d.Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Iddah dan Rujuk
 Sementara itu, selain konsekuensi materiil, baik itu nafkah pada bekas istri dan anak, akibat hukum lainnya dari perceraian adalah iddah dan rujuk. Iddah dan rujuk mungkin jarang menjadi persoalan yang disorot dan dibahas apalagi menjadi sengketa terutama di Pengadilan Agama. Meski demikian, iddah dan rujuk tetap penting untuk dapat diketahui dan dipahami. Dari perspektif jender sendiri, ada juga beberapa pakar yang mengkritisi dan kemudian menawarkan solusi atas kemungkinan dilema yang terjadi dari iddah dan rujuk ini. Hal ini akan dibahas pada subbab berikutnya.
 Masa 'iddah sederhananya dapat didefinisikan sebagai waktu tunggu bagi seorang istri akibat putusnya perkawinan, baik itu karena perceraian talak dari suami atas istri, khuluk, maupun kematian dan putusan pengadilan. Iddah memang secara eksplisit diperintahkan dalam al-Qur'an dan disepakati oleh jumhur ulama fiqih.14 Tentu bukan hal mengherankan bahwa ketetapan ini juga kemudian diatur dan diadopsi oleh hukum perkawinan Islam di Indonesia. Baik Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun KHI mengatur ketentuan tentang iddah ini.
Kesimpulan
 perkawinan dalam hukum positif di Indonesia, dasar hukum perkawinan baik perspektif Islam maupun hukum positif di Indonesia, dan tujuan perkawinan dalam Islam serta peraturan perundang undangan yang berlaku di Indonesia, menurut para fuqaha.
perkawinan merupakan suatu pertalian antara laki-laki dan perempuan (termasuk keluarga kedua belah pihak) sebagai ikatan dengan yang disebut suami dan istri karena telah melalui suatu akad yang sakral dengan tujuan taat atas perintah Allah, mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawaddah dan rahmah sehingga dalam pelaksaannya atau bagi yang melaksanakannya juga terdapat nilai ibadah karena keduanya (suami dan istri) telah berada dalam kehalalan antara satu sama lain.
 Pertalian keduanya berarti bahwa para pihak yang bersangkutan karena perkawinan, secara formil merupakan suami istri, baik bagi mereka dalam hubungannya satu sama lain maupun bagi mereka dalam hubungannya dengan masyarakat luas. Pertalian batin dalam perkawinan berarti bahwa di dalam batin suami dan istri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tidak memperhatikan jangkauan waktu tertentu.
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa perkawinan itu seharusnya membawa pesan perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Fikih yang ada (tradisionalis) tentang perkawinan dan perceraian sarat akan pengaruh kondisi sosial dan budaya ketika hukum tersebut dibentuk. Sikap saling menghormati, saling memberikan dukungan dan saling berbuat baik antara suami dan istri adalah idealisme Islam dalam hukum perkawinan yang harus diwujudkan.
Bibliography
 Nabiela Naily, Nurul Asiya Nadhifah, Holilul Rohman, Mahir Amin, Hukum Keluarga Islam Indonesia. Jakarta Pusat: Prenadamedia Group, 2019.