Sepanjang hari aku habiskan dengan Mas Bagas. Dia menjemputku ke sekolah, menemaniku latihan tembak, dan mengajakku jalan-jalan keliling kota. Kami bahkan makan jajanan masa kecil kami bersama. Hari itu aku sangat bahagia bisa menghabiskan waktu dengan kakak kesayanganku itu. Namun, aku tak tahu bahwa hari itu adalah hari terakhirku bersamannya.
Langit sore itu tak lagi biru, bagiku ia kelabu. Hujan seakan datang di hari terang. Aku baru saja pulang dari latihan menembak ketika kulihat sebuah mobil jenazah di depan rumahku. Ragu-ragu aku memasuki rumah. Terdengar isak tangis wanita yang suaranya sangat kukenal. Itu suara ibu. Aku masuk perlahan. Tito dan Tian, kakak kembarku menyambutku di pintu masuk sembari memelukku.
“Ada apa, Mas?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Mas Bagas ,Dek,” ucap Mas Tian sembari terisak.
“Mas Bagas kenapa?” tanyaku lagi berusaha untuk mengerti ucapannya.
“Mas Bagas udah gak ada, Dek,” lanjut Mas Tito. Aku tak sanggup lagi berdiri. Lututku lemas, aku terduduk. Mas Tian dan Mas Tito memapahku ke dalam. Di ruang tengah kulihat Mas Bagas dalam kondisi tak bernyawa. Bapak dan ibu duduk di sampingnya sambil menangis. Aku serasa tak lagi berpijak di bumi. Kehilangan kakak sulung yang sangat aku sayangi memberikan pukulan terbesar dalam hidupku. Aku tak menyangka dia akan pergi secepat itu.
Aku menatap nanar tubuh Mas Bagas yang dimasukkan ke liang lahat. Mas Bagas dimakamkan secara militer. Kepergian Mas Bagas untuk selama-lamanya seakan membuatku kehilangan separuh dari hidupku. Aku bahkan tak masuk sekolah selama tiga hari dan hanya mengurung diri di kamar sembari menatap album foto. Aku memandangi foto Mas Bagas sambil terus menangis. Tak dapat kuhentikan air mata yang terus mengalir deras tanpa dapat dibendung. Aku belum bisa merelakan kakak yang selama ini selalu menjadi penyemangatku. Aku bagai kursi yang kehilangan satu kaki: timpang, tak seimbang.
Bapak mengetuk pintu kamarku, beliau mengatakan bahwa surat yang ditulis Mas Bagas sudah sampai. Sebelum ditugaskan ke Poso, mereka memang diminta menuliskan surat untuk keluarga dan orang tercinta. Hal ini dilakukan jika hal terburuk terjadi pada mereka, seperti yang terjadi pada Mas Bagas. Aku melihat amplop putih di tangan bapak. Perlahan, bapak membuka amplop itu dan membacanya dengan mata berkaca-kaca. Isinya hanya ucapan terima kasih kepada bapak dan ibu serta adik-adik yang telah mendukungnya selama ini. Mas Bagas juga meminta maaf atas semua salah yang dilakukannya. Mas Bagas juga meminta Mas Tito dan Tian menjaga bapak, ibu, dan juga aku. Air mata kami sekeluarga mengalir dengan deras membaca surat itu. Meski begitu, kami yakin bahwa Mas Bagas pergi dengan tenang.
Hari ini hari pertamaku kembali ke sekolah setelah mengurung diri akibat kepergian Mas Bagas. Jaka menemaniku dan menghiburku.
“Jangan sedih lagi dong Kinan, aku yakin kok Mas Bagas gak mau kamu sedih terus begini,” hiburnya. Aku berusaha tersenyum, senyum yang dipaksakan. Ketika jam pulang sekolah tiba, Jaka mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin bertemu denganku di gerbang sekolah. Aku menghampiri pria tinggi tegap dengan seragam tentara itu.
“Kinanti?” tanyanya. Aku mengangguk.