Mohon tunggu...
Afroh Fauziah
Afroh Fauziah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Pemahaman

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kungkungan Buatan

10 Februari 2021   02:44 Diperbarui: 10 Februari 2021   03:01 2639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oh jadi mereka mengganti santapannya, pikirku. "Rencana B!" teriakan keluar dari mulutku. "Hah apa?!" balas teriakan Ida yang tergesa-gesa. "Serang mereka!" setujuku pada gaungan Ibu, karena memang itu yang akan ku lakukan.

Fokus Ibu beralih pada sekitar, bebatuan yang beliau cari. "Dengar! Berkumpullah dan pancing harimau itu kemari! Setelah itu kita secepatnya melewati danau ini dengan cara apapun!" ucapku kemudian. Disaat Ida menambah kecepatan larinya dengan berlari zigzag, aku dan Aca melempari bebatuan sedang, Ibu justru mengangkat batu berukuran jumbo yang bahkan melebihi ukuran tubuhnya. Tanpa berpikir lama-lama, melambunglah batu itu menuju harimau dibelakang Ida. Tepat sasaran! Dua harimau sekaligus terperanjat dan tersungkur mencium tanah.

"Cepat Ida Cepat!" Aca menyemangati. Aku seperti deja vu dengan suasana ini.

Kemudian ada seekor harimau yang sepertinya menaruh dendam pada Ibu karena telah melukai kawannya, berbelok arahlah hewan itu pada Ibu. Tapi bukannya berlari mendekat pada danau, Ibu justru berlari sebaliknya. Sial! Spontan aku berlari mengikuti harimau yang akan menyerang Ibu, "Ibu!" "Tak perlu kemari! Segera sebrangi danau itu dan terus berlari!" dengan gelengan kupercepat kelajuan lariku.

Diseberang sana, kulihat Ida terjatuh. Ada apa ini? Aku mesti kemana? Terlihatlah Aca yang mengarah pada Ida, maka keputusanku tetap bulat mendekat  pada Ibu. "Hey harimau jelek! Jangan coba-coba sentuh Ibuku!" Kebetulan, harimau itu mengubah pandangannya, disaat itulah Ibu memanfaatkan kesempatan dengan mencari batu lagi, karena yang langsung terlihatnya adalah dahan kayu besar, tak ambil pusing diraihnya dahan tersebut dan terlemparlah dari tangannya menuju harimau belang itu. Karena perkiraannya sedikit meleset, hewan itu masih mampu bangkit. Naluriku mengatakan untuk berlari, maka berlarilah aku tunggang langgang ke arah harimau, ketika dua tubuh telah saling bertubrukan, ku hempaskan dia pada batang pohon yang selanjutnya ditinju oleh Ibu sampai pohon itu terbelah dan bagian atasnya menimpa hewan yang sedang tak beruntung itu. Linu mulai menggeriak menyelimuti tubuh mungilku. Ketika yakin bahwa harimau yang malang itu telah mencapai waktu-waktu akhir menuju kehidupannya, lentingan bunyi terdengar memekakkan telinga, "Aca!"

"Menepi!" perintah seorang lelaki yang suaranya seperti pernah kudengar. Sebuah benda berukuran cukup besar mendekati kawasan kami. Dibagian tengah benda itu terlihat kayu memanjang dengan ujungnya yang berbentuk setengah bola dengan batu berukuran pas ditaruhnya, seluruh bagian benda itu terbuat dari kayu, disertai tali kuat yang seperti menahan pergerakan. Bukan, bukan itu yang sedang ku fokuskan, walaupun benda itu masing asing dipandanganku, pupilku menatap pada hal lain. Di tempatku tadi melihat Ida berlarian, terlihat gadis yang sedang terungkup dalam dekapan Ida. Terlihat sudut bibir gadis itu mengalir cairan kental, darah. Itu Aca!

Tanpa menghiraukan rasa linu yang tadi menggerayangi seluruh tubuhku, aku segera bangkit dan melaju ke arah dua temanku itu. Tidak, tidak, ini tidak boleh terjadi, ini kesalahanku karena meninggalkan mereka dengan dua harimau itu. Pikiranku kacau. Setelah mataku saling beradu dengan mata coklat Aca, ku mengingat bagaimana dia yang dulu sangat mempercayai para leluhur dan anti melanggar peraturan sekarang justru bersamaku sama-sama mengembara dengan mengindahkan apapun peraturannya, demi selalu bersama temannya yang telah menemani sejak kecil. Bahkan aku tak ingat untuk menanyakan apakah bibinya mengizinkan atau tidak dia untuk pergi.

Tampak nafasnya tersenggal-senggal seraya melawan rasa sakit dibagian tubuh yang terkena cakaran harimau dan benturan dikepalanya. Hanya kepiluan itu yang dapat kudengar, walaupun gerungan teriakan dan suara batu menghantam tanah bersahutan dibelakangku, tak kuidahkan.

"Salah satu harimau itu memiliki senjata di mulutnya. Dia, harimau itu juga yang mencakar tubuh Aca." jelas Ida yang sudah sesenggukan. Tampak mulut Aca hendak mengatakan sesuatu, "Simpan tenagamu!" ujarku pada Aca. Aku memang bilang hal demikian, tapi kenapa Aca berlebihan sampai mulai menutup matanya, Aca! Jangan dramatis di situasi seperti ini tolong! Tak ada, tak ada yang ku ucapkan lagi. Kemuakkanpun melingkupi diriku, berbaliklah aku pada kawanan harimau.

Hal yang membuatku kaget adalah kelima harimau itu berempuk kerja sama, ternyata tiga diantaranya yang tadi telah ditaklukan bisa bangkit lagi. Yang lebih mengagetkan yaitu segerombolan yang sedang bertarung dengan harimau itu, mereka..mereka adalah para penduduk ditempat tinggalku! Bagaimana mungkin? Banyak orang, hampir semuanya ada disini, bahkan Mama Papa Ida juga. Dan suara yang tak terdengar asing tadi adalah tetua kami. Dia yang pemimpin kami selama ini di tempat tinggalku. Tak peduli tentang menerjemahkan sekitar, yang hanya ingin kulakukan adalah menghabisi harimau-harimau itu atas balasan dia membuat temanku sekarat.

Ternyata benda yang kulihat sebelumnya adalah senjata yang jika ditarik atau dilepas talinya akan melambung batu yang diletakkan pada tempat yang telah disediakan. Itu cukup membantu membuat kawanan harimau tertarik mundur. Sisanya, hanya sekitar lima orang menggenggam batang bambu yang meruncing diujungnya untuk menyerang langsung pada harimau. Percuma. Harimau itu lebih gesit dari mereka. Setelah mengumpulkan tenaga dan amarah sebagai motivasi yang cukup membantu, ku melesat menjauhi tempat temanku, melewati bebatuan kasar, menuju salah satu harimau, tidak tapi dua harimau incaranku. Dayungan pada kaki sepeti terbawa angin, tak terasa. Dekat, semakin dekat, tangan yang semula mengayuh disamping badan semakin menguatkan genggamannya. Pada pijakan batu, kuhentakkan sekaligus kekuatanku dan mengangkasalah diriku. Sasaran ditepatkan, tangan bersiap, dan BUM!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun