Mohon tunggu...
Angga Alvin
Angga Alvin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sepak bola

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku Hukum Perkawinan Islam Indonesia

14 Maret 2024   09:00 Diperbarui: 14 Maret 2024   09:04 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hukum perdata islam di Indonesia

Hukum perkawinan Islam di Indonesia

Nabiela Naily, S.SI., M.H.I., M.A.

Nurul Asiya Nadhifah, M.H.I.

Dr. Holilul Rohman, M.H.I.

Mahir Amin, M.Fil.l.

(Angga Alvin Kurniawan) 

222121086 (HKI1C)

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Abstract:

Buku berjudul Hukum Perkawinan di Indonesia di tulis oleh Nabiela Naily, S.SI., M.H.I., M.A. Nurul Asiya Nadhifah, M.H.I. Dr. Holilul Rohman, M.H.I. Mahir Amin, M.Fil.l. membahas tentang pengertian perkawinan dalam islam, pengertian perkawinan dalam hukum ppositif, konsep-konsep tentang perkawinan, Sejarah hukum perkawinan, persoalan tentang anak dan anak luar kawin dalam hukum perkawinan. Bertujuan untuk mengetahui apa itu perkawinan dalam islam serta perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dan mampu menguraikan dan menyampaikan apa itu arti perkawinan juga untuk mengetahui dasar hukum perkawinan di Indonesia itu seperti apa. Penjelasanya tidak hanya secara hukum islam saja melainkan juga menggunakan hukum positif dalam mempermudah pemahaman dan landasan yang di gunakan UU No. 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam atau bisa di sebut (KHI). Dengan saya menulis ini supaya membantu mempermudahkan memahami hukum perkawinan secara singkat dan jelas, di sebabkan di perbagai negara atau agama pasti hukum nya berbeda-beda. Selain itu juga ada pembahasan tentang hukum perkawinan juga ada pembahasan lain seperti hal nya perkawinan, penceraian dan juga poligami.

Keywords: Perkawinan; Poligami; Penceraian.

Introduction

Salah satu ketaatan kita ke pada Allah SWT dengan kita mematuhi apa yang di perintah kan ke pada kita dengan adanya suruhan untuk kita malakukan pernikahan seperti hal nya pada agama kita agama islam yang menyuruh kita untuk menikah di karnakan itu adalah sunnah Nabi Muhammad SAW, di karnakan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, dan terciptanya kerukunan dalam rumah tangga yang (sakinah, mawaddah warahmah).

Diharapkan di balik pernikahan bisa membuat hubungan pernikahan itu kekal dan abadi, tidaklah menutup kemungkinan apabila rumah tangga tersebut terjadi disharmonis, karenanya dimungkinkan terjadinya perselisihan, pertengkaran dan bahkan menjurus pada kekerasan diantara kedua pihak (KDRT). Apabila perselisihan, pertengkaran dan kekerasan tidak dapat diatasi, maka kondisi rumah tangga akan mencapai puncaknya yang mengarah kepada perceraian dan atau bubarnya perkawinan

Perkawinan

Pengertian Perkawinan

 Perkawinan merupakan pengembangan dari kata dasar kawin yang berasal dari bahasa Arab yang bermakna "kawin atau nikah". Perkawinan yang juga disebut "pernikahan", berasal dari kata nikah (), menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan arti bersetubuh (wathi). Sedangkan nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual, namun menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum, nikah ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang Wanita.

 Akad nikah bukan sekedar ucapan untuk mengesahkan ikatan lahir batin antara pria dan wanita, tetapi di dalamnya terdapat tanggung jawab lahir batin di antara keduanya.4 Al-Qur'an menggambarkan sifat yang luhur bagi ikatan yang dijalin oleh dua insan berbeda jenis yakni ikatan perkawinan dengan gambaran yang dikemukakan melalui beberapa ayat, antara lain ayat 21 surat an-Nisa'.

Secara umum perkawinan adalah merupakan sebuah ikatan lahir dan batin antara laki laki dan perempuan (beserta kedua keluarga), miithaqan ghalizan ikatan yang mempunyai konsekuensi berat, yang berimplikasi terhadap hak dan kewajiban masing masing guna untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, penuh dengan mawaddah dan rahmah. Sedangkan perkawinan dalam hukum positif yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dasar hukum perkawinan

Perkawinan atau pernikahan itu adalah sunnatullah artinya perintah Allah dan Rasul-nya, tidak hanya semata-mata keinginan manusia atau hawa nafsunya saja karena seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah mengerjakan sebagian dari syariat (aturan) agama Islam. Perkawinan dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Perkawinan harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syariat yakni kemaslahatan dalam kehidupan. Sehingga perkawinan dapat dikatakan suatu perbuatan untuk mencapai ketenteraman dan kedamaian, lebih daripada hal tersebut, perkawinan dianjurkan oleh Allah SWT dan dipraktikkan oleh Nabi SAW.

Dalam hal perkawinan, Allah SWT dalam al-Qur'an telah menerangkan bahwa Ia menciptakan manusia dengan berpasangan, yang kemudian dijelaskan oleh hadis Nabi, bahwa diperintahkan untuk mensegerakan menikah atau melaksanakan perkawinan bila sudah mampu secara materil, dan bagi yang belum mampu, maka diperintahkan untuk berpuasa agar nafsunya bisa terjaga atau terpelihara sehingga tidak terjerumus dalam kekuasaan hawa nafsu, khususnya dalam hal perkawinan.

Sedangkan dasar hukum perkawinan dalam undang-undang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang rumusannya: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat pada Pasal 2 dan 3 serta 4 disebutkan bahwa: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miithaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Tujuan Perkawinan

 Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Tujuan perkawinan dalam Islam itu di antaranya sebagai berikut:

1.Penyaluran Syahwat dan Penumpahan Kasih Sayang Berdasarkan Tanggung Jawab

Sudah menjadi kodrat iradah Allah SWT, manusia diciptakan berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita. Oleh al Qur'an dilukiskan bahwa pria dan wanita bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain, sebagaimana tersebut pada surat al-Baqarah ayat 187.

2.Mendapatkan dan Melangsungkan Keturunan

Naluri manusia itu mempunyai kecenderungan untuk mempunyai keturunan. Agama Islam memberi jalan hidup manusia agar hidup bahagia di dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia dan akhirat dicapai dengan hidup berbakti kepada Tuhan secara sendiri-sendiri, berkeluarga dan bermasyarakat. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain ditentukan oleh kehadiran anak-anak, karena mempunyai anak merupakan salah satu tujuan terpenting pernikahan. Dan karena kokohnya umat tergantung banyaknya generasi yang berkualitas maka Islam memerintahkan umatnya agar memiliki anak serta menghasilkan keturunan saleh yang akan menjadi bagian dari umat terbaik. Sebagaimana yang dimaksud dalam firmannya surat Ali 'Imran ayat 110.

3.Memelihara dari Kerusakan

Ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat ditunjukkan melalui perkawinan. Kokoh dan tidaknya sebuah masyarakat akan ditentukan dengan kokoh dan tidak bangunan sebuah keluarga, karena keluarga merupakan bagian terkecil dalam sebuah masyarakat.

Asas-Asas Hukum Perkawinan Islam Indonesia

Hukum perkawinan Islam di Indonesia dirumuskan melalui sejarah yang cukup panjang dan dinamis serta diwarnai dengan perdebatan dan perbedaan pendapat dari beberapa kalangan terhadap beberapa aspek. Di antara aspek-aspek tersebut ada lah tentang poligami, perceraian dan usia minimal menikah. Dalam hal ini kemudian ditetapkan bahwa ada asas-asas yang melandasi hukum perkawinan Islam di Indonesia dan asas-asas tersebut adalah:

*Asas membentuk keluarga bahagia dan kekal

*Asas monogami

*Asas kedewasaan

*Asas mempersulit terjadinya perceraian

*Asas perkawinan harus dicatatkan

*Asas kesukarelaan

*Asas kebebasan memilih

*Asas personalitas keislaman.

Larangan Perkawinan

 Larangan Perkawinan. Salah satu aturan penting berkenaan dengan calon pasangan adalah laki-laki dilarang menikah dengan mahramnya. Aturan ini dijelaskan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 23 dan selanjutnya disimpulkan dalam KHI Pasal 39-44. Salah satu larangan pernikahan adalah adanya hubungan mahram antara suami dan istri. Mahram ada tiga macam, yaitu kekerabatan, mahram karena pertalian kerabat semenda, mahram karena pertalian persusuan. Selain karena alasan mahram, laki laki juga dilarang melakukan pernikahan karena beberapa alasan tertentu yang disebutkan dalam KHI Pasal 40-44.

 Pencegahan perkawinan ini pada dasarnya adalah aturan lanjutan dari larangan perkawinan yang telah dibahas sebelumnya. Artinya, jika ada laki-laki mau menikahi perempuan yang dilarang sebagaimana dijelaskan dalam KHI Pasal 39-34, maka pernikahan tersebut harus dicegah karena tidak sesuai dengan aturan agama yang tertera dalam al-Qur'an dan hadis, dan juga melanggar aturan pemerintah sebagaimana tertuang dalam KHI. Adanya pencegahan ini pada hakikatnya untuk membawa kemaslahatan bagi kedua pasangan, suami dan istri.

 Pembatalan pernikahan adalah upaya untuk tidak melangsungkan pernikahan karena alasan-alasan tertentu. Pembatalan dilakukan karena alasan salah satu persyaratan dan rukun pernikahan yang tidak terpenuhi. Selain itu, pembatalan juga dilakukan karena alasan adanya larangan pernikahan yang dilanggar. Pembatalan pernikahan akan memberi dampak positif dan membawa kemaslahatan bagi suami dan istri, karena pada hakikatnya jika pernikahannya tidak dibatalkan, maka akan terjadi bahaya dan kemudaratan yang dihadapi keduanya.

 Berikut beberapa larangan perkawinan:

1.Mahram Kekerabatan

 Mahram kekerabatan adalah mahram terdekat dibanding dengan macam mahram lainnya. Larangan menikahi mahram ini dijelaskan dalam surat an-Nisa' ayat 23 lalu disimpulkan dalam KHI Pasal 39 ayat 1, yaitu dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian nasab

a.dengan seorang wanita yang melahirkan (ibu), atau yang menurunkannya (ibunya ibu, dan terus ke atas), atau keturunannya (anak perempuan).

b.dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu. Yang dimaksud adalah saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan atau anak perempuan dari saudara kandung, baik itu saudara kandung laki-laki ataupun perempuan.

c.dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. Dalam hal ini adalah bibi dari pihak ibu terus ke atas (saudara perempuan ibu, saudara perempuan nenek, dan seterusnya), dan bibi dari pihak ayah terus ke atas (saudara perempuan ayah, saudara perempuan kakek, dan seterusnya).

2.Mahram karena Pertalian Kerabat Semenda

Mahram karena pertalian kerabat semenda juga disebut dengan mahram karena pernikahan (musaharah). Larangan ini dijelaskan dalam al-Qur'an yang selanjutnya disimpulkan dalam KHI Pasal 39 ayat 2, yaitu:

a.dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya. Secara bahasa ibu dari istri adalah ibu mertua. Larangan ini juga berlaku bagi ibu dari ibu mertua, yaitu nenek dari istri, nenek istri dari ayah, dan terus ke atas.

b.dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya. Wanita yang dimaksud adalah mantan istri ayah terus ke atas, yaitu mantan istri kakek dan terus ke atas.

c.dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla al dukhul. Wanita yang dimaksud adalah anak istri dari suami yang pernah diceraikan, atau yang disebut dengan istilah anak tiri. Catatannya, anak tiri menjadi mahram setelah terjadi hubungan seksual (jima') dengan ibunya. Konsekuensinya, jika seorang laki-laki telah akad nikah dengan ibunya namun belum terjadi hubungan seksual dengan ibunya, maka anak tiri tersebut bukanlah mahram sehingga boleh dinikahi.

d.dengan seorang wanita bekas istri keturunannya. Yang dimaksud wanita ini adalah istri dari anak, atau yang lebih dikenal dengan istilah menantu. Termasuk juga keharaman berlaku bagi mantan istri cucu dari anak laki-laki atau perempuan, dan ke bawah seterusnya.

3.Mahram karena Pertalian Persusuan

Mahram karena persusuan sama dengan mahram karena hubungan kekerabatan dan lebih detailnya di bahas dalam KHI Pasal 39 ayat 3, yaitu:

a.dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.

b.dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.

c.dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah.

d.dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.

e.dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

4.Larangan Pernikahan Selain Alasan Mahram

Selain karena alasan mahram, laki-laki juga dilarang melakukan pernikahan karena beberapa alasan tertentu yang disebutkan dalam KHI Pasal 40-44.

 Saya akan menjelaskan salah satu dari 5 pasal, yaitu;

*Pasal 42

Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`'i.

Rukun Perkawinan

 rukun pernikahan adalah sesuai dengan aturan yang ada dalam agama masing-masing pasangan suami istri. Jika pasangan suami istri beragama Islam, maka rukun pernikahannya pun berdasarkan aturan yang berlaku dalam Islam, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fikih. Rukun pernikahan menurut KHI sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ada lima, yaitu:

*calon suami

*calon istri

*wali nikah

*dua orang saksi

*ijab dan kabul.

Sedangkan dalam kajian fikih khususnya mazhab syafi'i, rukun pernikahan adalah akad nikah, kedua calon laki-laki dan perempuan, wali, dan saksi.

Pembatalan Perkawinan

 Pembatalan perkawinan adalah upaya untuk tidak melangsungkan pernikahan karena alasan-alasan tertentu. Secara umum, pembatalan dilakukan karena alasan salah satu persyaratan dan rukun pernikahan yang tidak terpenuhi. Selain itu, pembatalan juga dilakukan karena alasan adanya larangan pernikahan yang dilanggar. Pembatalan pernikahan dalam hukum Islam dikenal dengan istilah fasakh. Pembatalan pernikahan akan memberi dampak positif dan membawa kemaslahatan bagi suami dan istri, karena pada hakikatnya jika pernikahannya tidak dibatalkan, maka akan terjadi bahaya dan kemudaratan yang dihadapi keduanya. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 23, pembatalan pernikahan dapat diajukan oleh beberapa pihak berikut:

a.Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.

b.Suami atau istri.

c.Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.

d.Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Dispensasi Usia Minimal Pernikahan

 Dispensasi perkawinan adalah pemberian kelonggaran kepada calon mempelai yang belum memenuhi syarat usia minimal untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa "perkawinan hanya bisa dilaksanakan apabila pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun". Sedangkan izin poligami adalah permohonan izin dari seorang laki-laki kepada Pengadilan Agama untuk menikah lagi dan memiliki istri lebih dari seorang.

 Fakta hukum di masyarakat selalu mempunyai daya tarik tersendiri untuk dikaji dan didiskusikan dalam tataran akademis. Salah satunya tentang dispensasi perkawinan. Sebagaimana telah diketahui, usia menjadi salah-satu pokok keharusan dalam melangsungkan perkawinan, akan tetapi tidak sedikit di masyarakat yang mengensampingkan hal tersebut. Karenanya, dispensasi menjadi perlu keberadaan dan penerapannya, terutama bagi masyarakat yang pada dasarnya memerlukan, baik secara adat maupun tuntutan lainnya.

Dalam pengertiannya, dispensasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengecualian dari urutan umum untuk suatu keadaan yang khusus; pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan; tindakan pemerintah yang menyatakan bahwa suatu perundang-undangan tidak berlaku untuk suatu hal yang khusus.1 Dengan kata lain dispensasi bisa diartikan dengan suatu kelonggaran, memberikan keringanan, memberikan kelonggaran dalam hal khusus dari ketentuan undang-undang.2 Jadi dispensasi merupakan suatu kelonggaran terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak dibolehkan menjadi boleh untuk dilakukan.

Sebagaimana dijelaskan dalam paket terdahulu tentang pengertian perkawinan, dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3 Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 2 perkawinan/pernikahan adalah suatu akad yang kuat untuk melaksanakan perintah Allah SWT, dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Poligami

 Kata poligami secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang berarti istri atau pasangan. Jadi poligami bisa dikatakan mempunyai istri lebih dari satu orang secara bersamaan. Adapun secara terminologis, poligami dapat dipahami sebagai suatu keadaan dimana seorang suami memiliki istri lebih dari satu orang secara bersamaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata poligami diartikan sistem perkawinan yang membolehkan seseorang mempunyai istri atau suami lebih dari satu orang. Poligami adalah menikahi seseorang sebagai istri atau suami kedua, ketiga dan seterusnya.

Dalam literatur lain disebutkan bahwa poligami berasal dari bahasa Inggris yaitu "poligamy" dan dalam Islam berarti beristri lebih dari seorang perempuan.10 Dalam pengertian umum yang berlaku dalam masyarakat, poligami diartikan seorang laki-laki mengawini beberapa orang perempuan.

poligami menjadi kajian yang akut, yakni tidak bisa dilepas dari tabiat lelaki yang ingin mempunyai 2 orang pendamping atau lebih, padahal beberapa hal yang ada di dalam hubungan khususnya rumah tangganya belum tentu dapat dibenarkan, seperti rumah tangga yang baik menjadi kurang baik akibat poligami dan seterusnya. Dan sayangnya, hukum tidak bisa berbuat apa-apa ketika poligami dilaksanakan dengan cara yang menyalahi aturan hukum yang berlaku di samping memang sejarah poligami cukup pelik dan tak adil terutama untuk perempuan.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat disimpulkan dengan jelas bahwa seorang suami yang bermaksud untuk menikah lagi atau beristri lebih dari seorang harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang tercantum di dalam ketentuan pasal-pasal tersebut. Dengan begitu jika pengadilan berpendapat bahwa memiliki alasan cukup untuk melakukan poligami, maka pengadilan akan memberi putusan yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.

Dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tentang perkawinan tersebut dengan jelas bahwa asas yang dianut oleh undang-undang perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan asas monogami terbuka, di mana poligami ditempatkan pada posisi hukum darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumtance).

Hak Suami dan Hak Istri

beberapa kewajiban bersama yang harus ditunaikan oleh suami istri. Kewajiban ini harus dilakukan dengan kompak tanpa ada saling iri atau saling menjatuhkan. Di antara hak dan kewajibannya adalah:

1.Bersama-sama Mewujudkan Keluarga yang Bahagia di Dunia dan Akhirat

Suami dan istri adalah partner bersama yang tidak bisa dipisahkan. Walaupun keduanya mempunyai fokus tanggung jawab yang berbeda, tapi keduanya saling men-support agar masing-masing tanggung jawabnya bisa terlaksana dengan baik. Suami harus mendukung pekerjaan dan aktifitas istri, begitu juga istri harus mendukung pekerjaan suami. Keduanya tidak boleh saling merendahkan dan menjatuhkan.

2.Hak Melakukan Hubungan Seksual

Pada dasarnya, urusan hubungan seksual bukan hanya menjadi hak suami saja atau istri saja. Baik suami atau istri memiliki hak yang sama untuk meminta pasangannya melakukan hubungan seksual. Ketika suami membutuhkan hak tersebut, maka istri wajib memenu hinya selama istri mampu melakukannya. Istri tidak boleh menolak permintaan suami jika istri benar-benar dalam keadaan sehat dan mampu. Akan tetapi jika keadaan istri sakit atau dalam kondisi yang tidak memungkinkan memenuhi kebutuhan seksual suami, maka istri tidak wajib memenuhinya, dan suami harus memahami alasan penolakan istri tersebut.

3.Hak Tetapnya Nasab Anak

Termasuk hak yang didapatkan suami istri secara bersamaan adalah hak tetapnya nasab anak. Artinya, ketika suami istri mempunyai anak, maka anak tersebut dinasabkan kepada ayah dan ibunya.14 Hal ini berbeda ketika anaknya lahir di luar pernikahan yang sah, maka anak hanya dinasabkan kepada ibunya saja. Hal ini dijelaskan dalam KHI Pasal 100.

4.Hak Hadanah

Suami dan istri punya hak sama dalam hadanah, yaitu mengasuh anaknya. Ketika keduanya masih dalam ikatan suami istri, maka hadanah berada di tanggung jawab keduanya. Suami dan istri wajib memperhatikan dan mengasuh dengan baik anak-anaknya.

5.Hak Saling Mencintai secara Tulus

Cinta adalah fitrah manusia. Setiap manusia merasakan hadirnya cinta, termasuk cinta suami kepada istri, dan istri kepada suami. Perempuan (istri) adalah makhluk perasa. Istri akan sangat bahagia jika suaminya benar-benar tulus mencintainya karena Allah, bukan karena rupa, harta, ataupun nasabnya. Kalaupun ada kecenderungan mencintai karena rupa, harta, dan nasab, itu hanyalah bonus pelengkap saja. Jika cinta sekedar didasarkan pada rupa, ketika rupa tak lagi menawan maka hilanglah cintanya. Jika cinta dinisbatkan pada kekayaan, ketika dia tak lagi berlimpah harta, sirnalah cintanya. Jika cintanya digantungkan pada nasabnya, ketika nasabnya ternoda, maka pudarlah cintanya. Cinta sesungguhnya adalah cinta tulus yang dilandaskan pada keimanan kepada Allah SWT.

6.Saling Setia

Salah satu problem yang menjadi hantu menakutkan dalam pernikahan adalah "ketidaksetian dan perselingkuhan". Problem ini menjadi salah satu faktor terbesar terjadinya perceraian. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh University of Colorado dan Texas A&M University pada tahun 2006 dijelaskan bahwa ketidaksetiaan merupakan penyebab utama perceraian yang paling sering dikemukakan pada penelitian terhadap 150 kebudayaan. survei tersebut, berdasar data statistik dari Direktorat Jenderal Pembinaan Peradilan Agama (yang sekarang menjadi urus an peradilan agama di bawah Mahkamah Agung), dijelaskan bahwa perselingkuhan menjadi ancaman serius nomor 4 bagi keutuhan rumah tangga. Artinya, banyak orang bercerai disebabkan adanya perselingkuhan. Jumlah kasus perceraian akibat perselingkuhan memiliki trend menanjak setiap tahunnya.

7.Menghindari hal-hal yang yang menimbulkan konflik, dan berusaha menyelesaikan konflik jika terjadi

Keharmonisan keluarga bersifat dinamis. Terkadang terasa indah dandamai, tapi tak jarang juga terasa panas membara. Setiap keluarga bisa dipastikan terjadi konflik di dalamnya, baik dalam skala kecil ataupun besar yang bisa mengancam keutuhan keluarga. Konflik terjadi bisa karena banyak hal, termasuk sesuatu yang remeh. Jangankan pada manusia biasa, keluarga Rasulullah SAW juga pernah dilanda "konflik".

Suami yang baik harus bisa menahan diri dari tindakan tindakan yang menyebabkan konflik. Baik suami ataupun istri, haruslah menahan diri agar tidak marah ketika terjadi hal-hal yang mengarahkan pada konflik. Karena ketika marah, orang bisa akan lepas kendali, bahkan melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dia kehendaki.

Perkawinan Campuran

 Perkawinan ialah pria dan wanita yang mengikat perjanjian suci lahir dan batin untuk menjadi sepasang suami istri yang bertujuan membentuk keluarga bahagia kekal sepanjang hidup berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan perkawinan campuran ialah dua orang pria dan wanita yang melangsungkan perkawinannya di Indonesia, sedang keduanya berbeda kewarganegaraannya sehingga harus tunduk pada hukum yang berbeda, namun salah satu dari keduanya berkewarganegaraan Indonesia. Dalam perkawinan campuran ini juga ada beberapa Akibat Hukum Perkawinan Campuran, salah satunya yaitu:

1.Sahnya Perkawinan

UU No.1 Tahun 1974 menegaskan bahwa sahnya perkawinan di Indonesia apabila dilakukanberdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing (Pasal 2 ayat 1). Perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia harus tunduk berdasarkan aturan dan undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Perkawinan dinilai sah apabila didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan yang dianutnya. Bila pasangan beragama Islam, perkawinannya harus tunduk pada hukum Islam. Persamaan keyakinan kedua mempelai meminimalisir munculnya persoalan, dan potensi masalah relatif bisa dikendalikan. Namun perkawinan campuran antara kedua mempelai tidak sama agama dan keyakinannya akan memunculkan berbagai persoalan rumit, apalagi keluarga masing-masing pihak terlibat dan tidak saling merelakan salah satu calon mempelai melebur pada keyakinan dan agama mempelai lainnya, ditambah status Kantor Catatan Sipil tidak lagi sebagai lembaga yang berfungsi mengawinkan, sebagaimana diatur dalam Keppres No.12 Tahun 1983.

2.Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan campuran tidak diatur secara khusus dalam UUNo. 1 Tahun 1974. Namun bila melangsungkan perkawinan di Indonesia, maka berlaku ketentuan pencatatan perkawinan.8 Pencatatan perkawinan untuk orang yang beragama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat, seperti ketentuan dimaksud pada Undang Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

Sedang pencatatan perkawinan untuk non muslim yang melangsungkan perkawinannya di Indonesia, berlaku ketentuan sesuai dengan hukum perkawinan yang berlaku, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Namun karena masalah pencatatan perkawinan campuran tidak diatur secara tegas dalam undang-undang, maka yang menjadi persoalan adalah dimanakah pencatatan perkawinan harus dilakukan. Mempelai dapat bersikeras mempertahan keinginannya di mana pencatatan perkawinan harus dilakukan. Yang lebih rumit ketika persolan ini terjadi pada perkawinan beda agama, apakah pencatatannya di KUA ataukah di kantor catatan sipil bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinannya yang beragama Islam dengan calon yang non muslim. Tentu hal ini perlu solusi agar ada kejelasan dan ketegasan hukum bagi masing-masing pihak dalam perkawinan campuran.

3.Harta Benda Perkawinan

Status harta dalam perkawinan campuran tunduk pada aturan dalam UU No. 1 Tahun 1974 bila suami berkewarganeraan Indonesia. Terhadap harta benda yang tidak dilakukan perjanjian, maka status hukumnya tunduk pada aturan Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974: "Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain."

Kemudian harta bersama dapat dikelola bersama antara suami dan istri. Namun segala tindakan hukum terhadap harta bersama harus melalui persetujuan para pihak. Demikian yang diatur pada Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Sedangkan harta bawaan dari masing-masing pihak, maka sesuai dengan ketentuan 36 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 sepenuhnya menjadi hak masing-masing para pihak.

4.Penceraian

Dalam persoalan terjadi perceraian pada perkawinan campuran kalau pihak suami berkewarganegaraan Indonesia, maka ketentuan aturan hukumnya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang undang No.1 Tahun 1974 dan PP (Peraturan Pemerintah) No.9 Tahun 1975. Sedangkan bagi pegawai negeri sipil tunduk ketentuan PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990. Namun yang menjadi persoalan adalah dalam hal perkawinan campuran kawinnya di Indonesia, suami warga negara asing dan tinggal serta menetap di luar negeri, maka yang muncul kemudian masalah hukum perdata internasional, dalam penentuan alasan dan syarat perceraian, demikian juga perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri. Perkawinan putus bisa karena sebab kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Menurut ketentuan yang diatur dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perceraian hanya dapat dilakukan di depan majelis pengadilan yang berwenang, setelah melalui proses mediasi dan tidak berhasil kedua belah pihak didamaikan.

5.Status Anak

Peraturan yang mengatur status hukum anak sudah cukup banyak. Namun dalam perkawinan campuran, status anak menjadi persoalan tersendiri, lebih-lebih terkait dengan status kewarganegaraan anak. Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 kedudukan anak diatur dalam Bab 9 Pasal 42 sampai Pasal 44, di mana ketentuannya sebagai berikut:

a.Anak sah ialahanak yang lahir dalam ikatan perkawinan sah,10 atau sebagai akibat hukum dari perkawinan sah.

b.Anak yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah, hanya punya hubungan hukum keperdataan pada ibunya dan keluarga ibunya.

c.Suami bisa mengingkari sah tidaknyaanak yang dilahirkan oleh istrinya, bila ia bisa membuktikan istrinya berzina dan anak itu lahir dari hasil perzinaan.

d.Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

6.Status Waris Anak Perkawinan Campuran

Indonesia dalam sistem kewarisannya bersifat plural. Ada tiga sistem waris yang berlaku di Indenesia yaitu hukum waris adat yang beraneka ragam sistemnya, waris yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan hukum waris Islam. Terkait status waris anak hasil perkawinan campuran, tidak ada aturan yang mengatur secara tersendiri, sehingga berpotensi munculnya persoalan-persoalan. Namun karena belum ada peraturan khusus terkait dengan perkawinan campuran, maka masih harus tunduk pada ketentuan aturan dan perundang-undangan tentang waris, bisa mengacu pada hukum adat, KUH Perdata ataupun pada hukum Islam.

Perceraian Talak

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, kata perceraian terdapat pada Pasal 28 di mana pada pasal ini termuat ketentuan yang bersifat fakultatif "Perkawinan putus sebab kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Kata cerai dikenal juga dengan istilah talak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia "cerai" diartikan sebagai: pisah, atau putus hubungan sebagai suami istri (talak). Sedang "perceraian" berarti: "perpisahan, hal bercerai (sebagai suami istri), perpecahan". Kata "bercerai" artinya: "tidak bercampur lagi, tidak berhubungan, atau tidak bersatu, berhenti sebagai suami istri. Perceraian secara yuridis dapat diartikan dengan "telah putusnya tali perkawinan, atau telah putus hubungan hukum sebagai suami istri, atau tidak lagi sebagai suami istri." Ketentuan perceraian termuat dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 28 bersifat fakultatif.

Cerai dalam istilah fikih disebut Talaq , yang artinya "membuka ikatan, atau membatalkan perjanjian". Istilah lain yang sering digunakan adalah kata furqah, yang artinya bercerai; lawan dari kata berkumpul. Kedua istilah ini yaitu "talak atau furqah" dalam fikih sering digunakan oleh para ulama sebagai istilah yang menunjukkan adanya "perceraian antara suami istri".

Ketentuan tentang perceraian atau putusnya perkawinan selain dalam undang-undang perkawinan juga diatur dalam PP No. 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 dan diatur juga dalam Kompilasi Hukum Islam(KHI). Talak sebagaimana diatur dalam KHI Pasal 117 harus diikrarkan oleh suami di depan majelis sidang Pengadilan Agama barulah perkawinan dinyatakan putus.

Dasar Hukum Perceraian

 Dalam Islam kehidupan rumah tangga dalam ikatan perkawinan adalah perbuatan sunnah Allah dan Rasul-Nya. Karena itu barang siapa berpaling, enggan melakukan perkawinan yang didasarkan tujuan membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah sama artinya dengan ia berpaling dan menyalahi sunnah Allah SWT dan Rasul-Nya Muhammad SAW.

 Namun bila dalam kenyataannya ikatan perkawinan tidak lagi mampu menciptakan kedamaian dan kasih sayang atau tujuan perkawinan sudah tidak lagi bisa digapai, perkawinan tidak bisa lagi dipertahankan dan bila dilanjutkan justru akan terjadi kehancuran, mudarat yang ditimbulkan lebih berat dari maslahah dalam rumah tangga, Islam tidak menutup pintu untuk dilakukan perceraian. Artinya walau perkawinan itu disunnahkan bukan berarti cerai diharamkan. Sehingga para ulama menghukuminya sebagai sesuatu yang makruh. Ketentuan hukum makruh dilihat pada "upaya yang dilakukan" dalam mencegah terjadinya cerai, dengan berbagai tahapan8 sebagaimana terjadi dalam nusyuz.

 Kalau ditelusuri ayat-ayat dalam al-Qur'an tidak ditemukan perintah dan anjuran juga larangan terkait eksistensi perceraian, dalam al-Qur'an hanya mengatur bila terjadi cerai atau talak.9 Namun pada isu-isu perkawinan terdapat beberapa ayat al-Qur'an yang mendorong untuk melakukan perkawinan. Sehingga para ulama menetapkan ketentuan hukum cerai dengan varian-varian, adakalanya makruh, adakalanya mubah dan adakalanya haram bahkan adakalanya wajib. Dalam situasi kehidupan suami istri stabil dan tidak ditemukan adanya faktor yang dapat menyebabkan perubahan mengkhawatirkan sehingga rumah tangganya tidak harmonis lagi, ulama menghukumi haram adanya perceraian.

Macam-Macam Perceraian (Talak)

 Cerai berimplikasi pada berpisahnya atau putusnya hubungan hukum antara pasangan pria dan wanita yang awalnya sebagai suami istri menjadi mantan suami dan istri. Hukum Islam mengatur bahwa seseorang yang menjatuhkan cerai (talak) pada istrinya masih diberi kesempatan untuk kembali (rujuk) dalam batas waktu tertentu. Namun ada pula yang tidak ada toleransi kembali lagi pada istrinya setelah suami dinyatakan sah menjatuhkan cerai pada istrinya. Karena itu dalam Islam talak dikenal ada dua macam:

1.Talak raj'i, ialah pernyataan cerai suami pada istri yang telah digaulinya dengan lafad-lafad tertentu,14 bukan karena ia mendapatkan ganti rugi harta dari istri dalam menjatuhkan cerainya, pernyataan cerainya dengan pernyataan cerai (talak) satu kali atau talak dua kali.15 Cerai yang dijatuhkan dengan model seperti ini suami masih bisa kembali (rujuk) pada istrinya. Allah SWT menjelaskan hal ini dalam QS. at-Talaq (65) ayat 1;

2.Talak ba'in, ialah cerai yang dilakukan suami pada istrinya dengan tidak ada hak rujuk (kembali)17 terhadap mantan istrinya. Bila suami hendak rujuk (kembali) lagi pada mantan istrinya, maka harus dilakukan akad baru, yaitu memenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana nikah baru.

Implikasi Hukum Perceraian

Perceraian berimplikasi hukum pada:

a.Kedudukan harta kekayaan, dimana akan muncul status harta sebagai harta bersama dan juga harta bawaan.

b.Kedudukan anak yaitu hak asuh anak (hadanah) dan tanggung jawab atas nafkah anak.

Perceraian

 Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dari berbagai peraturan terkait perkawinan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan juga Kompilasi Hukum Islam, dapat disimpulkan bahwa beberapa akibat hukum perkawinan adalah sebagai berikut:

1.Masa iddah (masa tunggu) bagi istri selepas terjadinya putusnya perkawinan baik itu karena kematian maupun perceraian. Iddah juga berlaku bagi perempuan yang telah bercerai dari suaminya melalui mekanisme khuluk. Berbagai macam iddah diatur cukup detil oleh fikih juga KHI.

2.Rujuk yang biasa diartikan sebagai kembalinya laki-laki dan perempuan yang telah berpisah melalui talak raj'i menjadi suami istri dalam masa iddah talak raj'i (talak 1 dan talak 2).

3.Hadanah (pengasuhan anak) secara sederhana bisa diartikan sebagai penetapan hak asuh anak dan juga pengaturan biaya pemeliharaannya. Hadanah adalah salah satu akibat hukum dari putusnya perkawinan yang sangat sering menimbulkan sengketa. Setelah jatuh putusan cerai, maka pengadilan memutuskan hak hadanah anak berada di bawah siapa, apakah ayah atau ibu. Anak-anak di sini adalah mereka yang berusia 0 sampai 18 tahun (batas maksimal usia anak-anak) dan sampai 21 tahun (batas minimal usia dewasa). Hadanah merupakan aspek yang juga harus ditetapkan oleh pengadilan yang menyelesaikan perkara cerai talak maupun cerai gugat terkait dengan hak-hak anak pasca perceraian.

4.Hak-hak finansial istri dan anak pasca perceraian: a.

a.Mut'ah

b.Nafkah, maskan, kiswah selama masa iddah

c.Mahar (jika terhutang)

d.Biaya hadanah untuk anak-anak yang belum berusia 21 tahun.

5.Harta bersama atau pembagian harta gono-gini.

Dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam Bab XVII Pasal 149 menjelaskan tentang akibat putusnya perkawinan khususnya kewajiban suami atas istri dan anak pada kasus cerai talak.

Akibat Talak dalam Pasal 149 bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a.Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al dukhul

b.Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba'in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil

c.Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al dukhul

d.Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Iddah dan Rujuk

 Sementara itu, selain konsekuensi materiil, baik itu nafkah pada bekas istri dan anak, akibat hukum lainnya dari perceraian adalah iddah dan rujuk. Iddah dan rujuk mungkin jarang menjadi persoalan yang disorot dan dibahas apalagi menjadi sengketa terutama di Pengadilan Agama. Meski demikian, iddah dan rujuk tetap penting untuk dapat diketahui dan dipahami. Dari perspektif jender sendiri, ada juga beberapa pakar yang mengkritisi dan kemudian menawarkan solusi atas kemungkinan dilema yang terjadi dari iddah dan rujuk ini. Hal ini akan dibahas pada subbab berikutnya.

 Masa 'iddah sederhananya dapat didefinisikan sebagai waktu tunggu bagi seorang istri akibat putusnya perkawinan, baik itu karena perceraian talak dari suami atas istri, khuluk, maupun kematian dan putusan pengadilan. Iddah memang secara eksplisit diperintahkan dalam al-Qur'an dan disepakati oleh jumhur ulama fiqih.14 Tentu bukan hal mengherankan bahwa ketetapan ini juga kemudian diatur dan diadopsi oleh hukum perkawinan Islam di Indonesia. Baik Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun KHI mengatur ketentuan tentang iddah ini.

Kesimpulan

 perkawinan dalam hukum positif di Indonesia, dasar hukum perkawinan baik perspektif Islam maupun hukum positif di Indonesia, dan tujuan perkawinan dalam Islam serta peraturan perundang undangan yang berlaku di Indonesia, menurut para fuqaha.

perkawinan merupakan suatu pertalian antara laki-laki dan perempuan (termasuk keluarga kedua belah pihak) sebagai ikatan dengan yang disebut suami dan istri karena telah melalui suatu akad yang sakral dengan tujuan taat atas perintah Allah, mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawaddah dan rahmah sehingga dalam pelaksaannya atau bagi yang melaksanakannya juga terdapat nilai ibadah karena keduanya (suami dan istri) telah berada dalam kehalalan antara satu sama lain.

 Pertalian keduanya berarti bahwa para pihak yang bersangkutan karena perkawinan, secara formil merupakan suami istri, baik bagi mereka dalam hubungannya satu sama lain maupun bagi mereka dalam hubungannya dengan masyarakat luas. Pertalian batin dalam perkawinan berarti bahwa di dalam batin suami dan istri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tidak memperhatikan jangkauan waktu tertentu.

Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa perkawinan itu seharusnya membawa pesan perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Fikih yang ada (tradisionalis) tentang perkawinan dan perceraian sarat akan pengaruh kondisi sosial dan budaya ketika hukum tersebut dibentuk. Sikap saling menghormati, saling memberikan dukungan dan saling berbuat baik antara suami dan istri adalah idealisme Islam dalam hukum perkawinan yang harus diwujudkan.

Bibliography

 Nabiela Naily, Nurul Asiya Nadhifah, Holilul Rohman, Mahir Amin, Hukum Keluarga Islam Indonesia. Jakarta Pusat: Prenadamedia Group, 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun