Mohon tunggu...
Afroh Fauziah
Afroh Fauziah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Pemahaman

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kungkungan Buatan

10 Februari 2021   02:44 Diperbarui: 10 Februari 2021   03:01 2639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mulailah aku menghitung, tepat pada hitungan ketiga, terbirit-biritlah lari kami dari sebelumnya, mengagumkan! Terlihat disebelah kiriku Aca, si puitis dan dramatis yang awalnya tak pernah menyukai tes berlari sekarang berlari tunggang langgang seperti seorang ahli tanpa kesulitan. Disebelahnya lagi ada kawanku yang satunya, Ida, tak kalah gesit menyesuaikan kecepatan larinya dengan yang lain. Disamping kananku ada Ibu yang tak pernah menghilang dari tatapanku, yang kusadari tak pernah meninggalkanku, berlari santai seperti orang berolahraga pagi tapi dengan kecepatan lari maraton. Ternyata memang keahlianku menurun dari beliau. Cukup puas aku melihat kelompokku dapat membangkitkan spirit dalam diri mereka masing-masing, girilanku yang akan melakukannya pula. Dengan penuh keyakinan, ku berikan dorongan pada kaki untuk menambah kecepatan, dan berhasil! Sungguh, pertama kalinya ku berlari secepat ini dalam hidupku. Menyenangkan!

Setelah penyesuaian diri pada lingkungan dan energi baru, kami benar-benar menikmatinya. Bahkan, Aca sesekali menunjukkan energi lainnya yaitu melayang lebih lama di udara saat ia melakukan lompatan. Perjalanan kami semakin lama semakin banyak rintangan yang dihadapi, jalananpun semakin menanjak dan dedaunan lebat semakin menutupi perjalanan, bagi Aca mudah saja untuk melewati, tapi yang lain harus berusaha menyibaknya, walaupun begitu lengan kami tak mengalami goresan sedikitpun dan tetap lancar berlari.

"Aku melihat puncaknya disana!" seru Ida pada yang lain. Tapi penglihatan mataku sama halnya seperti di tepi sungai kemarin, tak menangkap apapun. Maka kusimpulkan saat itu juga kekuatan Ida ada pada matanya yang dapat melihat dengan jarak yang lebih terlampau jauh dari manusia biasa. Semuanya memang bukan manusia biasa.

"Ida, matamu, matamu dapat memandang objek yang terpaut jauh. Gunakan itu dan pimpinlah perjalanan kami!" perintah dadakanku padanya. Bukan main senangnya dia saat kuberitahu perintah itu, bak balita yang dikasih permen oleh Ibunya. Ida segera berpindah tempat ke depan kami semua, formasi pun berubah, Ida didepan, aku dan Aca ditengah, sedangkan Ibu dibelakang sebagai penjaga. Orang dewasa memang tak banyak omong dan memiliki insting cepat dalam membaca keadaan bukan?

Sesampainya kami pada puncak bukit terhentilah pula langkah Ida didepan kami. Hampir saja aku menabrak punggungnya karena kecepatan lariku tetap melebihi mereka, tapi tertahan karena keseimbanganku masih baik.

"Tak bisakah kau memberi aba-aba terlebih dahulu pada sekelompok orang dibelakangmu ini? Untung saja tak ku injak ubun-ubunmu dengan telapak kakiku," dongkol Aca langsung.

"Syut, aku melihat sesuatu. Dibawah sana, seperti ada sekumpulan hewan besar,"

"Hewan besar apa maksudmu?" potongku.

"Berekor empat, belang-belang, seperti sepertiii apa itu harimau? Ibu, apa itu yang namanya harimau?" tatapan Ida beralih pada Ibu.

"Dari yang kau jelaskan tadi memang mirip ciri-ciri harimau. Jadi di kaki bukit ini ada harimau yang tengah bersantai ria atau justru menunggu kedatangan kita, begitu?" tanya Ibu pada diri sendiri yang sebenernya terdengar oleh kami semua.

"Firasatku tak enak." Aca berkomentar. "Memang yang enak itu adalah singkong temuan Ayah." cakapku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun