"Bacalah. Aku yakin kamu suka," ucap gadis itu sambil menyimpulkan senyum manis.
      Perlahan tapi pasti, Endo membuka kelopak matanya. Dadanya masih menyisakan sesak dan sakit menyiksa. Ia berusaha mengatur irama pernapasannya agar lebih rileks. Kepalanya menoleh ke kiri ada ibundanya tertidur dengan posisi kedua tangan dilpat menimpa kepala.
      "I-ibu,"panggil Endo dengan nada bicara lirih tapi itu belum cukup untuk membangunkan ibunya. Endo mencoba memanggil ibunya.
      "I-ibu... a-aduh, I-ibu." Telinga ibundanya peka begitu ia mendengar suara putranya memanggil dirinya. Sontak sang ibunda menegakkan kepala, memastikan apakah yang memanggil dirinya itu adalah anaknya.
      "Endo kamu sudah sadar, Nak? Puji Tuhan kamu sudah sadar. Ada perlu apa anakku? Apa yang bisa Ibu bantu untuk kamu?" tanya Ibundanya dengan hati gembira sambil memberikan pelukan refleks pada putranya.
      "Ker-tas, Bu."
      "Kertas? Kertas apa?" tanya sang Ibu bingung sambil melonggarkan pelukannya. Tapi kebetulan ibunya membawa tas sandang di pundak lalu membuka resleting tas. Perempuan paruh baya itu mengaduk-aduk isi tas lalu mengeluarkan sesuatu yang dia yakini dicari oleh anaknya.
      "Maksud kamu ini?" Sang ibu menunjukkan sebuah kertas dikotori darah kering. Endo mengangguk pelan mengiyakan pertanyaan sang ibu. perempuan itu mendekatkan lipatan kertas itu ke tangan anaknya. Endo sudah mendapatkan kertas itu. Pelan-pelan ia membuka lipatan kertas itu, membaca tulisan yang ada di sana secara seksama.
      Aku berikrar dalam sungguhku kalau aku takkan mudah menjatuhkan hati
      Kalau aku mesti mawas diri mesti awas hati
      Jangan sampai aku salah serahkan hati kecil pada sang pujaan hati