Mohon tunggu...
Yusi Kurniati
Yusi Kurniati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penikmat sastra

Penulis novel Ayam Goreng Gadamala & Pria Berkacamata (2021), Pacar Dunia Maya (2016), Kumpulan cerpen Sepenggal Kisah (2016), dan kontributor dalam 45 antologi cerpen dan fiksimini. Alumnus S2 Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Doa Restu

21 September 2020   22:02 Diperbarui: 21 September 2020   22:36 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa pendidikan akan dimulai seminggu lagi, aku bingung harus kabur ke mana selama seminggu ini. Aku sudah terlanjur pergi meninggalkan rumah. Satu-satunya harapanku adalah Jaka. Aku menelepon Jaka dan menungguinya di depan etalase toko.

“Kamu ngapain sih pake acara kabur segala? Nekat bener ini bocah.” Jaka langsung mengomeli ketika melihatku. Aku nyengir kuda.

“Aku nginep di rumahmu ya Jak, masuk asramanya masih seminggu nih,” pintaku.

“Owalah, Kinan. Jarak rumah kita itu cuma sekilo, kamu malah kabur ke rumahku. Bukan kabur itu namanya,” ucap Jaka.

“Abis aku gak tau harus ke mana lagi, tolongin aku please,” pintaku memelas pada Jaka. Dan ia pun tak tahan melihatku yang terus memohon. Mungkin pula ia tak ingin sahabatnya ini menjadi gelandangan. Aku pun dibawanya ke rumah.

Ayah dan ibu Jaka sudah mengenalku sejak masih merah. Mendengar ceritaku, mereka pun mengizinkanku menginap sebelum masuk asrama. Meski mereka tak henti-hentinya menasihatiku.

Seminggu kemudian aku pun masuk asrama dan akan mulai menjalani pendidikan sebagai kowad. Tak ada bapak mau pun ibu mengantarku. Terang saja, beliau sudah terlalu murka karena keputusanku yang seenak hati itu. Tapi aku tak kecewa karena aku ditemani oleh Jaka dan ibunya yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Atau bahkan aku lebih dekat dengan ibu Jaka daripada dengan ibu kandungku. Karena kesibukan ibuku sebagai penari, aku sering dititipkan dengan ibu Jaka. Oleh sebab itu aku sudah menganggap beliau sebagai ibuku sendiri.

“Hati-hati ya kamu, Kinan. Kirimi kami kabar kalau bisa, jaga kesehatanmu. Ibu pasti bakal rindu kamu,” ucap ibu Jaka dengan mata berkaca-kaca seolah berat melepas anak tetangga yang sudah dianggapnya sebagai putrinya sendiri itu.

“Iya, Bu. Kinan nanti bakal kasi kabar kok. Ibu sehat-sehat terus ya,” ucapku sembari memeluk beliau. Dalam lubuk hatiku sesungguhnya menginginkan bapak dan ibu kandungku ada di sini melepasku dengan doa. Tapi, ya sudahlah.

Jaka melepasku dengan menangis tersedu-sedu. Perasaan pria itu memang halus dan gampang terharu.

“Ngapain nangisnya gini banget sih, Jak? Aku mau pendidikan Jaka, bukan mau dikirim perang ke Libanon,” ucapku kesal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun