Mohon tunggu...
Afroh Fauziah
Afroh Fauziah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Pemahaman

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kungkungan Buatan

10 Februari 2021   02:44 Diperbarui: 10 Februari 2021   03:01 2639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tapi aku ingin-"

"Ikuti saja!"

Maka Reyza, Ica, Ida dan Sinta melakukan hal demikian, sedangkan Mama Papa Ida bergerak ke depan. Sebagian lawan berhasil ditarik mundur ke dalam hutan. Mengapa ke dalam hutan? Karena walaupun dengan senjata canggih, mereka tak bisa mengimbangi kegesitan lari Ica dkk. Meliak liuk mengitari pepohonan, kilatan-kilatan cahaya dari senjata ataupun listrik, memenuhi langit. Hutan itu telah benar-benar hancur. Biarlah, kerugian tercipta karena ulah orang-orang luar itu sendiri. Disaat yang lainnya memancarkan kekuatan jarak jauh, Icalah yang berani melawan dengan jarak dekat. Dengan pukulan dahsyatnya telah banyak pasukan lawan yang tumbang. Dengan senjata canggihnya pula sebagian pasukan pencari kebebasan terluka. Dengan kecerdikannya, Reyza memerintah untuk memungut senjata-senjata canggih dari yang telah gugur. Seimbanglah mereka.

Saat jumlah lawan semakin berkurang, datanglah 3 ekor harimau yang sama seperti sebelumnya. Mungkin memang itulah senjata andalannya. Dan dapat dipastikan yang kali ini ketahanannya melebihi yang kemarin. Dikerahkannya tenaga Ica memukul keras seonggok tubuh harimau, dibantu Reyza menancap ujung tombaknya pada mulut harimau untuk menghalangi peluru yang hendak keluar. Sia-sia, harimau itu justru mengibas dan melempar kedua muda mudi itu. Dengan pendaratan sempurna, kembali dengan bantuan pasukan lain, Ica bangkit menghantam harimau itu. Memanjatlah tubuh kecil itu ke atas pohon dengan lincah, saat mendapat kesempatan, melompatlah ia dan langsung memecah belah harimau itu sampai tangannya menembus dan menapak tanah. Hebat, masih memiliki tenaga, harimau itu kembali ingin mencakar tubuh Ica, lemparan batu dari Ibunya lah yang menolong. Skakmat, hewan itu musnah. Baru satu, masih ada dua lagi tersisa, masih ada pasukan lawan lainnya yang belum tumbang.

Setelah itu, Ibu Ica pun mengganti haluan jadi ke area perang di ujung tembok. Dari arah utara terlihat Ida yang sedang menaklukan harimau. Ternyata bukan hanya kemampuan melihat jarak jauhnya yang dapat diandalkan, matanya itu dapat membaca dengan baik gerak gerik musuh. Alhasil, dengan mudahnya ia menghindar dari serangan. Berpencarlah Reyza dan Ica mengurus sisa harimau, Ica pada Ida dan Rey pada harimau satunya.

Mereka yang bertarung di dalam hutan tak tahu menahu kejadian di dekat dinding, begitupun sebaliknya. Yang mereka ketahui hanyalah banyak suara-suara ledakan dimana-mana. Langit yang semula bersih telah terkontaminasi dengan puing-puing alam ulah makhluk-makhluk yang tak gentar mencapai tujuan. Mereka mengerahkan seluruh tenaganya, sampai Ica yang terus menerus menerjang dan melesat mulai merasakan energinya menurun, tapi harimau dan pasukan lawan seperti tak mempunyai rasa lelah. Hingga di pukulan terakhir Ica pada salah satu harimau, ia pun ambruk. Tak ada yang sempat mencemaskannya, semua sibuk dengan lawan masing-masing. Tubuh anak bernama Ica itu sedang mengalami fase paling rendahnya.

"Ijaa!" teriak Ica, "cepat kau menggempur lawan ke depan bantu Paman Arnold, yang disini biar ku urus dengan Ida dan sisanya."

"Bagaimana mungkin?! Kau terlalu mengeluarkan semua tenagamu. Sekarang kau bangkitpun tak bisa!"

"Cepat jangan pedulikan aku! Tujuan kita adalah dinding itu," ucap Ica yang mulai kesulitan melanjutkan ucapannya.

Tak mempermasalahkan panggilan lagi, Rey langsung berlari ke barat dengan senjata siap ditangannya. Ica terus meyakinkan dirinya untuk bangkit, 'ini tak boleh terjadi, tak boleh ada banyak korban jiwa lagi' batin Ica. Tak seperti harapan sang gadis, satu-satunya teman yang seumuran dengannya itu justru terkena bantingan harimau, naasnya malah semakin diperparah dengan dahan yang menimpa diatas tubuh anak yang masih dikategorikan belum dewasa itu. Saat Ica mulai bisa menggerakkan badannya berniat menolong, harimau yang masih gesit tadi terlanjur menghantam dan menjebloskan Ica ke dasar danau, teramat kuat.

Dinginnya air menyapa kulit-kulit ku, pukulan hewan itu tak main-main begitu nyeri rasanya. Mereka benar-benar ingin menghabisi kami, tapi apa kesalahan kami? Kami hanya pejuang yang ingin bebas dari kungkungan buatan ini. Kelopak mataku yang semula terbelalak kaget semakin menurun, tanda kepenatan. Apa inikah akhir hidupku? Berakhir di lautan dalam tanpa ada yang mengetahui? Mengapa badanku jadi benar-benar kaku? Dimana sosok pemberontakku? Hanya pikiranku yang bisa melakukannya? Mata itupun akhirnya benar-benar tertutup, tubuh itu semakin tertarik air ke jurang lautan tak berujung. Mengingat kembali keenggananku berurusan dengan air.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun