Mohon tunggu...
Afroh Fauziah
Afroh Fauziah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Pemahaman

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kungkungan Buatan

10 Februari 2021   02:44 Diperbarui: 10 Februari 2021   03:01 2639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku ikut Ica ah! Pengen jugalah nyobain gimana rasanya membolos, hehehe dadah juga temanku tercinta, muach!" kata Ida yang langsung berlari menyusul Ica. Lagi, Aca tak habis pikir ternyata satu teman normalnya itu bertingkah sama, dan lihatlah, tadi dirinya baru saja kelelahan tapi sekarang apa? Berlari kembali. Acapun menyimpulkan bahwa hanya dirinyalah yang hidup dengan normal dan menaati peraturan. Dasar orang-orang aneh, kalau mereka tidak masuk sekolah, hal lain apa yang bisa dilakukan? Semenyenangkan apa hanya dengan duduk terdiam meratapi nasib? Pertanyaan yang menghantui pikiran Aca. Tapi otak dia lebih normal, jadi Acapun memutuskan masuk sekolah daripada mengurusi teman-temannya itu.

Terpaan angin yang menyentuh pipi Ica selalu menjadi hal favorit baginya. Tenangnya deruan air akan menenangkan hatinya juga. Luasnya lautan membentang yang disuguhkan tak pernah tak indah dibayangan matanya. Ica, gadis yang selalu menghabiskan waktunya di dermaga itu akan kembali mengingat ayahnya. Ayahnya yang pergi meninggalkan, tidak, Ica bahkan tidak tau maksud meninggalkan yang ayahnya lakukan itu apa. Ia hanya tau, bahwa Ayahnya pergi meninggalkan tempat yang ia tinggali, yang menjadi persemayaman hidupnya, untuk pergi ke seberang laut sana, keluar dari pemukiman yang katanya aman ini. Hingga sampai 7 tahun kemudian, sosok pahlawan yang dinanti Ica itu belum kembali. Setidaknya itulah yang diyakini Ica, belum.

"Ayah, ayah, ayah mau kemana?" bingung Ica ketika melihat Ayahnya bersiap ditepi dermaga.

"Ayah akan mencari hal besar, sayang. Kamu disini harus bisa menjaga Ibumu, oke?" jelas Ayah Ica.

"Hal besar sebesar apa Ayah? Apa sebesar tempat ini? Lalu Ayah, bagaimana bisa aku menjaga Ibu, akukan lebih kecil daripada Ibu," heran gadis kecil itu tak mengerti.

"Besar nanti kau akan mengerti, nak." seraya mengelus puncak kepala gadis kecil di hadapannya.

"Kalau gitu aku ingin cepat-cepat besaaar ya, Yah. Ayah juga harus cepat kembali untuk main bersamaku." peluk Ica pada Ayahnya yang sudah mensejajarkan tubuhnya dengan putri satu-satunya itu.

Tanpa bunyi yang terdengar dari mulutnya lagi, Ayah berlalu dengan senyuman dan seperangkat kayu yang terambang diatas air, yang dikemudian hari diketahui Ica bernama perahu. Seperti anak kecil yang tak mengerti apa-apa, Ica hanya tersenyum dan berpikir Ayahnya sedang jalan-jalan atau mencari makanan yang bentuknya besar. Disaat itu, ada yang menyentuh pundaknya.

"Mungkin selama ini kamu berfikir bahwa hanya kamulah yang punya pikiran untuk ikut menjelajah seperti Ayahmu itu. Tapi Ica.." ucap Ida menggantung membuatku tersadar dari bayangan masa lalu dan menoleh "Apa?" hening sebentar, "Aku juga ingin tau apa yang ada diseberang sana, apa yang bisa kita temukan selain di tempat ini." ujar Ida lirih.

"Hey mengapa intonasimu begitu? Dengar Ida, kalau kau memang memiliki keinginan seperti itu, kau harus yakin dan tegas mengucapkannya! Aku tau kita bisa! Aku tau kita mampu! Seperti yang Ayahku lakukan!" ujarku penuh tekad.

"Tapi, bagaimana dengan orang-orang disini? Mereka akan meremehkan dan melarang kita kalau kita melewati laut ini, em seperti yang terjadi pada Ayahmu," cicitnya kecil karena takut menyinggung perasaanku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun