Mohon tunggu...
Afroh Fauziah
Afroh Fauziah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Pemahaman

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kungkungan Buatan

10 Februari 2021   02:44 Diperbarui: 10 Februari 2021   03:01 2639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika ibu bertanya bagaimana aku bisa melewati rintangan yang ada, aku akhirnya menjelaskan mengenai ramuan yang aku temui dalam ruang kerja Ayah. Terlihat jelas dimatanya kalau Ibu kaget, mengapa tidak, tidak ada yang menyentuh ruangan itu lagi semenjak kepergian Ayah. Itulah yang Ibu tahu.

"Nak, apa yang mau kau dapatkan diluar sana? Kau tak bahagia disini?" tanya Ibu.

"Kebebasan, kebebasan bu! Bukan hanya kebebasan aku, tapi juga untuk Ibu, untuk semuanya. Kehidupan baru yang lebih sejahtera, harapan baru dan runititas lain yang bisa ku lakukan dengan kawan-kawan. Bu, sekarang aku yang bertanya, apa Ibu bahagia dengan hidup yang Ibu jalani saat ini? Dengan pahitnya kehidupan ini? Apa Ibu nyaman dengan hidup tanpa adanya inovasi ini?" balikku bertanya.

"Kau begitu persis seperti Ayahmu," kulihat embun di pangkal mata sayunya itu memaksa keluar, "Ibu bisa apa nak, kamu adalah seorang anak yang ingin mengubah nasibnya, kau adalah seorang anak yang ingin menemui Ayahnya. Ibu bisa apa, dukungan Ibu selalu bersamamu, selalu." pernyataan beliau yang diiringi pelukan menghangatkan.

Sambil membalas pelukannya aku bertanya, "Apa ibu akan ikut denganku?" Ibu menatapku nanar, "Ibu sangat ingin nak, tapi.." hentinya "Ibu yang akan menyamarkan kepergianmu, Ibu tak ingin kau diremehkan dan ditertawakan seperti Ayahmu, Ibu tak ingin kau tertangkap dan dihukum karena melanggar peraturan," dan kulihat embun itu telah bertumpuk menjadi air mata yang terjun membasahi pipi lembutnya.

"Bu, percayalah padaku, apapun yang akan kutemukan didunia tak berujung itu, pasti akan membuat Ibu bangga, akan kutunjukkan apa yang telah kulihat pada Ibu, percayalah bu," senyuman terpahat indah dibibir mungilku itu.

Sosok yang menjadi kekuatan dan penyangga hidupku itu akhirnya mengangkat kedua ujung bibirnya keatas. Dengan perasaan haru, beliau kembali merentangkan tangannya dan bersiap memelukku, tak akan kusia-siakan, maka akupun melakukan hal demikian.

II. Awal Pengembaraan

Hari yang ditunggu olehku dan Ida pun tiba, setelah terpatri sebercah sumber cahaya di bumi itu menampakkan dirinya malu-malu, aku bergegas untuk menjemput Ida dirumahnya. Rumah itu, sama seperti yang semua orang miliki disini, hanya sebatas bambu vertikal ditengah sebagai penyangga, dikelilingi daun-daun kering yang kokoh menjuntai dari tengah bambu sampai ke dasar tanah. Di pertengahan daun itu, terdapat celah yang orang sebut sebagai jendela. Di dalamnya hanya ada peralatan yang biasa digunakan untuk membakar makanan. Hanya sebatas itu, karenanya mungkin kata rumah pun kurang pantas untuk disebutkan, tempat itu hanyalah tempat berteduh kami dari jahatnya panas matahari. Bahkan menghalau hujan pun masih sulit dengan tetesan yang merembes masuk melalui celah-celah, setelahnya daun-daun itu akan digantikan dengan daun baru yang lebih lebar nan kokoh.

Sesulit itu menyesuaikan diri dari ganas sekaligus indahnya alam. Ayah telah menemukan hal baru dari hasil ketidaksengajaan saat beliau memikirkan rencana petualangannya, penemuan itu membuat orang di pemukiman ini lebih mudah mencari makanan, karena yang ditemukan Ayah adalah makanan yang terdapat didalam tanah, walaupun tak banyak ditemukan. Orang-orang yang enggan memanjat sudah pasti sangat terbantu, tapi apa yang justru mereka lakukan, menertawakan Ayah karena rencana bodohnya bagi mereka. Mereka yakin Ayah takkan berhasil bertahan hidup diluar sana, dengan ejekkannya mereka melupakan jasa dan penemuan Ayah yang telah mempermudah itu.

Dengan memikirkannya saja membuatku ingin secepatnya meninggalkan pemukiman serba terbatas ini. Kulihat orang tua Ida yang saling menggenggam menguatkan diri untuk melepaskan keinginan anaknya itu menjelajah. Aku semakin paham bagaimana bentuk cinta yang keluarga berikan, entah itu menjaga atau mengikhlaskan. Kedua sosok orang tua itu hanya menatap kepergian anaknya dengan tangisan tertahan, mereka sama seperti Ibu, tak ingin orang curiga bahwa ada sekelompok makhluk kecil yang akan memulai perjalanan barunya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun