Berbagai tes menjadi kowad aku jalani dengan lancar. Dan ternyata aku berhasil lulus tes dan diterima. Sore itu kubawa surat tanda bahwa aku diterima menjadi kowad kepada bapak dengan mengumpulkan segenap keberanian. Bapak membacanya dengan saksama, awalnya beliau tampak serius membacanya. Tak lama kemudian wajah bapak berubah murka. Bapak marah besar karena aku tak pernah memberitahunya bahwa aku mendaftar menjadi tentara wanita.
“Anak kurang ajar! Berani-beraninya kamu mengambil keputusan sendiri tanpa bertanya pada bapak. Kamu anggap apa bapakmu ini? Batu?” suara bapak terdengar nyaring, aku yakin tetangga sebelah rumah pasti mendengarnya.
“Maaf, Pak. Tapi Kinan ingin jadi tentara kayak Mas Bagas,” ucapku bergetar.
“Bapak bilang jangan! Kok yo ngeyel to kamu?” suara bapak tambah tinggi.
“Kinan mohon Pak, izinkan Kinan jadi tentara. Itu cita-cita Kinan sejak lama, tolong izinkan Kinan mengikuti kata hati Kinan sekali ini saja, Pak. Selama ini Kinan selalu menuruti maunya Bapak, Kinan mohon kali ini saja.” Aku masih memberanikan diri memohon pada bapak.
“Sekali bapak bilang tidak, ya tidak! Paham kamu! Kalau kamu nekat masuk tentara, lebih baik kamu keluar sekalian dari rumah ini! Punya putri satu-satunya kok bukannya membanggakan orangtua malah paling ngelunjak!” Bapak membanting koran ke meja dan berlalu dengan sejuta amarah tergambar di wajahnya. Air mataku jatuh perlahan, ibu yang saat itu sedang di dapur menghampiriku.
“Kamu kok yo ada-ada aja sih, mbok jangan ngebantah bapak to. Turuti maunya,” ucap ibu.
“Selama ini Kinan ga pernah diizinkan menuruti maunya Kinan, Bu. Selalu maunya bapak. Kinan mohon Bu, kali ini Kinan ingin menentukan masa depan Kinan sendiri,” sahutku sembari menghapus air mata yang menetes di pipi.
“Itu artinya kamu nentang Bapak, nduk. Kamu tahu kan sifatnya bapakmu itu keras, mbok kamu ngalah,” bujuk ibu, beliau mengekoriku menuju kamar.
“Udah cukup Kinan ngalah, Bu.” Aku mengambil koperku dan memasukkan beberapa baju dan perlengkapan ke dalamnya.
“Kamu mau ke mana? Jangan gegabah Kinan, pikirkan lagi niatmu itu.” Ibu tampak khawatir melihatku yang akan bersiap pergi. Aku tak mengacuhkan ibu yang berusaha menahanku pergi, tekadku sudah bulat. Aku akan menjadi kowad apa pun halangannya termasuk meninggalkan rumah dan tidak diakui oleh bapak sebagai anak.