Apa yang akan kau lakukan jika dihadapkan pada keadaaan saat kau harus memilih: tetap mengejar mimpi dan cita-cita apapun halangan dan rintangannya, atau mengubur semua mimpimu karena tak ingin dicap sebagai anak durhaka?
Mungkin kisahku ini bisa membantumu menjawab pertanyaan itu.
...
Langit tak lagi biru, bagiku ia kelabu. Sang Pencipta memberikan pelajaran hidup yang berharga untukku. Pelajaran yang tak akan pernah kudapat di sekolah mana pun.
...
Namaku Kinanti, panggil saja Kinan. Aku putri bungsu dari empat bersaudara. Aku dilahirkan di keluarga ningrat, bapakku dokter bedah dan ibuku penari terkenal di kota ini. Kakak sulungku berprofesi sebagai tentara, sementara dua kakakku yang lainnya mengikuti jejak bapak sebagai dokter.
Sebagai satu-satunya anak perempuan, tentu aku diharapkan untuk dapat menjadi penerus ibu: sebagai penari. Oleh karena itu sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, bapak memintaku untuk mengikuti les tari. Sebenarnya ibuku bisa saja mengajariku, toh beliau juga mempunyai sanggar tari sendiri.
Tapi bapak selalu mengatakan agar aku belajar di sanggar lain agar gurunya lebih objektif. Aku yang saat itu masih bocah pun menurut meski dengan terpaksa. Meski darah seni mengalir dari ibu, entah mengapa aku sama sekali tidak tertarik dengan dunia tari. Bagiku, hadir di setiap jam les tari hanyalah demi memuaskan keinginan bapak yang ngotot anaknya menjadi penari.
Beranjak kelas tiga SD, aku mulai tertarik pada dunia bela diri. Malam ini, aku memberanikan diri berbicara kepada bapak perihal keinginanku untuk mengikuti les bela diri. Saat itu bapak tengah asyik membaca koran sembari menikmati segelas kopi yang ditemani oleh singkong goreng buatan ibu. Aku duduk perlahan di samping beliau.
“Pak, Kinan boleh ngomong sesuatu?” tanyaku ragu-ragu.
“Ngomong apa, Nak?” Bapak menyahut tanpa mengalihkan pandangan dari koran. Sepertinya koran itu jauh lebih menarik dibandingkan dengan putri bungsunya itu.
“Di sekolah ada les tambahan, Kinan boleh ikut?” tanyaku lagi masih dengan suara yang ragu-ragu.
“Les apa memangnya?” kali ini bapak membalikkan halaman koran.
“Les karate, Pak,” ucapku akhirnya.
“Karate?” Bapak tampak terkejut. Koran yang sedang dibacanya diletakkan begitu saja. Aku mengangguk.
“Kenapa harus ikut les karate? Kamu kan sudah ikut les tari?” Bapak menatapku kali ini.
“Kinan,.. Kinan pengen ikut, Pak. Tapi Kinan tetap ikut les tari kok, Pak.” Aku berkata terbata-bata. Takut bapak tak mengiyakan permintaanku.
“Benar kamu bisa membagi waktu antara les tari, les karate, dan belajar?” Kali ini ucapan bapak terdengar sangat serius.
“Iya, Pak. Kinan janji bisa bagi waktu.” Aku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahku. Bapak terdiam sejenak, mungkin beliau sedang berpikir.
Dari keempat anaknya, hanya aku dan putra sulungnyalah yang tertarik dengan dunia bela diri. Tapi yang menjadi masalah adalah karena aku adalah anak perempuan satu-satunya. Bapak ingin aku tampil feminin seperti ibu, tapi aku malah menunjukkan minatku pada dunia yang lebih banyak disukai kaum adam.
Dengan penuh pertimbangan, bapak akhirnya mengizinkanku untuk ikut les karate dengan syarat prestasiku tetap baik. Jika nilai-nilaiku menurun maka aku harus rela meninggalkan les karate. Aku senang bukan kepalang.
Sejak saat itu aku rutin mengikuti les karate. Di dunia bela diri tersebutlah aku menemukan minatku yang sebenarnya. Aku jatuh cinta pertama kali dengan dunia bela diri dan susah untuk berhenti. Kecintaanku pada dunia bela diri melebihi minatku di bidang seni tari. Sehingga tak jarang aku bolos les tari demi menekuni karate. Tentunya tanpa sepengetahuan orangtuaku. Seperti hari ini, jadwal les tariku bertepatan dengan ujian kenaikan sabuk.
“Kamu beneran mau bolos? Hari ini kita praktek tari baru lho,” ujar Jaka, sahabatku sejak masih merah. Kami bertetangga. Dibanding Jaka mungkin aku jauh lebih maskulin. Jika aku menyukai olah raga yang menantang, Jaka lebih suka olah raga yang tidak menguras tenaga.
Dia juga mencintai seni tari berbanding terbalik denganku yang mengikuti les tari hanya demi memenuhi keinginan bapak yang ingin putri satu-satunya itu mengikuti jejak ibu.
“Iya, aku ujian kenaikan sabuk. Kamu jangan bilang-bilang ya, bilang aja ke pelatih kalo aku sakit, oke!” Aku mengacungkan jempol kepada Jaka. Meski mendengus kesal dia tidak pernah menolak permintaanku. Jaka memang selalu mengerti aku. Bahkan ketika suatu kali aku ketahuan membolos oleh bapak, Jakalah yang pasang badan membelaku. Di balik sikap lembutnya, dia tetaplah lelaki.
Ketika aku duduk di kelas VII, Mas Bagas, kakak tertuaku memutuskan untuk menjadi tentara. Dialah yang akhirnya mengenalkanku pada dunia militer dan senjata api. Kami memang sangat akrab. Mas Bagas kerap berkisah tentang masa pendidikannya yang cukup keras tapi menyenangkan.
“Seru Dek, meski pun badan Mas Bagas awalnya pada sakit semua tapi lama-lama terbiasa kok,” ceritanya kala itu.
“Ada yang perempuan ga, Mas?” tanyaku mulai antusias.
“Ada Dek, memang jumlahnya gak sebanyak pria tapi mereka adalah wanita-wanita yang tangguh. Kenapa, kamu tertarik sama dunia militer?” tanyanya.
“Sepertinya menyenangkan, Mas. Tapi apa boleh seorang wanita jadi tentara?” tanyaku kemudian.
“Ya boleh saja Dek, sekarangkan zaman emansipasi wanita. Perempuan berhak jadi apa saja, lagi pula tentara kan adalah abdi negara. Suatu profesi yang gak kalah mulianya dibandingkan dengan profesi lain. Selain tentara kamu bisa milih polwan atau bisa juga masuk brimob, Dek,” jelas Mas Bagas. Aku mendengarkan dengan saksama. Yah, wanita memang berhak menjadi apa saja termasuk tentara. Tapi apakah itu berlaku bagi bapak yang ngotot anaknya harus menjadi penari? Sampai saat ini saja, aku masih kucing-kucingan untuk latihan karate.
Aku selalu menantikan saat Mas Bagas kembali ke rumah setiap akhir pekan. Selalu ada cerita menarik yang dikisahkannya di asrama tentara sana.
“Kemarin Mas Bagas ikut pengamanan di kantor walikota Dek, katanya ada bom yang dipasang di sana. Tapi ternyata itu cuma petasan, pelakunya diduga melakukan teror untuk meresahkan warga,” kisahnya.
“Trus gimana, Mas? Ketangkep ga pelakunya?” Aku antusias.
“Ketangkep Dek, Mas Bagas jadi salah satu yang melumpuhkan pelaku,” terangnya.
“Wah, Mas Bagas keren!” Aku kagum pada kakak tertuaku itu. Dibanding kedua kakakku yang lain aku memang lebih akrab dengan Mas Bagas. Dua kakak kembarku itu lebih suka berteman dengan buku-buku mereka. Tak heran, karena mereka ingin mengikuti jejak bapak menjadi dokter.
“Dua hari yang lalu Mas Bagas ikut latihan nembak lagi Dek,” lanjutnya.
“Nembak Mas? Wah, keren! Seru ga Mas?” Aku lagi-lagi terkagum-kagum.
“Seru banget Dek, ini nih jenis senjata yang dipake” Mas Bagas menunjukkan gambar sebuah senjata api yang digunakannya untuk berlatih menembak.
“Ini namanya Remington 700,” ucap Mas Bagas. Aku memperhatikan dengan saksama senjata berkaliber 7,62 x 51 mm itu. Entah kenapa senjata yang biasa digunakan oleh para marinir itu begitu menarik di mataku. Mungkin sebagian orang akan menganggapku sebagai gadis aneh. Yah, wajar. Mana ada gadis usia belasan yang tertarik dengan senjata api? Tapi aku tak bisa membohongi diri sendiri bahwa sejak saat itulah aku jatuh cinta pada dunia menembak.
“Mas, aku boleh gak ikutan latihan menembak?” tanyaku kemudian. Mas Bagas yang paham akan minatku yang memang cukup aneh kemudian tersenyum.
“Kamu tertarik sama olah raga menembak?” tanyanya. Aku mengangguk mantap. Entah mengapa aku begitu yakin saat itu, padahal ini kali pertamanya aku melihat senjata api (yang hanya berbentuk gambar). Mungkin inilah yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Nanti ya, kalau kamu sudah SMA. Mas Bagas punya kenalan tempat olah raga menembak. Kamu itu nurunin sifat Mas Bagas banget ya, Dek.” Mas Bagas tertawa sembari mengacak rambutku perlahan.
“Nih, Dek. Ini namanya Kowad atau tentara wanita, kalau ini polwan, nah ini anggota brimob, Dek. Kalau kamu bisa jago tembak, kamu bagusan ke brimob. Bisa jadi penembak jitu, lho.” Mas Bagas menunjukkan artikel tentang para wanita yang menggeluti dunia militer. Ada yang menjadi Kowad yang terpilih untuk menjalankan misi perdamaian di daerah konflik, ada pula brimob wanita yang masuk menjadi pasukan wanteror (anti teror). Semua membuatku tambah tertarik dengan dunia militer.
“Kinan juga mau jadi kayak gini Mas,” kataku mantap. Entah apa aku yang bahkan sampai beberapa saat yang lalu tidak tahu mau jadi apa jika dewasa malah memantapkan niat untuk berkecimpung di dunia militer. Mas Bagas tertawa, mungkin dia berpikir bahwa ini hanyalah euforia sesaat karena ketertarikanku pada olah raga tembak.
Hari berganti, tahun berlalu. Aku kini duduk di bangku SMA, masih juga bersama dengan Jaka. Sejak TK kami selalu satu sekolah, entah kebetulan atau memang dia yang selalu mengikutiku. Kebetulan kami selalu ditempatkan di kelas yang sama. Di mana ada Kinanti di situ ada Jaka. Bagai kembar dempet, bagai amplop dan perangko, begitu teman-teman menjuluki kami.
Aku masih tetap mengikuti les tari meski tak pernah sekali pun ada prestasi yang kuukir di bidang itu. Mungkin aku adalah siswa dengan kemampuan yang paling rendah di kelas seni tari. Pernah suatu kali ibu mengomeliku karena kemampuan menariku yang tak kunjung berkembang.
“Masak kamu gak pernah terpilih ikut kompetisi sih? Pelatihmu juga bilang kemampuan kamu di bawah rata-rata. Kamu latihan yang bener gak sih Kinan?” Ibu mengomeliku.
“Bener kok, Bu,” jawabku pelan sembari tertunduk. Aku tak berbohong. Meski aku tak mencintai seni tari, tapi setiap latihan aku ikuti dengan serius. Sepertinya memang bakatku bukanlah di bidang itu.
“Masak piala kamu dari karate terus, kan ibu malu diomongin. Anak penari sukses kok kemampuan menarinya lebih buruk dari yang lain,” ucap ibu. Aku hanya terdiam. Memang benar bahwa piala yang aku dapatkan semuanya dari olah raga bela diri. Berbeda dengan ibu yang sejak SD sudah mempersembahkan puluhan piala dari menari. Sampai kini pun beliau masih aktif menghasilkan piala dari menari. Lihat saja, isi lemari di ruang tamu dipenuhi dengan piala hasil prestasi menari ibu. Tapi aku tak bisa disamakan dengan ibu. Toh, setiap orang memiliki bakat yang berbeda-beda. Mungkin memang bakatku bukanlah di bidang seni tari. Mau bagaimana lagi? Dipaksakan pun takkan mengubah kenyataan bahwa aku tak mencintai seni tari. Bukankah cinta memang tak bisa dipaksakan?
Suatu pagi, Mas Bagas datang ke rumah. Dia bilang dua hari lagi dia akan ditugaskan ke Poso, daerah rawan konflik. Selama dua hari, Mas Bagas menemaniku latihan tembak.
“Mas, Poso bukannya daerah rawan konflik ya? Mas Bagas gak takut ditugaskan ke sana?” tanyaku di sela waktu istirahat.
“Mas ke sana kan buat melindungi warga sipil Dek, jadi Mas gak perlu takut. Tugas abdi negara kan memang begitu. Kalau bukan abdi negara yang melindungi mereka, siapa lagi? Lagi pula, umur kita itu di tangan Yang Maha Kuasa, Dek. Kalau pun Mas harus kehilangan nyawa di sana, Mas Bagas tetap bangga karena Mas meninggal dalam keadaan membela negara. Layaknya pahlawan yang melawan penjajah zaman dulu, penjajah tetaplah harus dilawan. Sekali pun penjajah tersebut adalah bangsa kita sendiri,” ucapnya dengan tersenyum. Tampak dalam senyumnya kebanggaannya menjadi tentara yang melindungi tanah air. Aku semakin kagum dengan Mas Bagas dan dunia militer. Aku sudah membulatkan tekad untuk memilih dunia militer kelak, entah menjadi kowad, polwan, atau pun brimob.
Aku membidik sasaran di depanku dan menembaknya. Nilaiku hampir sempurna.
“Wah, kemampuan kamu makin bagus aja, Dek. Yoga bilang sejak pertama masuk kamu udah gampang banget diajarin nembak. Fokusmu itu yang luar biasa katanya,” ucap Mas Bagas. Yoga adalah pelatihku sekaligus teman baik Mas Bagas. Aku sendiri heran dengan kemampuan menembakku yang kian hari kian meningkat. Aku bahkan bisa mengangkat senjata yang berat itu dengan enteng.
Sepanjang hari aku habiskan dengan Mas Bagas. Dia menjemputku ke sekolah, menemaniku latihan tembak, dan mengajakku jalan-jalan keliling kota. Kami bahkan makan jajanan masa kecil kami bersama. Hari itu aku sangat bahagia bisa menghabiskan waktu dengan kakak kesayanganku itu. Namun, aku tak tahu bahwa hari itu adalah hari terakhirku bersamannya.
Langit sore itu tak lagi biru, bagiku ia kelabu. Hujan seakan datang di hari terang. Aku baru saja pulang dari latihan menembak ketika kulihat sebuah mobil jenazah di depan rumahku. Ragu-ragu aku memasuki rumah. Terdengar isak tangis wanita yang suaranya sangat kukenal. Itu suara ibu. Aku masuk perlahan. Tito dan Tian, kakak kembarku menyambutku di pintu masuk sembari memelukku.
“Ada apa, Mas?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Mas Bagas ,Dek,” ucap Mas Tian sembari terisak.
“Mas Bagas kenapa?” tanyaku lagi berusaha untuk mengerti ucapannya.
“Mas Bagas udah gak ada, Dek,” lanjut Mas Tito. Aku tak sanggup lagi berdiri. Lututku lemas, aku terduduk. Mas Tian dan Mas Tito memapahku ke dalam. Di ruang tengah kulihat Mas Bagas dalam kondisi tak bernyawa. Bapak dan ibu duduk di sampingnya sambil menangis. Aku serasa tak lagi berpijak di bumi. Kehilangan kakak sulung yang sangat aku sayangi memberikan pukulan terbesar dalam hidupku. Aku tak menyangka dia akan pergi secepat itu.
Aku menatap nanar tubuh Mas Bagas yang dimasukkan ke liang lahat. Mas Bagas dimakamkan secara militer. Kepergian Mas Bagas untuk selama-lamanya seakan membuatku kehilangan separuh dari hidupku. Aku bahkan tak masuk sekolah selama tiga hari dan hanya mengurung diri di kamar sembari menatap album foto. Aku memandangi foto Mas Bagas sambil terus menangis. Tak dapat kuhentikan air mata yang terus mengalir deras tanpa dapat dibendung. Aku belum bisa merelakan kakak yang selama ini selalu menjadi penyemangatku. Aku bagai kursi yang kehilangan satu kaki: timpang, tak seimbang.
Bapak mengetuk pintu kamarku, beliau mengatakan bahwa surat yang ditulis Mas Bagas sudah sampai. Sebelum ditugaskan ke Poso, mereka memang diminta menuliskan surat untuk keluarga dan orang tercinta. Hal ini dilakukan jika hal terburuk terjadi pada mereka, seperti yang terjadi pada Mas Bagas. Aku melihat amplop putih di tangan bapak. Perlahan, bapak membuka amplop itu dan membacanya dengan mata berkaca-kaca. Isinya hanya ucapan terima kasih kepada bapak dan ibu serta adik-adik yang telah mendukungnya selama ini. Mas Bagas juga meminta maaf atas semua salah yang dilakukannya. Mas Bagas juga meminta Mas Tito dan Tian menjaga bapak, ibu, dan juga aku. Air mata kami sekeluarga mengalir dengan deras membaca surat itu. Meski begitu, kami yakin bahwa Mas Bagas pergi dengan tenang.
Hari ini hari pertamaku kembali ke sekolah setelah mengurung diri akibat kepergian Mas Bagas. Jaka menemaniku dan menghiburku.
“Jangan sedih lagi dong Kinan, aku yakin kok Mas Bagas gak mau kamu sedih terus begini,” hiburnya. Aku berusaha tersenyum, senyum yang dipaksakan. Ketika jam pulang sekolah tiba, Jaka mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin bertemu denganku di gerbang sekolah. Aku menghampiri pria tinggi tegap dengan seragam tentara itu.
“Kinanti?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Siapa ya?” tanyaku.
“Saya Restu, rekan Bagas di asrama. Sebelum Bagas berangkat ke Poso, dia minta saya kasi surat ini buat adik perempuan satu-satunya kalau dia tidak selamat.” Pria itu menyodorkan sebuah amplop putih kepadaku. Aku menyambutnya. Di amplop itu tertulis: kepada adik kesayanganku, Kinanti Prameswari. Aku terpana sejenak, surat ini dari Mas Bagas. Dia menulis surat khusus untukku, terpisah dari surat yang dibacakan bapak kemarin. Aku memutuskan untuk membaca surat itu di rumah. Aku takut tak sanggup mengendalikan emosiku jika membacanya di depan Mas Restu ataupun Jaka.
Lama kupandangi surat itu lekat-lekat. Terbayang wajah Mas Bagas di benakku. Aku begitu merindukannya. Kubuka perlahan amplop itu dan kulihat tulisan tangan mas Bagas yang rapi.
Teruntuk adik kesayanganku, Kinanti Prameswari.
Jika kamu membaca surat ini, itu artinya Mas Bagas sudah tiada. Kinan, kamu adalah adik yang selalu membuat Mas Bagas bangga. Waktu mendengar kamu punya minat yang kuat di dunia militer, Mas Bagas senang sekali. Kamu harus tahu bahwa dunia militer itu keras, Kinan. Tapi Mas yakin kalau kamu mampu melewatinya. Satu hal yang kamu harus tahu bahwa Mas Bagas tidak pernah menyesal memilih jalan ini. Mengabdi kepada negara hingga tetes darah penghabisan adalah mimpi Mas Bagas sejak kecil.
Kinan, Mas tahu bahwa selama ini kamu tidak pernah berminat di dunia seni tari seperti ibu. Kamu hanya ingin menyenangkan hati bapak dan ibu, itu sebabnya kamu mengikuti les tari. Tapi Mas Bagas tahu bahwa minatmu di bela diri dan dunia tembak menembak. Mas tahu kamu putri yang berbakti, tapi kamu tidak bisa selamanya melawan hati kamu, Kinan. Jujurlah pada hatimu. Masa depanmu ada di tanganmu.
Kinan, Mas juga tahu bahwa bapak adalah orang yang keras. Jika beliau tahu bahwa putri satu-satunya mencintai dunia militer, pasti beliau akan murka. Tapi Kinan, jangan takut. Kamu berhak menentukan hidupmu. Mas Bagas bukan mengajarkanmu untuk jadi anak durhaka, tapi Mas Bagas hanya ingin adik kesayangan Mas bahagia menjalani hidupnya. Mas Bagas gak mau kamu menyesal karena meninggalkan mimpimu. Memang berat meyakinkan bapak dan ibu, tapi seiring waktu Mas yakin mereka akan mengerti.
Kinan, jaga dirimu. Mas akan menjaga dan mendukungmu dari surga.
Sepucuk surat dari Mas Bagas sukses membuat air mataku mengalir deras. Mas Bagaslah orang yang paling mengerti akan semua mimpiku. Dan orang itu kini telah pergi untuk selama-lamanya. Aku memeluk erat surat dari Mas Bagas itu sambil terisak. Mas Tian masuk ke kamarku, didapatinya aku tengah berlinang air mata masih dengan seragam sekolah. Mas Tian tak berkata sepatah kata pun, ia langsung memelukku erat sembari mengusap lembut kepalaku.
“Kinan kangen Mas Bagas,” ucapku serak.
“Iya Dek, Mas Tian juga. Tapi kalau Mas Bagas lihat kamu nangis terus gini nanti Mas Bagasnya juga ikutan sedih,” ucap Mas Tian berusaha menenangkanku. Bukannya tenang, tangisku malah semakin menjadi-jadi. Mas Tian mempererat pelukannya. Diusapnya air mata yang membanjiri pipiku. Aku tahu dia juga merasakan kesedihan dan kehilangan yang sama, hanya saja sebagai kakak lelaki dia tak ingin menunjukkannya di hadapanku.
....
Bapak tak suka dengan kecintaanku pada bela diri, beliau berharap putri semata wayangnya ini bisa menjadi lebih feminin seperti gadis lainnya. Ketika kelas dua belas, bapak mengenalkanku pada anak koleganya, seorang calon dokter tampan dan rupawan. Namanya Arjuna. Selama ini aku memang tak pernah terdengar dekat dengan pria kecuali Jaka. Bapak khawatir kalau-kalau anaknya ini kelak jadi perawan tua karena terlalu sibuk dengan urusan bela diri dan tembak menembak. Aku bukannya tak tertarik untuk memulai hubungan cinta, hanya saja aku memang tak sempat memikirkannya.
Sepulang sekolah aku disibukkan dengan kegiatan yang cukup menyita waktuku, mana sempat aku melirik pria, bahkan sekadar untuk menyukai seorang pria pun aku merasa tidak punya cukup waktu. Dua puluh empat jam saja rasanya masih kurang.
Dengan terpaksa aku pun menuruti maunya bapak untuk berkencan dengan pria yang 5 tahun lebih tua dariku itu setiap akhir minggu. Kencanku tak pernah terbilang sukses. Setiap kali Mas Juna mengajakku nonton bioskop aku selalu ketiduran sehingga ketika dia mengajakku membahas film yang baru kami tonton, aku tak tahu apa-apa. Sering dia kesal kepadaku, tapi setelah aku meminta maaf maka dia akan kembali tersenyum. Dia benar-benar pria penyabar.
Hubunganku dengan Arjuna berakhir ketika aku lulus SMA. Bukan karena sifatku yang acuh tak acuh, bukan pula karena kebiasaan burukku yang tertidur saat berkencan dengannya. Tapi semua karena aku mengambil keputusan yang mungkin di luar nalar Arjuna, bahkan tak terduga oleh kedua orangtuaku. Aku memutuskan jadi kowad atau tentara wanita.
Amplop kelulusan sudah di tangan bapakku. Aku lulus dengan nilai yang tidak terlalu mengecewakan. Bapak sudah siap dengan brosur sebuah perguruan tinggi, tempat Arjuna menuntut ilmu.
“Ini brosur kampus, kamu sudah bapak daftarkan ke sini. Tesnya dua minggu lagi. Persiapkan dengan baik,” ucap bapak yang terdengar seperti perintah yang mutlak harus dilaksanakan itu. Aku hanya mengangguk seolah setuju. Tak ingin kubuat bapak murka saat itu. Padahal dalam benakku, aku sama sekali tidak berminat menjadi seorang dokter seperti maunya bapak.
Tanpa sepengetahuan bapak, aku mendaftarkan diri menjadi kowad sambil tetap mengikuti tes masuk kedokteran agar bapak tak curiga. Aku bahkan berhasil menipu bapak untuk mendapatkan tanda tangannya.
“Kamu gila ya, kalau ketahuan bapakmu beliau bisa ngamuk dan se-kabupaten bisa ribut karenanya,” ucap Jaka sedikit hiperbola.
“Udah doain aja aku lulus, soal bapak marah ntar aku pikirin.”Aaku menjawab santai meski sebenarnya dalam hati aku waswas jua akan murkanya bapak.
Berbagai tes menjadi kowad aku jalani dengan lancar. Dan ternyata aku berhasil lulus tes dan diterima. Sore itu kubawa surat tanda bahwa aku diterima menjadi kowad kepada bapak dengan mengumpulkan segenap keberanian. Bapak membacanya dengan saksama, awalnya beliau tampak serius membacanya. Tak lama kemudian wajah bapak berubah murka. Bapak marah besar karena aku tak pernah memberitahunya bahwa aku mendaftar menjadi tentara wanita.
“Anak kurang ajar! Berani-beraninya kamu mengambil keputusan sendiri tanpa bertanya pada bapak. Kamu anggap apa bapakmu ini? Batu?” suara bapak terdengar nyaring, aku yakin tetangga sebelah rumah pasti mendengarnya.
“Maaf, Pak. Tapi Kinan ingin jadi tentara kayak Mas Bagas,” ucapku bergetar.
“Bapak bilang jangan! Kok yo ngeyel to kamu?” suara bapak tambah tinggi.
“Kinan mohon Pak, izinkan Kinan jadi tentara. Itu cita-cita Kinan sejak lama, tolong izinkan Kinan mengikuti kata hati Kinan sekali ini saja, Pak. Selama ini Kinan selalu menuruti maunya Bapak, Kinan mohon kali ini saja.” Aku masih memberanikan diri memohon pada bapak.
“Sekali bapak bilang tidak, ya tidak! Paham kamu! Kalau kamu nekat masuk tentara, lebih baik kamu keluar sekalian dari rumah ini! Punya putri satu-satunya kok bukannya membanggakan orangtua malah paling ngelunjak!” Bapak membanting koran ke meja dan berlalu dengan sejuta amarah tergambar di wajahnya. Air mataku jatuh perlahan, ibu yang saat itu sedang di dapur menghampiriku.
“Kamu kok yo ada-ada aja sih, mbok jangan ngebantah bapak to. Turuti maunya,” ucap ibu.
“Selama ini Kinan ga pernah diizinkan menuruti maunya Kinan, Bu. Selalu maunya bapak. Kinan mohon Bu, kali ini Kinan ingin menentukan masa depan Kinan sendiri,” sahutku sembari menghapus air mata yang menetes di pipi.
“Itu artinya kamu nentang Bapak, nduk. Kamu tahu kan sifatnya bapakmu itu keras, mbok kamu ngalah,” bujuk ibu, beliau mengekoriku menuju kamar.
“Udah cukup Kinan ngalah, Bu.” Aku mengambil koperku dan memasukkan beberapa baju dan perlengkapan ke dalamnya.
“Kamu mau ke mana? Jangan gegabah Kinan, pikirkan lagi niatmu itu.” Ibu tampak khawatir melihatku yang akan bersiap pergi. Aku tak mengacuhkan ibu yang berusaha menahanku pergi, tekadku sudah bulat. Aku akan menjadi kowad apa pun halangannya termasuk meninggalkan rumah dan tidak diakui oleh bapak sebagai anak.
Masa pendidikan akan dimulai seminggu lagi, aku bingung harus kabur ke mana selama seminggu ini. Aku sudah terlanjur pergi meninggalkan rumah. Satu-satunya harapanku adalah Jaka. Aku menelepon Jaka dan menungguinya di depan etalase toko.
“Kamu ngapain sih pake acara kabur segala? Nekat bener ini bocah.” Jaka langsung mengomeli ketika melihatku. Aku nyengir kuda.
“Aku nginep di rumahmu ya Jak, masuk asramanya masih seminggu nih,” pintaku.
“Owalah, Kinan. Jarak rumah kita itu cuma sekilo, kamu malah kabur ke rumahku. Bukan kabur itu namanya,” ucap Jaka.
“Abis aku gak tau harus ke mana lagi, tolongin aku please,” pintaku memelas pada Jaka. Dan ia pun tak tahan melihatku yang terus memohon. Mungkin pula ia tak ingin sahabatnya ini menjadi gelandangan. Aku pun dibawanya ke rumah.
Ayah dan ibu Jaka sudah mengenalku sejak masih merah. Mendengar ceritaku, mereka pun mengizinkanku menginap sebelum masuk asrama. Meski mereka tak henti-hentinya menasihatiku.
Seminggu kemudian aku pun masuk asrama dan akan mulai menjalani pendidikan sebagai kowad. Tak ada bapak mau pun ibu mengantarku. Terang saja, beliau sudah terlalu murka karena keputusanku yang seenak hati itu. Tapi aku tak kecewa karena aku ditemani oleh Jaka dan ibunya yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Atau bahkan aku lebih dekat dengan ibu Jaka daripada dengan ibu kandungku. Karena kesibukan ibuku sebagai penari, aku sering dititipkan dengan ibu Jaka. Oleh sebab itu aku sudah menganggap beliau sebagai ibuku sendiri.
“Hati-hati ya kamu, Kinan. Kirimi kami kabar kalau bisa, jaga kesehatanmu. Ibu pasti bakal rindu kamu,” ucap ibu Jaka dengan mata berkaca-kaca seolah berat melepas anak tetangga yang sudah dianggapnya sebagai putrinya sendiri itu.
“Iya, Bu. Kinan nanti bakal kasi kabar kok. Ibu sehat-sehat terus ya,” ucapku sembari memeluk beliau. Dalam lubuk hatiku sesungguhnya menginginkan bapak dan ibu kandungku ada di sini melepasku dengan doa. Tapi, ya sudahlah.
Jaka melepasku dengan menangis tersedu-sedu. Perasaan pria itu memang halus dan gampang terharu.
“Ngapain nangisnya gini banget sih, Jak? Aku mau pendidikan Jaka, bukan mau dikirim perang ke Libanon,” ucapku kesal.
“Iya tahu, tapi kan kita bakal jarang ketemu,” ujarnya masih dengan isak tangis.
“Ampun deh ni anak, pulang gi. Banjir ntar nih di sini,” ucapku memintanya pulang. Sesungguhnya aku pun sedih harus berpisah dengan sahabat kentalku itu. Tapi aku tak ingin menunjukkan rasa sedihku di hadapannya. Aku berusaha tegar meski pun pada kenyataannya aku lebih rapuh dari lapisan tipis air yang beku.
Pendidikan sebagai kowad tak semudah yang aku bayangkan. Kami kaum hawa mendapat perlakuan yang sama dengan kaum lelaki. Merayap, jungkir guling, jalan jongkok, naik turun gunung, halang rintang sampai menembak menjadi aktivitas kami sehari-hari. Latihan-latihan yang berat cukup menguras tenagaku maka tak heran sebulan setelah pendidikan berat badanku turun drastis. Kulitku pun kini tak lagi kuning langsat tapi kecokelatan. Selama menjalani pendidikan menjadi kowad aku belajar banyak hal, tentang kedisiplinan yang dulu sering kulanggar, tentang kesetiakawanan, dan tentang persahabatan. Di sini aku menemukan banyak sahabat baru, tak hanya dari kaum hawa tetapi juga kaum adam. Keahlianku dalam memainkan senjata api menjadi nilai tambah tersendiri bagiku. Aku kerap mendapatkan nilai tertinggi setiap kali latihan menembak. Banyak senior yang berdecak kagum melihatku.
“Gila tu cewek, keren banget. Kalah gue nembaknya,” ucap salah seorang senior sayup terdengar olehku.
Tahun berikutnya aku terpilih sebagai salah satu relawan di daerah misi perdamaian PBB di Kango, Afrika Tengah. Di sana aku diminta membantu tenaga medis. Luar biasa beratnya tugas itu. Namun, aku bangga bisa membawa nama negara ke sana. Meski keahlianku di bidang tembak menembak, saat menjadi relawan aku tak diperkenankan menggunakan keahlianku. Hanya kaum lelaki saja yang turun ke medan perang. Melihat para korban perang yang luka parah tak jarang membuatku meneteskan air mata. Betapa beruntungnya aku hidup di tanah air Indonesia yang sudah merdeka tak ada lagi perang seperti di sini. Dalam hati aku berharap semoga Indonesiaku tak lagi mengalami perang baik perang dengan penjajah dari luar mau pun penjajah bangsa sendiri.
Usai enam bulan menjadi relawan PBB, aku mulai ditugaskan di lapangan. Hari ini kotaku sedang mengadakan sebuah acara besar yang akan dihadiri oleh walikota dan rombongan. Ratusan aparat ditugaskan untuk menjaga keamanan. Isu yang berkembang belakangan ini tentang hadirnya teroris membuat kami, aparat keamanan, harus berjaga ekstra ketat. Apalagi diperhelatan besar seperti ini.
Masyarakat ramai terlihat di seputar halaman balai kota. Pengamanan cukup ketat dilakukan oleh gabungan brimob, polisi, dan pasukan khusus. Aku bergabung dalam pasukan khusus karena keahlianku menembak. Tak hanya masyarakat, para wartawan pun ramai berkumpul untuk meliput acara ini secara langsung. Suasana menjadi riuh ketika walikota datang dan mulai memberikan sambutan. Beberapa tampak bertepuk tangan, ada yang sibuk memotret, ada pula yang terpana dengan sosok walikota yang memang tampan luar biasa itu. Walikota tengah memberikan sambutan ketika tiba-tiba sebuah bom dengan kekuatan rendah meledak di sebuah tong sampah. Untungnya jaraknya cukup jauh dari lokasi. Namun, tak mengurangi kepanikan warga. Warga mulai berteriak dan berlarian. Meski pun tak ada yang terluka, pasukan khusus segera mengamankan walikota dan meminta warga untuk segera meninggalkan tempat itu. Sementara warga yang terlanjur panik berlarian tak karuan.
Lima menit kemudian, aku dan beberapa rekan berhasil menenangkan warga dan meminta mereka menjauh dengan tenang. Namun, aku merasakan firasat buruk. Entah apa itu, aku segera menepisnya dan mengembalikan konsentrasiku. Tak lama kemudian sebuah bom kembali meledak di dekat panggung. Kekuatannya jauh lebih besar dari yang pertama. Dan sialnya aku dan beberapa rekanku sedang berada di dekat lokasi. Kami terpental dan kurasakan darah segar mengalir dari pelipisku. Pandanganku mulai buram. Samar-samar kulihat di jarak 50 meter dariku ada seorang bocah perempuan yang menangis. Aku rasa dia terpisah dari ibunya. Dengan tertatih aku menghampiri bocah itu, tak kuhiraukan perihnya luka di kepalaku. Aku segera menggendong bocah itu dan membawanya menjauh dari lokasi kejadian. Beberapa rekan segera menghampiriku. Pandanganku berubah menjadi gelap dan aku pun tak sadarkan diri.
...
Aku membuka mataku perlahan. Kurasakan seluruh tubuhku nyeri begitu pun kepalaku. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan: infus, perawat yang memeriksaku menandakan bahwa aku sedang di rumah sakit. Jaka tertidur di pinggir ranjang.
“Jaka,” panggilku. Jaka langsung terbangun.
“Kinan, kamu udah sadar?” tanya Jaka.
“Aku kenapa, Jak?” tanyaku dengan suara yang masih lemah.
“Kamu gak inget? Kamu gak sadarkan diri dari kemarin. Pas bertugas kamu kena ledakan bom, ni badan kamu pada memar semua ada pendarahan kepala juga kata dokter. Kamu kok bisa gini sih, Kinan?” Jaka mulai meneteskan air mata. Perasaan pria itu memang lembut.
“Kamu kenapa pake acara nangis gitu? Aku masih hidup Jaka,” ucapku kesal.
“Iya masih hidup tapi luka kayak gini,” ucapnya sesenggukan. Aku menjitak kepalanya lembut. Aku hendak mengubah posisiku menjadi duduk. Tapi kepalaku terasa begitu perih sehingga aku tak sanggup bangun. Badanku pun terasa nyeri.
“Jangan banyak gerak dulu, kata dokter kamu gak boleh bangun dulu. Dan kali ini kamu harus nurut!” Jaka mengomeliku.
...
Sementara itu di kediaman orangtuaku, bapak sedang menonton berita sembari menyeruput kopi buatan ibu. Ibu dengan setia mendampingi beliau sembari menjahit kemeja bapak. Sebuah berita membuat bapak menjatuhkan gelas yang sedang dipegangnya. Kopi tumpah di lantai dan gelas pun pecah. Ibu terkejut.
“Bapak kenapa?” tanya ibu sembari memungut pecahan gelas. Bapak tak menjawab, beliau menunjuk ke arah televisi dengan jari bergetar. Ibu menoleh ke televisi dan tak kalah terkejutnya beliau ketika melihat namaku tercantum sebagai salah satu korban ledakan bom tersebut. Ibu terduduk tak berdaya. Beliau hanya bisa menangis sembari menutup mulutnya, sementara bapak tak sanggup berkata apa-apa.
Ibu beranjak ke kamar mengganti pakaiannya.
“Pokoknya ibu harus jenguk Kinanti terserah bapak mengizinkan atau tidak,” ucap ibu hendak berlalu tapi bapak mencegahnya.
“Tunggu! Bapak ikut,” ucap bapak lirih. Sekeras-kerasnya beliau tetaplah seorang ayah yang mengkhawatirkan putrinya.
Bapak dan ibu segera menuju rumah sakit tempatku di rawat. Kebetulan aku dirawat di ruangan VIP. Ibu hendak langsung masuk sementara bapak masih ragu.
“Bapak tunggu apa lagi sih, ayo masuk,” ucap ibu.
“Bapak di sini saja, ibu saja yang masuk.” Bapak akhirnya memutuskan menunggu di luar ruangan. Entah mengapa beliau enggan masuk.
Krek! Pintu terbuka, ibu menghambur masuk dan segera memelukku.
“Kinanti, ya Tuhan, kenapa bisa jadi seperti ini, Nak? Kamu tidak apa-apa?” tanya ibu sembari mengusap lembut rambutku. Aku terdiam, aku merasa sangat dekat dengan wanita ini tapi entah mengapa aku tak dapat mengenalinya.
“Tante siapa?” tanyaku yang kemudian membuat mata ibu dan juga Jaka terbelalak.
“Kinan ini ibu,” suara ibu terdengar serak. Aku tak menjawab, aku memandang ke arah Jaka seolah meminta pertolongan agar wanita yang mengaku sebagai ibuku ini tidak mendekat. Jaka segera menghampiriku, aku mengamit lengannya erat.
“Ini ibumu, Kinan. Kamu tidak ingat?” tanyanya lembut tapi dengan suara yang bergetar. Aku menggeleng. Aku berusaha mengingat wanita yang tersedu-sedu di depanku tetapi kepalaku malah bertambah sakit. Sakit yang luar biasa sakit. Aku memegangi kepalaku, Jaka panik dan segera memanggil dokter. Jaka dan ibu diminta keluar. Ibu tak lagi mampu membendung air matanya sementara bapak yang menunggu di luar penasaran mengapa ibu menangis seperti itu.
“Kenapa, Bu? Kinan kenapa?” tanyanya tak sabar. Ibu tak sanggup menjawab dan hanya menangis.
“Jaka, Kinan kenapa?” Bapak bertanya kepada Jaka.
“Kinan tidak bisa mengenali ibu,” jawab Jaka lirih. Bapak tampak terkejut dan terduduk. Tak lama kemudian, dokter keluar. Bapak dan ibu segera menghampiri dokter.
“Anak saya bagaimana, Dok?” tanya bapak lebih dulu.
“Anak bapak mengalami benturan yang cukup keras akibat ledakan bom itu yang menyebabkan pendarahan kepala,” ucap sang dokter.
“Kenapa dia tidak mengenali saya, Dok? Saya ibunya.” Ibu masih terisak.
“Untuk sementara saya belum bisa mengambil kesimpulan lebih lanjut, diagnosis saya sekarang anak ibu mengalami amnesia ringan. Ini biasa terjadi pada kasus benturan keras seperti ini, biasanya tidak akan lama. Saya akan pantau terus kondisinya, semoga tidak terjadi apa-apa. Mohon jangan paksakan pasien untuk terlalu berpikir keras untuk mengingat bapak dan ibu, karena saat ini kondisinya belum stabil,” dokter menjelaskan dengan panjang lebar.
“Ibu sama bapak pulang saja dulu, nanti Jaka hubungi kalau kondisi Kinan sudah stabil. Jaka juga bakal bantu Kinan mengingat bapak sama ibu,” ucap Jaka berusaha menenangkan bapak dan ibu. Bapak dan ibu menurut.
Ingatanku tentang bapak dan ibu memang hilang begitu saja, aku pun tak mengerti mengapa bisa begini? Aku mengingat dengan jelas Jaka, ibunya, dan rekan-rekanku yang lain. Tapi ibu, bapak, dan kakakku tak bisa kuingat sama sekali. Awalnya dokter mengira aku terkena amnesia ringan tetapi setelah melakukan pemeriksaan lebih lanjut, dokter menyatakan bahwa aku terkena dementia paralytica[1]. Itu sebabnya ingatanku terkadang hilang. Pada waktu tertentu aku terlihat sangat normal, tapi di suatu waktu aku akan lupa apa yang telah aku lakukan sebelumnya. Untungnya, Jaka selalu merekam semua aktivitas di rumah sakit. Dia pula yang selalu mengingatkanku jika tiba-tiba ingatanku hilang. Dia juga dengan sabar mendampingiku.
Penyakit yang aku derita ternyata membutuhkan waktu yang lama untuk disembuhkan. Aku pun tidak lagi bisa kembali menjadi tentara seperti sedia kala. Kondisi psikisku sering tidak stabil. Sering aku menyesal dan meminta maaf pada almarhum kakakku karena tak dapat mewujudkan mimpi menjadi tentara. Aku sedih dan membenci keadaanku yang lemah dan tak berdaya itu. Beberapa kali kondisi psikisku terguncang. Bagaimana tidak, menjadi tentara adalah impian terbesarku. Kini aku harus mengubur mimpi itu dalam-dalam.
Aku harus menjalani operasi berkali-kali. Tak hanya itu, aku pun harus menjalani terapi untuk memulihkan kondisi psikisku. Sementara ingatanku tentang bapak dan ibu masih saja kabur. Jaka, tak pernah sedetik pun beranjak dari sisiku. Dialah yang akhirnya menguatkanku. Pria yang telah menjadi sahabatku sejak lama itu selalu menjagaku.
Aku tak pernah menyangka hidupku akan seperti ini, menjadi orang yang lemah dan tak berdaya. Pada akhirnya aku yang merasa diriku kuat kini mencapai titik terendah. Mungkin benar bahwa doa restu orangtua sangatlah penting bagi anak-anaknya.
Meski begitu, aku tidak menyesal menjadi tentara wanita. Aku sangat bangga bisa menjadi satu-satunya wanita yang direkrut ke dalam pasukan khusus untuk membela tanah air.
Meskipun semua itu tinggal kenangan. Tapi setidaknya, aku tak sendirian. Pria itu selalu mendampingiku. Tak pernah bosan mengingatkanku saat ingatanku kembali lenyap. Pria yang selalu dengan sabar menenangkanku saat psikisku kacau balau. Dia adalah Jaka, sahabat sekaligus priaku yang bersedia menerimaku dan menjadi pendamping hidupku.
[1] penurunan fungsional yang seringkali disebabkan oleh kelainan yang terjadi pada otak yang disebabkan oleh benturan keras pada kepala.
- TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H