Mohon tunggu...
Yusi Kurniati
Yusi Kurniati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penikmat sastra

Penulis novel Ayam Goreng Gadamala & Pria Berkacamata (2021), Pacar Dunia Maya (2016), Kumpulan cerpen Sepenggal Kisah (2016), dan kontributor dalam 45 antologi cerpen dan fiksimini. Alumnus S2 Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Doa Restu

21 September 2020   22:02 Diperbarui: 21 September 2020   22:36 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kamu beneran mau bolos? Hari ini kita praktek tari baru lho,” ujar Jaka, sahabatku sejak masih merah. Kami bertetangga. Dibanding Jaka mungkin aku jauh lebih maskulin. Jika aku menyukai olah raga yang menantang, Jaka lebih suka olah raga yang tidak menguras tenaga.

Dia juga mencintai seni tari berbanding terbalik denganku yang mengikuti les tari hanya demi memenuhi keinginan bapak yang ingin putri satu-satunya itu mengikuti jejak ibu.

“Iya, aku ujian kenaikan sabuk. Kamu jangan bilang-bilang ya, bilang aja ke pelatih kalo aku sakit, oke!” Aku mengacungkan jempol kepada Jaka. Meski mendengus kesal dia tidak pernah menolak permintaanku. Jaka memang selalu mengerti aku. Bahkan ketika suatu kali aku ketahuan membolos oleh bapak, Jakalah yang pasang badan membelaku. Di balik sikap lembutnya, dia tetaplah lelaki.

Ketika aku duduk di kelas VII, Mas Bagas, kakak tertuaku memutuskan untuk menjadi tentara. Dialah yang akhirnya mengenalkanku pada dunia militer dan senjata api. Kami memang sangat akrab. Mas Bagas kerap berkisah tentang masa pendidikannya yang cukup keras tapi menyenangkan.

“Seru Dek, meski pun badan Mas Bagas awalnya pada sakit semua tapi lama-lama terbiasa kok,” ceritanya kala itu.

“Ada yang perempuan ga, Mas?” tanyaku mulai antusias.

“Ada Dek, memang jumlahnya gak sebanyak pria tapi mereka adalah wanita-wanita yang tangguh. Kenapa, kamu tertarik sama dunia militer?” tanyanya.

“Sepertinya menyenangkan, Mas. Tapi apa boleh seorang wanita jadi tentara?” tanyaku kemudian.

“Ya boleh saja Dek, sekarangkan zaman emansipasi wanita. Perempuan berhak jadi apa saja, lagi pula tentara kan adalah abdi negara. Suatu profesi yang gak kalah mulianya dibandingkan dengan profesi lain. Selain tentara kamu bisa milih polwan atau bisa juga masuk brimob, Dek,” jelas Mas Bagas. Aku mendengarkan dengan saksama. Yah, wanita memang berhak menjadi apa saja termasuk tentara. Tapi apakah itu berlaku bagi bapak yang ngotot anaknya harus menjadi penari? Sampai saat ini saja, aku masih kucing-kucingan untuk latihan karate.

Aku selalu menantikan saat Mas Bagas kembali ke rumah setiap akhir pekan. Selalu ada cerita menarik yang dikisahkannya di asrama tentara sana.

“Kemarin Mas Bagas ikut pengamanan di kantor walikota Dek, katanya ada bom yang dipasang di sana. Tapi ternyata itu cuma petasan, pelakunya diduga melakukan teror untuk meresahkan warga,” kisahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun