"Sabar, Bro.  Dia cewek. Gua tahu elo benar tapi jangan pakai otot. Oke?" lerai Endo sambil memegang pundak Farid.
      "Kita biarkan aja si Endo ngurus ini cewek," tambah Richard.
      Endo langsung membelalakkan bola matanya pada Richard. Tapi malah dibalas kedipan mata kanan.
      "Eh Ndo, lo kan jomblo. Lo bisa manfaatkan ini momen buat kenalan sama nih cewek. Gua sama Farid mau pergi. Bye," pamit Richard sambil menarik tangan Farid, membiarkan laki-laki dan perempuan itu berdua.
      "Maafkan temanku yang gempal itu ya. Dia orangnya emosian," ucap Endo sambil mengulas senyum kecil.
      "Jadi dia pikir karena badannya besar, akut takut? Kukepret kepalanya peang tuh," ketus Lili sambil menaruh bukunya di lantai depan kelas.
      "Tapi coba aku lihat buku apa yang kamu baca tadi," pinta Endo. Perempuan kulit putih itu langsung memberikan buku yang dibacanya pada Endo.
      "Hmm, kamu suka ya karya-karya sastra klasik karangan Marah Roesli, Abdoel Moeis, Pramoedya Ananda Toer?"
      "Begitulah. Karya sastra yang seperti inilah yang membuatku  kagum dengan kelihaian para pengarang zaman dulu dalam mengolah kata," jelas Lili.
      "Aku juga suka sastra. Tapi aku lebih suka membaca karya luar negeri," balas Endo.
      Lili tersenyum senang begitu mengetahui kalau laki-laki yang berada di dekatnya saat ini, juga penyuka karya sastra. Tak masalah itu karya sastra dalam negeri atau luar negeri. Dalam hati Lili, ia pesimis jika melihat anak remaja seumurannya tidak suka membaca. Padahal dengan membaca, kita bisa mengetahui bagaimana keadaan dunia sebenarnya. Minimal peka terhadap segala perubahan yang terjadi di sekitar kita. Dengan membaca, kita bisa menambah ilmu dan wawasan yang tak sepenuhnya kita dapat di bangku sekolah atau perkuliahan.