“Tunggu! Bapak ikut,” ucap bapak lirih. Sekeras-kerasnya beliau tetaplah seorang ayah yang mengkhawatirkan putrinya.
Bapak dan ibu segera menuju rumah sakit tempatku di rawat. Kebetulan aku dirawat di ruangan VIP. Ibu hendak langsung masuk sementara bapak masih ragu.
“Bapak tunggu apa lagi sih, ayo masuk,” ucap ibu.
“Bapak di sini saja, ibu saja yang masuk.” Bapak akhirnya memutuskan menunggu di luar ruangan. Entah mengapa beliau enggan masuk.
Krek! Pintu terbuka, ibu menghambur masuk dan segera memelukku.
“Kinanti, ya Tuhan, kenapa bisa jadi seperti ini, Nak? Kamu tidak apa-apa?” tanya ibu sembari mengusap lembut rambutku. Aku terdiam, aku merasa sangat dekat dengan wanita ini tapi entah mengapa aku tak dapat mengenalinya.
“Tante siapa?” tanyaku yang kemudian membuat mata ibu dan juga Jaka terbelalak.
“Kinan ini ibu,” suara ibu terdengar serak. Aku tak menjawab, aku memandang ke arah Jaka seolah meminta pertolongan agar wanita yang mengaku sebagai ibuku ini tidak mendekat. Jaka segera menghampiriku, aku mengamit lengannya erat.
“Ini ibumu, Kinan. Kamu tidak ingat?” tanyanya lembut tapi dengan suara yang bergetar. Aku menggeleng. Aku berusaha mengingat wanita yang tersedu-sedu di depanku tetapi kepalaku malah bertambah sakit. Sakit yang luar biasa sakit. Aku memegangi kepalaku, Jaka panik dan segera memanggil dokter. Jaka dan ibu diminta keluar. Ibu tak lagi mampu membendung air matanya sementara bapak yang menunggu di luar penasaran mengapa ibu menangis seperti itu.
“Kenapa, Bu? Kinan kenapa?” tanyanya tak sabar. Ibu tak sanggup menjawab dan hanya menangis.
“Jaka, Kinan kenapa?” Bapak bertanya kepada Jaka.