduk isi tas lalu mengeluarkan sesuatu yang dia yakini dicari oleh anaknya.

            "Maksud kamu ini?" Sang ibu menunjukkan sebuah kertas dikotori darah kering. Endo mengangguk pelan mengiyakan pertanyaan sang ibu. perempuan itu mendekatkan lipatan kertas itu ke tangan anaknya. Endo sudah mendapatkan kertas itu. Pelan-pelan ia membuka lipatan kertas itu, membaca tulisan yang ada di sana secara seksama.

            Aku berikrar dalam sungguhku kalau aku takkan mudah menjatuhkan hati

            Kalau aku mesti mawas diri mesti awas hati

            Jangan sampai aku salah serahkan hati kecil pada sang pujaan hati

            Aku gadis yang ternyata mengingkari ikrar suci

            Kamu datang di saat aku butuh dan ingin seseorang

            Seseorang yang kan kujatuhkan hatiku padanya

            Tak cukupkah hanya berharap dan mengira kalau kamu pastinya ingin?

            Maka kertas kumal inilah jadi pengantara kalau aku menyatakan perasaanku

            Perasaan yang menghasratkan kalau aku mencintai dirimu

            Sejak pertemuan tak terkira...

            L.A.K, 06/11/2016

            Melihat pilihan kata yang dituliskan perempuan itu, Endo mengambil kesimpulan bahwa Lili mengakui perasaannya pada Endo. Ia juga berkesimpulan kalau Lili menyukai dirinya dan berharap Endo juga menyukai dirinya. Lelaki berambut keriting itu mengulas senyum tipis membaca untaian kata yang disusun Lili dalam kertasnya. Lelaki itu melipat kembali kertas itu lalu diselipkan di dalam bantal.

            Kalau kau tahu keadaanku sebenarnya, apakah kau masih akan mencintaiku? Endo membatin. Ia tak tahu apakah harus membalas cinta Lili padahal kondisinya saat ini tengah kritis bahkan mengangkat tangan pun susah.

            "Bu, bisaaku minta tolong?" Ibunda Endo menjawab dengan anggukan kepala.

            "Ibu... punya... pulpen dan ker-rtas?"

            "Untuk apa?"

            "Aku ingin menulis," jawabnya dengan suara lirih. Sang Ibunda merogoh isi tasnya guna mencari apa yang diinginkan anaknya. Tak menemukan barang yang dicari, ibunda Endo berlari meninggalkan putranya menuju meja resepsionis rumah sakit.

            "Ibu ke meja resepsionis sebentar. Mencari pulpen dan kertas," kata Ibundanya seraya meninggalkan Endo di ruangan itu.

*

            Dalam kamar tidur berukuran 4x5 meter itu, perempuan berkulit putih itu duduk di atas ranjang, melayangkan pikirannya ke dunia angan-angan. Memikirkan sesuatu yang mungkin hanya dia sendiri yang mengetahui.

            Bagaimana ya tanggapan dia sama puisi? Bagus enggak ya? Apakah dia bisa menangkap makna yang terdapat di puisiku? Dia tahu enggak ya kalau aku suka sama dia?Pertanyaan demi pertanyaan menjejali hati dan pikiran Lili. Dia tidak bisa menenangkan dirinya sendiri.

*

            Sementara itu ibunda Endo sudah kembali dengan selembar kertas HVS dan pulpen di tangan. Sang anak memutar lehernya ke arah pintu ketika seorang perempuan paruh baya menghampiri dirinya. Sang ibu menyerahkan kertas dan pena itu pada putranya.

            "Ibu...," kata Endo dengan napas tersengal. Ibunya menatap penuh perhatian dan Endo menganggap tatapan mata ibunya sebagai jawaban 'iya'.

            "To-tolong I-ibu tu-tulis puisi y-yang khu-kuucapkan ini. S-setelah itu hubungi Ri-richard." Wajah Endo memutih bagai kertas tisu. Ia refleks memegang dada serasa ditimpa beban berat. Hela napasnya terputus-putus.

            "Iya, Nak. Ibu akan tulis puisi yang kamu bilang itu. Bilang saja kalimatnya pelan-pelan. Tidak usah terburu-buru," ujar sang ibu dengan roman sedih.

*

            9 November

            Masih segar dalam ingatan Richard ketika ibunda Endo menyuruhnya ke rumah sakit Harapan Bersama. Dan yang membuat dirinya tambah khawatir, Endo sedang dalam kondisi kritis. Ibu dari teman akrabnya ingin menitipkan sesuatu padanya.

            Richard melajukan sepeda motor yang ditungganginya begitu kencang sampai-sampai angin malam begitu kuat menerpa dadanya. Lelaki itu sudah lama mengetahui kalau Endo mengidap kanker paru-paru. Selama ini, dia bertahan hidup dengan resep obat-obatan herbal China. Meski begitu, ada masa ketika tubuh seseorang tidak bisa lagi menahan penyakitnya walau mencoba menangguhkan masa hidup dengan menggunakan obat-obatan semanjur apapun itu. Dan bisa jadi di sini batas tubuh Endo bisa menahan kanker yang sudah menuju stadium akhir.

            Tiga puluh menit Richard bergumul dengan kencangnya angin malam kini ia sudah tiba di halaman depan rumah sakit Harapan Bersama seraya memarkirkan sepeda motornya. Ia dengan langkah kaki terburu-buru mencari ruangan tempat sahabatnya dirawat.

            Lama mencari akhirnya Richard menemukan ruangan tempat Endo dirawat. Ketika akan memasuki ruangan, lelaki kurus itu mendapati ibunda Endo tengah menangis tersedu-sedu sambil menyebutkan nama Endo dalam isak tangis menyedihkan itu.

            "Lho, tante, kenapa tante ada di sini? Mana Endo? Dia masih di dalam 'kan?" Richard memberikan serentetan pertanyaan tentang keberadaan Endo.

            Dengan suara serak bercampur isak tangis ibunda Endo menjawab, "Endo... Endo dia tidak ada di sana. Dia... dia sudah meninggalkan kita semua untuk selamanya."

            Richard menggelengkan kepala dan mulai mengeluarkan suara isak tangis yang tertahan di tenggorokannya. "Itu enggak mungkin 'kan, Bu. Endo enggak mungkin meninggal," bantah Richard seraya menitikkan air mata dari kedua pelupuk matanya.

            "Kalau kamu enggak percaya, kamu jalan saja lurus lalu belok kiri. Lima meter dari sana ada ruangan tempat Endo berada saat ini," terang ibunda Endo dengan tatapan hampa.

            Richard berbalik badan meninggalkan ibunda Endo di sana. Ia melangkah lemas dan gontai, tak menerima kenyataan yang ada. Teman yang selama ini paling setia dan suka memberikan nasihat dan semangat, teman sepermainan di olahraga basket kini telah tiada. Hatinya masih dipenuhi rasa sesak dan perih setelah disakiti oleh pukulan takdir yang amat menyakitkan. Ia ingin melihat wajah temannya sekali lagi mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya.

            Begitu sampai di ruangan yang dituju, lelaki kurus itu melihat seorang suster telah keluar dari ruangan itu. Sebelum suster itu menjauh, Richard menahan suster itu.

            "Suster, apakah jenazah teman saya ada di sana?"

            "Namanya siapa?"

            "Endo Hasnanto Purba." Suster berambut sebahu itu menggangguk sekali ketika nama jenazah yang disebutkan anak lelaki itu memang ada di ruangan itu.

            "Boleh saya masuk sebentar? Saya ingin lihat wajah teman saya," lanjut Richard. Suster itu menggangguk lagi menyanggupi permintaan Richard. Kedua kakinnya bergetar hebat begitu ia memasuki pintu kamar jenazah. Aura dingin dan kematian begitu melekat di sana bak parfum pewangi ruangan.

            "Ini dia," tunjuk sang suster. Lagi-lagi, kedua tangan Richard mengeluarkan butiran keringat dingin diikuti gemetaran kedua tangannya. Hatinya masih diselimuti gentar sekaligus sesak di dada saat membuka kain penutup jenazah. Ketika kain penutup sudah memperlihatkan wajah Endo, Richard tak mampu menahan isak tangisnya. Ia ingin menuntaskan rasa pedih nelangsa ditinggalkan sahabatnya dengan memeluk erat badan Endo seolah Richard ingin memberikan pelukan terakhir sebelum tubuh dingin Endo terkubur dalam tanah.

*

            Richard mengelap air mata yang menetes dengan menggesekkan bahunya ke pelupuk mata. Dan setelah  bel pulang sekolah berbunyi, Richard akan menemui Lili. Perempuan itu masih tidak terima kalau Endo meninggal dunia. Ia berusaha menyangkal kenyataan dan mengganggap lelaki yang dicintainya hanya pergi berlibur dan akan kembali lagi bersekolah.

            Lelaki berambut lurus itu berjalan penuh kesiapan menghampiri Lili yang sudah lama menunggu di gerbang depan. Lili tidak sendiri. Dia ditemani seorang perempuan yang juga dia kenali---Rasya. Sebelum pulang sekolah, Richard sudah menghubungi Rasya lewat whatsapp guna menemani Lili yang akan menunggu dirinya di depan gerbang sekolah. Awalnya Rasya menolak, akan tetapi setelah dipaksa berulang kali Rasya mengiyakan ajakan Richard.

            "Kamu udah lama nunggu, Lil?"

            "Ya enggak lama sih. Untung ada Rasya di sini," jawab Lili sambil menunjuk Rasya menggunakan jempolnya.

            "Kamu ingin tahu kan di mana Endo?" Lili mengangguk penuh antusias lalu melanjutkan pembicaraan lagi, "Ikut denganku. Kamu akan tahu di mana Endo sebenarnya. Kamu bawa sepeda motor 'kan, Lil?"

            "Bawa kok." Setelah mengetahui kalau Lili membawa sepeda motor, ketiganya beranjak dari gerbang depan menuju area parkir. Sesudah menemukan sepeda motor masing-masing, mereka menghidupkan mesin meininggalkan pekarangan sekolah.

            Perjalanan menuju rumah ibu almarhum Endo berlangsung begitu cepat. Sekitar lima belas menit bergumul di jalan raya, ketiganya telah sampai di sebuah rumah bercat biru, berpagar besi keperakan. Richard turun terlebih dahulu dari jok sepeda motor lalu melangkah menuju pagar, memencet bel yang tersedia di samping pagar.

            Sesudah memencet bel dua kali, seorang perempuan paruh baya berambut hitam agak kusut menampakkan diri di hadapan mereka sambil memberikan senyum samar.

            "Kalian kan temannya almarhum anak saya---?"

            "Siapa yang Tante maksud dengan almarhum? Endo enggak mungkin---"

            "Cukup Lili!" bentak Richard penuh emosi. Lili, Rasya dan ibunda Endo diam sesaat begitu Richard membentak Lili karena dia terus-terusan menyangkal bahwa Endo masih hidup.

            "Tante... bisakah kami masuk?" Richard menarik napas lalu diembuskan pelan-pelan untuk menurunkan lonjakan emosi yang sempat menguasai hatinya.

            "Silakan." Ibu Endo membuka rantai gembok membelenggu pagar lalu mempersilakan mereka bertiga masuk. Ketika memasuki ruang tamu, membawa angan Lili ke masa lalu ketika dia berkunjung ke rumah Endo, bertukar novel pada lelaki itu.

            Begitu mereka bertiga duduk di atas sofa, Richard langsung membuka pembicaraan, "Sekarang Tante bisa berikan kertas itu pada perempuan ini," tunjuk Richard pada Lili. Perempuan berkulit putih itu kebingungan dengan apa yang dikatakan lelaki itu.

            "Kertas apa yang kamu maksud, Chard?"

            "Kertas yang akan menyadarkan kamu kalau dia benar-benar telah tiada, Lil."

            Tangan kanan ibunda Endo bergetar ketika akan menyerahkan kertas itu pada Lili. Kedua bola matanya memerah, hendak meneteskan air mata namun tertahan di pelupuk mata. Lili menerima kertas itu dengan hati dipenuhi tanda tanya tentang apa isi

            Andai tak termilikiku hidup 24 jam

Kan kupastikan rasa ini benar terungkap

Karena maut hampir menarik napasku hingga tercekat

Aku mencintaimu walau sekejap bahkan sesaat

Mungkin tak ada lagi waktu tuk jabarkan alasan demi alasan

Namun bila di surga nanti aku ingin lihat bibir indahmu goreskan senyum terindah

Biar aku tenang menghadap sang Ilahi...

            Lili tak mampu membendung tangisnya membaca kata demi kata yang diungkapkan Endo lewat puisi yang diungkapkannya. Sulit bahkan teramat sulit bagi Lili untuk mempercayai bahwa Endo, lelaki pujaannya sudah menghadap sang Tuhan. Ia sungguh menyesal tidak mengungkapkan perasaannya kepada Endo.

            "Ikhlaskan dia, Lil. Aku yakin di surga sana Endo bakal sedih lihat kamu begini." Rasya perlahan menghampiri sahabatnya yang tengah terpukul. Ia memberikan semangat dan sentuhan hangat di pundak kawannya.

            Lili dengan berat hati mencoba melupakan Endo dari kehidupannya. Lalu ia teringat akan foto-foto yang dipajangnya di dalam lemari pakaian dan sebuah botol kaca kecil yang menyimpan cairan aneh di dalamnya.

            Aku mencintainya. Aku akan menyusulnya, ucap batin Lili.

Selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun