Mohon tunggu...
Puji Darmanto
Puji Darmanto Mohon Tunggu... -

SAYS AND UP !!!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sute Senja

23 Juni 2015   16:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:39 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Paginya hilang entah, tertelan bumi pertiwi nan raya. Langitnya kini pun tak seperti langitnya dulu. Selalu tertutup oleh tebalnya embun walau kemarau. Satunya adalah dua baginya. Tak tahu kenapa kini mereka terpecah dan terlanjur sudah. Nasinya tak hanya menjadi bubur,tapi membaur lah dengan tanah. Semuanya tercecer, begitupun harga diri keduanya. Senjanya hanya fana, karena mereka tiada daya. Apalah itu daya mereka, ya hanya ini dan itu saja. Ibarat hidup, hanya seujung kuku, secahaya lilin dan sehelai benang. Bukannya mereka sekarat karena menua, lha wong nuraninya saja balita. Konyol memang,di usia nya yang memuncak uzur tapi polahnya menyedihkan. Begitulah kisah mereka, sepasang dara tanpa sayap dan tanpa muka. Dan hendak tertutup lah semua itu oleh ketegaran, keikhlasan dan ketabahan sukma semata.

Nampak di ujung belahan pertiwi, gubuk itu semakin sepi, tertampar angin sawah sepoi-sepoi. Terihat, daun gugur melangkah ke seberang jalan yang nampak gersang. Ribuan debu menyerbu jalanan.Tak tahu apa sebabnya, rumah itu terasa panas saja. Burung untuk berkicau pun enggan, mungkinkah orang seberang pagar mau datang. Di gubuk itu, hiduplah pasangan suami istri yang kurang. Surti dan Tejo juluknya. Hari ini rupanya telah termakan oleh hari-hari, sama saja seperti Tejo yang termakan oleh bininya. Mulut Surti memang lebih doyan membara dari pada padam. Tersimpan api-api dari tungku perapian yang tertelan di lubang kerongkongannya. Belum sempat melongokan matanya lebar-lebar, suara Surti mulai menyerang gendang-gendang, memekik ke liang-liang, dan menidurkan syahdunya alam pedesaan.

“ Tejo…bangun kau ! Bukannya cari gabah sana, malah enak-enakan kau menidurinya. Kalau aku jadi dia, iihh…mana sudi, belum puas kah kau membasahinya ?” sentak Surti siang bolong.

Seakan menelan karang tajam, Tejo pun lekas berayun ke pancuran. Ia hempaskanlah bantal guling kesayangannya itu. Kumal, bau, dan penuh pulau-pulau buah bunga tidurnya. Entah karena apa akhir-akhir ini mulut Surti memang begitu pedas, rawit pun tiada banding dengannya. Untunglah, Tejo tak bernafsu tuk meladeninya. Dan bila iya, mungkin…jago merah akan mematuk-matuk gubuk itu lampau hari. Sedekade sudah mereka berdua menikah, tapi malang anak seorang tiada yang menjelang.

Dari seberang pagar,raut Surti Tejo pun tampak bosan dari dalam sangkar, yang dilihat lagi-lagi mereka, bisik-bisiknya pun kian terdengar lantang. Tak tahu pula apa saja yang telah mereka dengar. Entah, hanya dari desisan anginlah mereka mendengar. Nafas mereka kian terdengar kembang kempis, menerpa celah dinding bambu yang gosong akibat perapian.

“Jo , kamu dengar tidak ?” Tanya Surti lirih.

“Dengar apa Sur ?” sahut Tejo mengusap mukanya yang gosong.

“Itu lo Jo, mereka apa nggak capek ya ngomongin kita terus ?”sahut Surti sinis.

“Sudahlah Sur,” ucap Tejo enggan.

“Kamu itu suami macam apa sih Jo ? Gak ada dukung-dukungnya ke bini”, umpat Surti.

“Bukannya gitu lo Sur , janganlah kita itu membesar-besarkan masalah yang tak tentu benar, mereka kan cuma bisa gosip aja. Toh yang tahu aslinya kan kita”, pembelaan dari Tejo.

“Dasar kamu ini, maunya ditindas melulu. Makanya kalau jadi kepala keluarga itu yang tegas,” ucap Surti seraya mendorong Tejo.

Nguping ditutup secara simbolik, ya itu… apalagi kalau tidak adu mulut. Mata langit pun kian memuncak, menggeser langit yang kegerahan. Si tukang sayur dan kumpulan mulut-mulut itu mulai beranjak dari konspirasinya. Tadinya, tak perduli perut para lakinya kering, namun sidang palsu sering-sering ialah yang terpenting bagi mereka.

Esoknya, Tejo bangun amat merapat. Sampai sang dewi malam pun belum lengser dari singgasananya. Bayu fajar pun masih berlaku kejam. Yang selalu menusuki Tejo sampai ke tulang-tulang. Sebenarnya Tejo hendak meronta, namun harus pada siapa, sedang hanya suara pejantan yang terdengar. Memang masih begitu gelap, semburat langit tiada kontak. Bejonya, kepala-kepala obor itu masih mau membahu. Terlihat, riak-riak tanah menyapa, menuntun kaki kecil Tejo yang keriput. Benar, dewasa Tejo kini mulai hilang. Matanya kini mulai rabun, mengiringi uban-uban rontok yang menggerogoti kepalanya. Kepala Tejo kini makin bulat, licin, dan terasa aneh versi Surti. Ahh..tak terasa hari kian terik, membakar ubun-ubun sampai ke dalam. Lucunya, mengapa daun-daun itu tetap bersulang riang. Apa mungkin, ia sedang menertawakan Tejo yang bersimbah peluh ? Siapa juga yang perduli. Tapak demi setapak Tejo menginjaki jalanan hutan kering kerontang, mengumpulkan gabah dari duit kayu perapian. Namun, belum sebongkok penuh ia mengais, bulu kuduknya telah tegak menantang. Aneh katanya, suara misterius itu semakin lama kian terdengar. Bulu kuduknya kini begitu meninggi. Kepalanya menengok-nengok, entah ke belakang atau ke semak suram. Hati Tejo kenapa begitu gundah-gulana. Dalam hatinya, hari itu terasa tak biasa, tapi ia tetap besarkan hatinya, demi sesuap nasi dan penghidupan dua nyawanya.

Pikirannya semakin aneh-aneh,” Si Mbah jangan marah ya? Pait, pait, pait….!” ucap Tejo keseringan pada pohon-pohon besar. Rupanya, Tejo tak mau mati konyol di hutan itu. Namun rasa penasarannya tak bisa terkalahkan. Hutan yang suram tak jadi penghalang. Akhirnya Tejo melangkahkan kakinya ke suara seram. Patahan demi patahan ranting itu selalu menyelimuti nyali kecilnya yang kian ciut.

“Astagafirulah…!” teriak Tejo sekeras-kerasnya.

Bukan apa-apa, lucunya, hanya buah mahoni kering yang menduduki bahunya. Dada Tejo kian berdegup kencang, nyalinya terbang entah kemana , tertiup oleh pusaran bayu. Lagi-lagi, Tejo menghela napasnya panjang-panjang. Dan ia mulai lagi.

Batin Tejo kian pasti,”mungkinkah suara itu datang dari semak yang itu ? Iya,” umpan balik pada dirinya sendiri. Serpihan demi serpihan ia mulai kumpulkan, ya hati ciutnya tadi. Dan kini dengan hati yang separuh utuh, ia membuka semak yang rimbun itu dengan pelannya. Namun apa yang terjadi, Tejo malah tergerus kejengkelan. Ternganga… Tak ada apa-apa, nyawa Tejo kembali.

“Alhamdulillah, slamet, slamet, slamet..”, katanya sambil menyetel jantungnya. Bukan kepalang, tiba-tiba Tejo segera berbalik dan terbirit. Berapa banyak duit yang telah ia kumpulkan, siapa yang perduli. Pokoknya harus pulang,jiwa pengecut itu mulai muncul satu demi satu semenjak suara aneh itu terdengar lagi di telinganya.”Stt..sstt..ssstt”,suara itu jelas datang dari arah belakang bersamaan dengan hentak kaki kecil yang mengikutinya.Tejo serasa terus diawasi oleh seseorang. Dicopotnya lagi hati dan jantung yang telah susah-susah ia pasang.

Sesekali ia menengok kebelakang dan menelan ludahnya, “halo… adakah orang disini ?”. Tapi tidak mungkin pikirnya, di hutan yang selebat ini apakah ada yang berani menempatinya. Kalau gak binatang buas,kan ya gondoruwo dan teman-temannya saja. Tejo bergumam terus menerus untuk menghilangkan rasa takutnya. Tapi jalanya kian dipercepat, suara tapak dari kaki lain kian mematahkan keheningan hutan. Tejo berhenti lagi, hujan mulai menyambut dengan tenang. Perjalanan Tejo pun terhenti sejenak. Ia berteduh pada rimbunnya pepohonan. Hujan pun kian deras mendera. Hari itu terlihat gelap, segelap hati Tejo saat itu. Langit murung, dan kilat tertawa keras menggelegar seakan mengejek Tejo yang menggigil kedinginan. Bibirnya biru naik turun, kulitnya tambah keriput saja, tersapu kabut yang kian tebal. Mata Tejo yang rabun tak bisa melihat dengan jelas saat itu.

“Haduh.. mata tua ini lagi, apa yang sekarang bisa aku perbuat?”, keluhnya memuncak. Lalu dia diam lagi. Ia terheran, kenapa hujan tak kunjung reda, langit tak kunjung cerah, dan hatinya tak kunjung senang. Sekali lagi rasa was-was. Kenapa juga ia tak bosan dengan pikirnya itu. Padahal tadi ia sedikit melupakannya. Entah apalah itu ? Bayang-bayang fajar seakan datang, padahal waktu itu mulai menunjukan kesorean.

Redalah hujan, seabad dinanti-nanti akhirnya datanglah juga. Langit kembali tersenyum kegirangan. “Waktunya pulang…!” suara Tejo melengking kekanak-kanakan. Semburat langit terlihat jelas. Kabut seakan hilang, terbawa hilangnya hujan. Bau tanah , bau bangkai, dan semuanya jadi bau. Hujan membahui segala bau yang ada di hutan. Binatang kecil mulai merayapi tanah kebasahan, meramaikan suasana yang tak ada ramai-ramainya. Perjalanan Tejo masih panjang, hutan lembo ini memang sangat luas. Banyak bukit, jalanan setapak dan jurang-jurang. Perlu waktu setengah abad untuk Tejo menyusuri jalanan tersebut. Kaki Tejo kan rapuh, butuh waktu lama untuk perjalanan yang sejangkah saja. Sembari pulang Tejo mengais rezeki lagi, dari ranting-ranting yang jatuh sehabis hujan. “Alhamdulilah… gabah-gabah”, ucap Tejo mengucapkan kegembiraanya. Berbongkok-bongkok sudah ranting yang Tejo kumpulkan. Lesung pipi keriputnya menyambut berbarengan dengan hatinya yang sumringah. Tak perduli basah ataupun tanah yang berlumpur, Tejo tetap semangat menyongsong langkah kakinya. Setengah hutan sudah ia jalan, langkah kakinya yang renta kini sudah mencapai hutan lombe. Memang tak seperti biasanya, Tejo mencari kayu sampai ke hutan seberang, padahal sedanglah banyak konflik disana. Tejo tak memperdulikannya, demi sesuap nasi ia memberanikan diri. Lagi pula, hutan lombe kini mulai gundul, tergerus tangan tangan jahil yang tak bertanggung jawab. Terus, kalau tidak ke hutan lembo mau mencari kemana lagi. Hanya disanalah banyak kayu kering berjatuhan.

Terdengar, desas desus dari desa seberang. Sejak adanya tragedi pemusnahan etnis Lelembo secara misterius oleh kaum kanibal Ku-uya, banyak anak- anak yang terlantar dan sengaja menelantar. Mereka yang menelantar berusaha mencari suaka yang lebih aman dari para kaum Ku-uya tersebut. Teganya, memangnya salah mereka apa. Padahal, mereka terkenal sangat baik di etnis lain. Lagi-lagi Tejo bergumam dalam hatinya. Tak tahu juga, akhir-akhir ini apakah Tejo yang selalu pikirkan. Tak jelas, ada ujung namun tiada pangkalnya. Lalu ia melanjutkan lagi jalanya sembari membabat semak-semak yang menghalangi jalanya.

Sampailah juga di perbatasan akhir. Keluar dari tugu besar itu Tejo sudah masuk ke desanya yang terang. Tejo menghela napas panjang. Rasa takutnya sirna sudah. “Tapi kok ada yang aneh ya?” ucap Tejo keheranan. “Jalanku kok jadi berat, apalagi yang kudengar ini, apakah telingaku yang salah?”, gumamnya dalam hati. Dasarannya memang tua bangka, apa-apa yang ia salahkan adalah, kalau tidak umur ya fisik. Selalu saja begitu,namun di lain sisi, ia seakan terbela dengan kelemahannya itu. Padahal kan tiada yang salah dengan keduanya. Kalau bisa mengumpat, mungkin dari jauh hari lah sudah mereka lakukan, si indera. Tak ada rasa terima kasihnya. Dan lucunya, biarpun sudah tua Tejo seakan tak terbawa dengan raga dan usianya. Jiwanya malah semakin kekanak-kanakkan. Apalagi, tempo hari tanpa berpikir panjang ia mau beristri lagi. Dan dengan congkaknya ia berkata,”aku kan masih kuat, nih liat mata dan pendengaranku masih jelas, penglihatanku tak lemah apalagi anuku… tambah tua tambah jadi lah”, tuturnya pada Kinah, seorang janda kembang yang ia idamkan. Itulah mungkin yang menyebabkan Surti mulai jengkel dengan kelakuan suaminya itu. Kadang-kadang ia harmonis, dan kadang pula begitulah. Darah mudanya kembali lagi tak jelas, atau labil lah sebutnya. Tak sabar, kurang ajar, tapi tetap saja seorang penakut. Takut dengan siapa ? Siapa lagi kalau bukan dengan Surti.

Alkisah, dulu mereka sungguh harmonis, kemana-mana berdua. Kisah cintanya pun dijadikan rujukan oleh orang-orang desa, apalagi para pemudanya. Surti , si gadis desa yang menjadi primadona dan Tejo pemuda nan gagah dan tampan. Ibarat kisah, Rama dan Shinta lah mereka. Tapi apa daya, kini semua itu hilang sudah. Layaknya pasutri lain, banyak bumbu-bumbu rumah tangga yang mewarnai kuah mereka. Apalagi, kini mereka belum memiliki momongan. Lengkap suah permasalahan mereka. Setiap harinya mereka lontang-lantung berdua, tak jelas. Berbagai gunjingan dan ejekan sudah biasa mereka makan dan telan, lalu meraka buanglah jauh-jauh.

Hubungan meraka semakin panas disaat ibu kandung Tejo masih hidup pada waktu itu. Entah bagaimana perasaan Surti saat itu, campur aduk dan geram pasti. Secara terang-terangan, ia mendapatkan penolakan dari mertuanya itu. Murah, sebuah nama yang tak akan pernah ia lupakan. Sesosok gadis cantik, matang dan keibu-ibuan sekali. Teman sepermainan Tejo ini, dengan terang terangan ingin dijodohkan oleh mertua Surti dengan anak kesayanganya, Tejo. Padahal, waktu itu Surti masih berstatus istri sah Tejo. Sebagai seorang wanita, Surti bisa apa selain menangis dan meronta. Ia sadar, bahwa ia sampai detik itu ia belom bisa memberikan seorang cucu bagi Poniem, mertuanya. Terjadilah perseteruan hebat antara mertuanya itu dengan Surti. Dan apa yang bisa Tejo perbuat, ya cuma garuk-garuk dan menganggukan kepala. Telan saja itu simalakama, membela istri takut durhaka, membela ibu sendiri, memihaklah kamu pada pihak yang salah. Sejak saat itulah, hubungan antara Surti dan mertuanya seakan hilang tak berbekas. Saat itu Murah, dengan polosnya dia menyembah ampun kepada Surti yang sedang panas-panasnya. Tak tahukah ia saat itu dengan siapa berbicara. Perbuatannya ini sama saja dengan menggarami luka yang dibuatnya sendiri.

Angin panas sadis membelai. Padahal telah datang menyerang. Hujan yang tadi tiada arti, masih panas jua. Tejo menaikan bongkokannya yang agak jatuh. “Ahh.. beratnya kayu ini, gak ada orang juga disini. Apa yang harus aku lakukan ?” tanya Tejo sambil bergumam. Tejo meneruskan perjalanannya. Tak tahu kenapa, kayu yang dibawanya menjadi kian berat. Dalam hatinya, “mungkinkah ada hantu yang menggantung di kayuku ?” Tejo menengok ke belakang sering-sering, tak lupa ia pun memeriksa kayu yang dibawanya. Dilihatnya pelan-pelan, tapi tetaplah tidak ada. Dia jalan lagi. “Loh kok tetap berat sih, apa cara menali kayuku ini yang salah ?” ia bergumam lagi. Dinaikkan lah kayunya berulang-ulang. Ia tali kembali erat-erat. Ia jalan lagi, dan beratnya jadi tambah biasa. “ Apa sih sebenarnya ini ?” tanya Tejo kesal pada dirinya sendiri. Karena kesal, ia jatuhkan keras-keras bongkokan kayu yang ia bawa. Bruk… bonggkokan kayu itu menghantam keras tanah di depannya. Tak disangka, ada suara lain yang menyertai jatuhnya bongkokan kayu itu. “Aauuu…”, suara kecil itu datang dari bawah tumpukan kayu yang ia jatuhkan. Karena ia penasaran, dibongkarlah tumpukan kayunya itu. Dengan terkejut, Tejo mencolot ke kejauhan. Dimulailah interaksi antara mereka yang masih terbata-bata.

“Siapa namamu ?” tanya Tejo.

“Sa…sa…ya Sute,” jawab anak itu kaku.

Ternyata, tumpukan kayu tadi menelan seorang gadis malang.Tatapanya penuh dengan kesedihan , menelan ludah kering, dan rautnya yang gersang. Walau parasnya tak karuan, hingga Tejo tak kuasa memandang. Nampaknya dia adalah gadis kecil korban dari kejahatan kaum kanibal Ku-uya. Yang lama sudah ia menggantung pada bongkokan kayu yang dibawa oleh Tejo. Dan lama sudah ia mengikuti Tejo dari jauh-jauh hari. Tapi ia tak berani jauh-jauh. Ia masih ragu dengan orang-orang yang baru ia kenali. Namun, setelah ia mengamati gerak-gerik Tejo lampau hari, ia bisa menilai bagaimana Tejo seharusnya. Dari watak aslinya hanya hatinya yang tulus yang tepancar. Jauh dari padang limbo ia datang. Membawa kabar yang memungkinkan dari perawannya alam. Dan pada akhirnya, tabir kehidupan meraka baru dimulai. Pembicaraan mereka kian kemana-mana. Tak jelas, suara mereka tertimbun debu yang menebal walau di ujung senja. Tapi, yang jelas, Sute tanpa asuh, dan Tejo tanpa asuhan. Abi dan Uminya telah hilang entah kemana. Terseret kawanan kaum tak jelas itu. Dan benar, sekali lagi ia adalah korban. Tejo merasa iba dengan nasib si Sute yang malang. Namun, sebenarnya dari situ tibalah kebahagiaan bagi Tejo. Sute akhirnya ikut dengan Tejo, meski batinnya masih dolak-dalik. Melangkah mereka ke Surti secara bersama-sama. Entah apa yang akan Surti perbuat, haruskah mereka bertanya pada ilalang yang bergoyang. Sedangkan, yang akan mereka tanayai itu sendiri tiada yang tahu.

Hari nampak kian muram, melihat wajah Surti yang lagi-lagi suram. Jam dinding itupun terus berdegub, menyaksikan Surti dengan kebosanannya. Hampir sebadan hari Surti menanti, tapi kenapa ia tak lekas pulang. Kruyuk…kruyuk..kruyuk…cacing-cacing perutnya demonstrasi. Tapi ia lagi-lagi tak perduli.

“Mana sih Tejo ?” gumam Surti kesal.

Gabah di rumah memang telah habis, tapi hati Surti lebih habis. Bosan. Pandangannya beralih ke ujung jalan. Hanya tampak samar-samar, harinya bertambah gelap, kerikil terbang-terbang di jalan pun tiada yang menyadari. Lebih jauh, ia menyusuri jalanan, nampak dua orang datang dari lereng rerumputan. Tejo dan anak itu. Langkahnya semakin dekat, menyusul mentari yang tertelan pertiwi.

“Sur…Sur…Surti, itu Surti Gembul kan ?” panggil Tejo seraya mengejek perut Surti yang bergelambir tebal-tebal.

Surti tampak dingin, dia hanya berdiri dengan tatapan yang berapi-api.

“Nggak bisa manggil baik-baik ya ?” sindir Surti dengan penuh tanya.

Tak ada rasa bersalah pun pada diri seorang Tejo, ia ternyata telah terbiasa dengan kelakuan Surti yang meledak-ledak itu.

“Assalamu’alaikum Sur…!” saut Tejo menjawab permintaan Surti.

“Wa”alaikumsalam,” jawab Surti ketus.

Mereka bertiga berduyun-duyun pulang, membawa si Sute yang tertelan senja. Wajahnya tak nampak, membaur gelap dengan datangnya malam. Tak ada lagi tanya atau saling omong antara mereka setelah itu. Meraka sadar, itu masih di jalanan. Kalau Surti kepalang jadi disitu, habislah esok hari mereka dengan gunjingan. Sampailah mereka di pelataran rumah. Surti pun naik ke teras dengan raut muka terbungkus empedu ayam, pahit. Lama sekali Surti berdiri di teras, sedang Tejo dan Sute hanya sampai di pelataran. Tak ada kata silahkan masuk atau apapun. Hanya saling diam dan bisu. Saat itu, Tejo dan Sute layaknya gelandangan, yang mengharap sesuap nasi dari sang empunya istana. Si Sute, tubuhnya mulai menggigil keras, giginya terkikis oleh keratan gigi-gigi. Tak heran, sepanjang malam ia terbiasa di hutan dengan hanya termangu di depan perapian. Hirup dan menghela napas yang akan terus mereka lakukan, sedang hari itu kian mati. Kaki-kaki obor di seberang pagar telah banyak tertanam, tapi di situ terkesan tetap mati. Hanya obor dalam hati Surti yang terus tersulut emosi. Entah apa yang ia lakukan, tapi angin menusuk lagi. Apa ia tak punya muka, tak punya budi, sopan ataupun santun. Ahh.. nampaknya hari telah begitu lelah. Memanggul beban hidup anak Adam sampai sirna.

“Mana gabahnya ?” ucap Surti menatap tajam ke arah Tejo yang hanya membopong berbongkok kayu di pinggangnya. Tejo tahu, Surti pasti akan menggojloknya hari itu, namun tak tega rasanya bila anak-anak terlibat dalam hal ini. Apalagi, perkataan Surti menjadi kian kasar. Maka berkata-katalah ia pada anak barunya itu.

“Te…kamu masuk dulu ya, terus kamu basuh dulu badanmu di pancuran sana ! “suruh Tejo.

“Baik pak…,” sahut Sute lembut.

Si anak hutan itu langsung menyeret tubuhnya yang rapuh itu ke dalam gubuk. Adu mulut pun dimulai, Surti sudah tak tahan dengan kelakuan Tejo. Nafasnya berapi-api, membakar ranting-ranting kering dan bahkan bulu hidungnya sendiri. Hari itu, hati Surti telah banyak dijejali dengan emosi. Entah dari gunjingan tetangganya atau dari masa lalunya yang penuh dengan ketidak jelasan.Tak sadar, setan-setan di sekitarnya berpesta pora, merayakan kemenangan diri atas murka si Surti. Sudah tak perduli siang ataupun malam, tetangga ada atau tiada. Namun urusan hati sangatlah prioritas. Dan murkalah ia segunung gunung.

“Jo…siapa anak itu ?” tanya Surti kasar.

Belum sempat memberikan penjelasan apapun,Surti malah uring-uringan.

“Dia anak siapa Jo…jawab Jo ! Atau jangan-jangan, dia anak hasil perselingkuhanmu ya…?” tanya Surti membentak-bentak.” Iya, dia pasti anakmu dari si Murah itu ya, pantaslah kalau begitu, dia memang semurah namanya”, terka Surti menguak luka lamanya.

“Hustt.. jangan sembarangan berucap kamu ! Selingkuh-selingkuh, memangnya siapa yang selingkuh, nanti kalau tetangga mendengar, bisa habislah nama kita”, bela Tejo meninggi.

“Biar…biarlah tetangga pada tahu, kalau perlu aku nanti akan bilang di pos kampling, biar semua warga kampung sini mengetahui kelakuanmu itu”, kata Surti.

“Apa-apaan kamu ini Sur..Sur, mbok dewasa sedikitlah kamu. Punya otak itu mbok ya dipakai mikir, jangan disimpan saja dalam bakul, dia itu anak kita Sur ?”, ucap Tejo menasehati.

“Apa….Jo ? Anak kita, hahaha… otak mu itu diamana to Jo…Jo ? Anak kita dari Hongkong ? Aku belum pernah hamil Jo, lagi pula aku ini mandul , mandul Jo… !”, Surti tertawa ditengah perbincangan hebatnya sembari meneteskan air mata.

“Begini Sur, aku bermaksud mengangkat dia menjadi anak kita, bagaimana ?”, balas Tejo sambil mengulurkan tangan untuk mengusap air mata Surti.

“Mengangkat anak…?” tanya Surti dengan nada meninggi dan menampik uluran tangan Tejo.

“Ya sudah, angkat saja anak itu tinggi-tinggi sana ! Tak sudi aku”, sahut Surti kejengkelan.

“Lagi pula siapa dia, anak rimba tak jelas asal usulnya, buluk, kumel, macam anak genderuwo saja”, tambah Surti meluapkan rasa kecewanya.

Rupannya Surti tak terima dengan keputusan yang diambil suaminya. Ia merasa direndahkan, karena ia tak sanggup memberinya momongan. Apalagi tak ada kesepakatan atau rencana sebelumnya dari mereka untuk mengangkat seorang anak. Tanpa berfikir panjang dan satu kata pun terucap lagi dari mulut Surti. Setelah itu ia langsung meninggalkan bayang-bayangnya menuju kamar.

Tak terasa bagi Sute, pagi menjelang lagi. Rembulan yang menawan , hilang tertelan siang. Burung-burung malam seakan pergi tersapu mimpi. Hari ini nampak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Jendela, udara masuk begitu sejuk. Pelataran tersapu bersih, cobek,dan pikirnya memang lumayan bersih. Tadi malam terasa amat panjang.langitnya menjadi ijuk, menutup bintang bertebaran. Rumput yang mulanya menggelitik, lenyap menjadi himpitan bamboo memijat. Rupanya ia terasa di awan, melayang tanpa batas, menyapu luasnya awang-awang. Di lain dinding, Tejo baru terbangun dari bambunya.

“Amboy…!” ucap Tejo terkaget kaget.

“Apa lagi sih Jo ? Pagi-pagi sudah ganggu orang saja,” sambung Surti dari dinding lain.

“Rajin benar kau Surti, pagi-pagi sudah kerja rodi seperti ini,”sindir Tejo sambil senyum-senyum.

“Maksud kamu apa sih Jo…? Aku semakin tak mengerti dengan apa yang kamu omongkan,” ujar Surti.

Mereka berdua tak paham, rupanya anak pungut itulah yang berulah. Hingga saat itu, mereka berdua hanya saling tanya. Tejo lagi-lagi tak mau adu mulut berkepanjangan dengan Surti. Hanya dengan acungan tangan, ia menunjuk ke pelataran, lantai-lantai, dan kayu-kayu kering yang tertata rapi. Melihat Surti, malah Tejo kebablasan takut. Sepertinya Surti memang tipe-tipe orang yang gampang marah, dikit-dikit cemberut, dikit-dikit muram, hingga auranya tak terpancar sedikit pun. Dulu itulah yang membuat Tejo pertama kali kesengsem kepada Surti. Sifatnya yang manja, menggemaskan dan malu-malu. Sehingga, Tejo tak bosan-bosannya menggoda Surti. Tapi semenjak menikah, apa yang telah Tejo bayangkan sebelumnya tak seperti ekspektasinya saat itu. Lagi-lagi Tejo berusaha mengalihkan pembicaraan mereka.

Di emperan, Surti dan Tejo mulai berinteraksi lagi. Entah apa yang ada di benak Tejo. Tapi dialah yang memulai pembicaraannya. Rupanya ia coba untuk memecahkan suasana yang ada di gubuk itu.

“Bau apa ya ini Sur ?” ujar Tejo.

“Entah…,” jawab Surti singkat.

“Sikapmu kok semakin berubah Sur, kau tak seperti yang ku kenal dulu,” gumam mulut Tejo lirih tanpa sadar.

Tak ada jawaban, entah Surti memang tak mendengar atau dia memang pura-pura tidak mendengar. Tejo mulai bicara lagi

“Oh iya Sur, bagaimana kondisi Sute sekarang, apa dia sudah mendingan ?,” ujar Tejo.

“Tahulah, kamu urus saja anakmu yang tak jelas itu ?”, jawab Surti acuh.

Tejo menyahut lagi, tapi tak melanjutkan konteks yang dibahas oleh Surti. Rupanya Tejo tahu kalau Surti hanya memancing-mancing amarahnya saja.

” Dari semalam aku belum tahu kondisinya, apakah iya ia bisa betah tinggal disini ya Sur ?”.

“Kenapa juga kamu tanyanya ke aku to Jo… tanya saja ke anak mu langsung sana”, sahut Surti.

“Aku gak tahu dimana dia sekarang, dikamar tidak ada, dipelataran tak lihat juga tidak ada. Kira-kira dia main dimana ya Sur ?”, tanya Tejo pelan.

“Dia lagi, dia lagi. Kenapa sih terus dia yang kamu perhatikan ?” sambung Surti. Tejo semakin jadi serba salah dimata Surti, apalagi semenjak hadirnya Sute. Saat Tejo menuruti apa yang Surti katakan, tetap saja dinilai salah. Saat ia tak menghiraukan Surti apalagi. Ibarat bahasa kerennya woman is always right. Begitulah nampaknya Tejo sekarang.

“Bukannya gitu Sur, dia kan masih baru disini. Apalagi dia belum mengenal betul rumah kita ini”, bela Tejo menyambung apa yang disangkal oelh Surti tadi.

“Halaah… itu mah alasanmu saja Jo..Jo.., dia punya mata dan kaki kan ? Ya sudah, tinggal jalan ke belakang, rampung sudah pemahamannya tentang rumah kita ini. Rumah lo ya cuma secuil, apa lagi sih susahnya ?” tambah Surti panjang lebar.

“Kamu lo Sur, sama anak sendiri kejamnya minta ampun, kok gak ada perduli-perdulinya”, sahut Tejo agak jengkel.

“Sudahlah Jo, biarkan anak sialan itu keliaran seperti habitat aslinya sana. Lagi pula dia kan cuma anak pungut saja”, sindir Surti bukan main.

“Ti…,” jawab Tejo belum kelar, tapi sudah di hujam oleh perkataan dari Surti.

“Ahh… Sekarang lihat aku Jo, aku ini istrimu..istrimu Jo, kenapa kau tak ada sedikit-sedikitnya memperdulikan aku?” ujar Surti meninggi.

“Kenapa sih kamu benci sekali dengan Sute sih Sur ? Ingat Sur, dia itu anak kita,” jelas Tejo meruncingkan pembicaraan.

“Anak… ngaca dulu deh Jo, kita itu hidup sudah susah, pakai ngangkat anak segala. Mending itu anak kita…dia itu anak nggak jelas Jo !” Surti berupaya merangkai kata-kata untuk pembelaannya.

            Debat kusir yang coba dihindari oleh Tejo rupanya malah benar-benar terjadi. Makin gerahlah suasana yang ada di rumah itu.

“Bukan begitu maksudku Sur. Materi bisa dicari tapi kalau anak ?” ujar Tejo pasti melanjutkan pembicaraannya.

“Ah… apapun katamu, aku tak perduli. Kamu tau Jo, dia itu hanya kerikil bagi kita Jo ! Dia itu cuma akan jadi batu sandungan bagi kita. Kerikil Jo, encamkan itu !” berontak Surti.

“Sebentar, maksudmu itu apa Sur, kerikil ?” Tejo balik tanya.

“Bagus benar pertanyaanmu, mau tau ?” ujar Surti sambil turun dari emperan.

Dan, cetak…. Sebongkah kerikil melayang tepat ke kepala Tejo.

“Auuuu…apa-apaan kau Sur ?” Tejo kesal.

“Ah…ah…ah… bagimana Jo,sekarang kamu tahu kan apa yang aku maksud kerikil ?” tawa Surti puas.

“Sakit Sur , emang gila ya kamu Sur,” jelas Tejo.

“Sakit…? Apa kamu tau Jo, hatiku lebih sakit dari itu,”sambung Surti , lalu pergi.

Di situ, Tejo hanya mengusap-usap kepalanya yang telah mengucur darah segar. Entah apa dan bagaimanapun penjelasan yang ia berikan pada Surti, itu tidak ada efeknya sama sekali. Ia akan tetap menganggap Sute sebagai kerkil senja yang tak ada gunanya. Tak akan pernah terlihat walau sebesar katak, dan tak akan pernah dilihatnya walau jelas didepan pelupuk matanya. Itulah Sute senja yang ada dengan dirinya sekarang. Yang ada hanya hitam, sehitam hati Surti pada Sute. Tertutup oleh kejamnya senja, di kampung yang menurutnya fana.

Hari-hari kian berlanjut, Tejo dengan cakapnya harus mencukupi ketiga nyawanya. Di rumah, hanya Sute seorang, sedang Surti telah hilang entah kemana.

“Sur…Surti…,dimana kau ? Lakimu mau bantingin tulang nih,” teriak Tejo. Tak ada sahut, mata Tejo terpaksa harus berjalan menyusuri rumah. Namun jejak Surti tak terendus juga. Dalam benak Tejo tak salah lagi, mungkin Surti pergi lagi ke pengaduannya. Iya, mungkin ia pergi ke seberang bantaran sana. Surti memang jarang ke gubuk Encing, tapi akhir-akhir ini begitu sering. Hemm.. pasti ia adu-adu lagi, pantas saja aku kemarin lagi-lagi kena sembur dari si Encing.

“Kenapa rasanya ia begitu betah ya ke Encing ?” gumam Tejo dalam hati. Sedang atapnya sendiri saja tak diurusnya. Atau jangan-jangan karena Sute. Lamunan Tejo kian lama kian pergi tersampar langkah kakinya meninggalkan gubuknya. Kini, semua orang telah tau siapa Sute. Anak gadis Surti-Tejo yang polos, baik dan selalu merendah dirinya. Dan kurang apa coba, tapi di mata Surti, ia tetaplah sebongkah kerikil. Dingin , hitam, dan keras.

Seminggu sudah Sute di situ, tapi sapa satu pun tiada. Sebegitu bencikah dia pada Sute. Padahal di mata Tejo, Sute ialah anugerah, tapi tetap tidak untuk Surti. Ia tetaplah sebuah musibah.Yang tak perlu dikasihani dan ingin dibuangnya jauh-jauh. Tak lama ,si bahan pergunjingan pulang. Sayang, lakinya telah separuh badan membanting tulang di hutan lembo.

“Jo.. aku pulang,” teriak Surti dengan perasaannya yang mereda.

Rupanya kali ini berhasil, dongkol si Surti telah diremukan oleh si Encing. Tak ada suara satupun dari mulut gubuk itu. Hanyalah tetesan air pancuran yang membisiki cerita bisu dari gubuk itu.

“Tejo pasti di sana,” Surti berlanjut ke pancuran.

Bukannya Tejo yang ia dapat, tapi malah pukulan senyuman yang melayang ke wajahnya.

“Oh kau rupanya Kil,” ucap Surti dengan muka datar.

“Iya mak,” jawab Sute dengan halus.

Hati Sute bagai merangkul jagat, karena si Surti mau berucap padanya. Barang hanya seucap, tapi bagi Sute itu bak hujan salju di tengah gurun. Tapi Sute tak sadar rasa rindunya akan terhempas ke jurang-jurang.

“Coba apa kamu bilang…emak ?” Surti meninggi.

“I…iya mak,” saut Sute.

“Hei…hei…hei.. kok enak betul kau panggilku emak ! Aku ini bukan emakmu, kau itu juga bukan siapa-siapaku. Jadi jangan harap kau bisa panggil aku ini emak ya, dasar kerikil,” ujar Surti.

“Bapak Tejo yang menyuruhku memanggilmu emak”, jawab Sute dengan polosnya.

“Dan kenapa emak memanggilku kerikil, apa maksud emak ?” tanya Sute sedih.

“Dengar ya, kau di sini itu tiada gunanya, kau itu hanya parasit…! Yang akan menggerogot habis keutuhan keluarga kami,” sindir Surti.

“Salah Sute apa mak?” sambung Sute.

“Salahmu… kau masih belum tahu apa salahmu ? Amboy…harus berapa kali lagi aku bilang…kau itu penggangu…peng…gang…gu,” bentak Surti sambil menoyol kepala Sute.

Tetes demi tetes air mata Sute mengalir, menggenangi lesung pipinya yang kering. Di lain sisi, tanpa perasaan bersalah sedikitpun, Surti meninggalkan anak itu basah kuyup dengan air mata.

Telah terasa, hari kian merasa terik, tapi hari ini lebih ia rasa terik. Tak tahu adab, mata lain menyorot tajam ke badan-badan. Entah apa yang ada di benaknya, atau mungkin ia kesal dengan tingkah emak anak-sialan yang satu itu. Tapi juga heran , kenapa harus dia yang disalahkan, apa tidak ada yang lain, apa ia patut untuk disalahkan. Kalau dipikir masak, ada dia, mereka tetap saja keluh kesah bukan main, tak ada dia , apalagi. Dilema, sang raja siang. Tetapi, ilalang di sana memang menuntut keadilan. Kian lama ia menari-nari karena telah terbakar. Bila ia punya mulut, pasti akan enggan mereka disulut. Dan, Surti pun tak mau tidur siangnya terganggu oleh mulut-mulut. Bicara nasib, tak dapat terelak itu telah ditentukan oleh Empunya pengukir tangan. Begitupun Sute, lihatlah tangannya. Garisnya telah terbaca oleh kesuraman. Dan itu tak harus dipercaya olehnya. Karena jaminan, Sang Maha Kuasa tak akan menebar rahasianya begitu saja ke seluruh penjuru pertiwi kita. Dan masih berlanjut.

“Tejo, disini kau rupanya,” sapa Surti.

Tatapan mata Tejo terasa dingin, Surti pun membalasnya sedemikian pula.

“Jo, kemana saja kau ini, pergi tak bilang-bilang, aku dari tadi telah sibuk mencari mu,” tambah Surti.

Beberapa kali Surti bertanya pada Tejo, tapi apa yang ia dapat,Tejo tetap diam. Surti pun tak mengerti, kenapa Tejo jadi seperti itu. Apa yang sebenarnya terjadi pada hidup Tejo.

“Kesambet apa ini Tejoku, apa mungkin ini karena aku ?” tanya Surti dalam hati.

Kali itu sungguh beda, Tejo terlihat agak tampan, tetap dengan balutan kumis tipisnya yang beruban. Surti menatap wajah Tejo lagi dan dia mengusap bola matanya lagi. Surti menghela napas panjang tiga kali.

“Benar ini kamu Jo, Jo… jawab pertanyaanku ,” Surti teriak-teriak.

Tanpa ucap. Tejo malah enyah lagi dari hadapan Surti. Ia melangkah begitu jauh…. Menyusuri hutan lembo, dimana Tejo memungut si Sute yang terbuang. Tak ingin kehilangan batang hidung Tejo lagi, Surti mengejarnya diam-diam. Ia ingin tahu, apa yang lakinya perbuat di belantara hutan. Mereka berdua telah jauh dari kampung. Menapakkan kaki di jalanan terjal, hutan gambut dan segala macam perdu-perduan. Dan rupanya Tejo tahu, kalau dia telah diekori oleh Surti. Semakin dikejar, Tejo semakin laju membawa kakinya pergi.

“Jo… tunggu aku Jo…, mau kemana sih kamu ? teriak Surti terengah-engah.

Tak menggubris, Tejo meneruskan jejaknya tanpa lelah sedikitpun. Tapi, sang Surti lah yang terbirit-birit, mengendusi jejak yang semakin jauh dari hadapannya. Tanpa disadari.

“Akkhh…tolong…, teriak Surti seperti mambelah langit.

“Hakhh… mati aku, oh tidak… !” lagi-lagi teriak.

Dan tiba-tiba, cllarrrr….! Suara keras pecahan gerabah menghantam lantai-lantai dari arah dapur. Membangunkan bunga tidur Surti yang layaknya bunga bangkai itu.

“Huh..huh..huh..huh…huhh…” nafas Surti terpenggal-penggal.

“Ternyata cuma mimpi ya, hah...untunglah,” gumam Surti pelan.

Tiba-tiba ingat, “suara itu, sepertinya aku kenal,atau jangan-jangan…,” terka Surti seraya melompat dari bambunya menuju kepul-kepulannya.

Tak tahu apa sebabnya, tapi di sana kaki Sute menggigil dan pompa tubuhnya melompat-lompat entah kemana. Ia seperti telah kehilangan jiwanya.

“Oh…oh…oh ! Bagus ya, baru di diemin dikit aja kamu udah bikin onar lagi, ckckck, mau kamu itu sebenarnya apa sih? “ tanya Surti meledak-ledak.

“Maaf mak, Sute tak sengaja,” Sute ketakutan.

“Maaf…? Memang maaf bisa mengutuhkan kendi itu lagi, jawab…!” Surti membentak.

Namun di situ Sute hanya diam , layaknya Tejo yang termakan oleh bininya. Hatinya teriris-iris, tergores perkataan Surti yang setajam silet. Naluri, tak tahan lagi, Sute akhirnya nangis begitu keras, menembus batas pagar para mulut-mulut itu.

“Berisik…! Diam kau Kil, akhh… aku kian tak betah tinggal di gubuk reyot ini. Ehh.. pokoknya aku nggak mau tahu, kau bereskan semua ini sampai benar-benar bersih,” suruh Surti. Cepat-cepat, Surti pergi meninggalkan kerikilnya di kepulan. Lain sisi, ia akan terus menangis, entah sampai kapan, ia meratap, ia termenung dan ia begitu nelangsa. Dulu, ibu kandungnya saja rak sekejam emaknya yang sekarang, tapi apalah itu masa lalu. Semua telah terkubur oleh peperangan hitam. Bukankah hari akan terus melangkah jauh. Menyongsong masa depan yang lebih dari apa yang disebut itu anak hutan, kerikil, atau apalah itu anak sialan. Sampai-sampai tibalah si air, yang ditunggu-tunggu si api dan si kerikil.

“Sute…bapak pulang nak…”Tejo menginjakan kakinya ke mulut gubuk.

“Iya pak, sebentar…,”Sute berlari menyambut kedatangan Tejo dengan gembira.

Dan tak disangka-sangka, kaki Surti menyilang tepat ke muka mata-kaki Sute.

Dan. “auu…,” Sute terjatuh serta mengeluh kesakitan.

“Surti…apa-apaan kau ini,jangan terus meyakiti anakmu, ingat Sur, dia itu anakmu , anakmu Sur… kayak anak kecil saja kamu ini”, Tejo marah-marah.

“Hahh…apa aku tak salah dengar ? Dia anak siapa…? Anakku lagi …,mana mungkin aku punya anak sedekil ini, ihhh….jijik betul aku”, tambah Surti.

“Hust..jaga omonganmu Sur, dia itu masih anak-anak,”ujar Tejo.

“O..jadi hanya gara-gara kerikil senja ini kau jadi terbalik ya Jo. Baik…aku buang saja anak ini ke hutan, biar dia dimakan sana oleh kaum Ku-uya yang tak jelas juga itu. Biar kau membuka matamu Jo, buka matamu itu Jo,” Surti berontak.

“Sini kau kerikil,” Surti menarik tangan Sute dengan kerasnya.

“Hei Surti, tak sepantasnya kau lakukan itu pada anak ku,” ujar Tejo.

“Mak.. sakit mak,” Sute merintih.

“Kau tahu apa tentang rasa sakit kerikil senja, hatiku lebih saki..t ! Lebih sakit dari apa yang kau rasakan saat ini, jadi diam saja kau,” tanggap Surti.

Gubuk itu semakin terbakar oleh amarah. Sayang, mulut-mulut yang doyan bersidang itu tak ada yang mau datang. Mereka sudah tak perduli lagi dengan Surti, telah berulang kali sudah mereka bertitah. Tapi satupun tiada yang ia gubriskan. Hal yang tak mengenakan hati terjadi lagi di gubuk itu. Semuanya terjadi begitu cepat, dan tanpa disadari siapapun. Sebuah tamparan keras menjejali muka Surti yang penuh dengan kebencian. Entah apa yang telah mereaka bicarakan tadi, rasanya begitu rumit dan runyam. Kasar, dan tak pantas untuk diungkapkan dengan tulisan. Yang terjadi , ya terjadilah sudah. Sebuah tragedy yang seumur-umur terjadi dirumah itu. Adu mulut yang mereka pertahankan, berubah menjadi adu fisik yang tak tertahankan.

“Ceplak…, auuu…,” hanya suara itu yang terdengar, sedangkan semuanya kini hanya diam, dan suasananya menjadi mencekam. Tetesan air mata Surti tak lagi dapat terbendung, mengguyur amarahnya yang berujung padam. Kini hatinya sangatlah terpuruk. Suami yang disayanginya tega melakukan hal bodoh itu padanya. Apakah ia juga sebegitu bodohnya hingga ia mau diperlakukan seperti itu. Hanya Tuhan dan Tejo lah yang mengetahui semua alasan itu. Mungkin Tejo sudah kepalang jengkel dengan apa yang telah di perbuat istrinya kepada Sute. Tapi kok sampai seklimaks itu juga. Hingga mereka saling tanya satu sama lain.

“Apa yang sudah kau lakukan padaku Jo ?” tanya Surti sambil mengusap air matanya.

“Teganya kau mengukirkan tanganmu ke pipiku ini Jo,” seakan meronta.

“Sadarkan dirimu Sur, sadar...!” ujar Tejo pada Surti.

“Aku kurang sadar apa Jo ?” bela Surti.

“Lihat dirimu, ini bukan kau Sur, aku percaya itu, kau hanya dingin dengan hasutan antek-antek gaibmu itu,” ucap Tejo pelan. Surti malah terus menangis, melihat wajah Sute yang sayu. Tak tahu apa-apa, trauma, dan tak ada arus apapun.

Beberapa detik kemudian ia mulai meniup pita suaranya, “Sute bukan kerikil kan pak ?”tanya Sute.

“Apa yang kamu bicarakan Sute ?” sahut Tejo cepat.

“Emak memanggilku dengan panggilan itu pak ?” Sute menjawab.

Tak ada jawaban lagi dari Tejo, dan tiba-tiba suasana menjadi hening. Angin malam tengah melangkah, membelai jiwa sunyi tak bertepi. Tapi dengan angin itu pula semua amarah bisa terseret jauh keluar. Pembicaraan di rumah itu dinyalakan lagi oleh Tejo.

“Sur, kenapa kau lakukan itu pada Sute?” tanya Tejo dengan harap penuh.

“Menurutmu aku melakukan apa Jo pada anak sialan ini ?”, tanya Surti balik.

“Iya kan, kamu masih belum sadar rupanya ?” sangkal Tejo balik.

“Aku cuma minta kesadaranmu saja Sur, sebagai layaknya seorang ibu kau harus sadar dan bertingkah sewajarnya padanya”, tambah Tejo

“A.. aku..”, jawaban Surti terhenti.

“Kau kenapa Sur ?” tanya Tejo menyambung.

“Tidak Jo, a…ku..”, jawaban Surti terbata lagi.

“Omongkan saja Sur, aku ini suamimu, aku berhak tahu apa yang kau keluhkan ?” desak Tejo.

“Tidak Jo, kau tidak akan mengerti apa yang aku pikirkan saat ini”, tambah Surti.

“Ayolah Sur, kita nanti bisa rembukan bersama-sama, kita ini keluarga, kau dan aku sudah dewasa. Jangan lah kau seperti anak kecil lagi. Apa tak malu kau sama anak keci ini ?” tanya Tejo sambil menunjuk Sute yang histeris di pojokan.

“Sayangnya kau tidak akan pernah mengertia apa yang aku rasakan Jo, dari jauh hari lah aku simpan semua ini”, tambah Surti

“Maksudmu ?”, sahut Tejo cepat.

“Tuh kan percuma aku bilang padamu, tak akan ada gunanya bagiku”, tambah Surti lantang.

“Yang kau tahu hanya menammbahkan rasa sakit kepada hatiku, kau cuma akan mengoyak-ngoyak perasaanku Jo. Di satu sisi kau angkat aku tinggi-tinggi, lalu di lain kesempatan kau hempaskan aku ke jurang-jurang.

            Tejo hanya terdiam mendengar ocehan yang diutarakan oleh Surti. Entah apa yang sedang dibicarakan oleh Surti, Tejo nampaknya tak pernah mengerti. Raut mukanya kebingungan, apa lagi kini Surti bicara dengan nada yang dingin. Tak seperti biasanya , ia yang meledak-ledak kini mati tersapu angin. Atau mungkin, ia kini tengah kerasukan. Pandangannya kosong. Tak tahu juga, nampaknya Surti terlalu banyak pikiran yang tak terutarakan. Mungkin hanya pada Encingnya lah ia bisa meluapkan segala yang ada pada isi hatinya. Dan dia ibaratkan sudah sewindu tak kesana. Lalu, entah angin apa yang membawa Surti menuju titik ini, dimana ia sadar akan raganya kini. Ia menyambung perkataannya tadi.

“A..aku minta maaf Jo, aku benar-benar minta maaf”, ucap Surti sembari meneteskan air matanya lagi.

Tejo hanya bisa melongo dan berasa de javu. Kapan terakhir kali Surti melakukan hal semacam ini. Lampau hari sudah, biasanya Tejo lah yang pertama kali harus sujud mohon ampunan pada Surti. Apalgi kalau tidak untuk meredam hubungan mereka. Lalu disambunglah lagi percakapan yang membuat canggug itu.

“Aku cuma takut Jo, sayangmu terbagi pada orang lain termasuk juga pada Sute, aku minta maaf Jo”, tambah Surti lirih.

“Pada Sute…?”, tanya Tejo spontan.

”…huhh”, Surti menghela napas panjangnya melalui hidung.

“Hahaha…” Tejo tertawa lantang.

” Sute itu anak kita Sur,sebagai kepala keluarga aku harus berlaku adil dalam mencintai satu sama lain,” Tejo berusaha memberi penjelasan

“Kalau kamu berpikiran seperti itu, buang jauh-jauh pikiranmu itu. Itu racun Sur, racun…”, tambah Tejo.

Sute hanya memandangi ke arah Surti-Tejo. Kasihan sebenarnya, hati kecil Sute harus melihat sesuatu yang bukan skalanya. Tapi terlanjur sudah, ia tahu apa yang membuat pelik di keluarga itu. Ya dirinya itu ternyata. Namun, apa yang dapat ia perbuat saat ini. Ia hanya bisa bergantung pada mereka berdua. Sute nampaknya memang perlu bimbingan dan kasih sayang. Di usianya yang masih sebelas tahun, ia harus hidup keras menggelandang di hutan yang menyeramkan. Tapi ia kini tidak. Dia berada di dalam asuhan. Dalam hati kecilnya ia bertanya, kenapa selalu ia yang dipermasalahkan. Padahal apakah salah anak kecil itu ? Kurangnya apa, dan mintanya mereka itu seperti apa. Hanya Tuhan dan mereka lah yang tahu. Tak pernah dirembukan pula, yang ada mereka hanya debat kusir saja. Tiap betemu, jadilah perdebatan itu. Entahlah mereka dapat ilmu nya dari mana. Semua mengalir begitu saja. Dan dibalaslah tatapan Sute tadi oleh Surti. Tambah lah takut dia.

Surti memandanng ke arah Sute sambil mendekatinya,”maafkan emak ya nak. Sebenarnya emak sayang sekali sama Sute,,” ujar Surti dengan sepenuh hati.

“Iya mak, tapi aku bukan kerikil kan ?” balik tanya.

Surti menangis lagi, ia merasa sangat bersalah. “Bukan nak, kau anakku Sute,” tambah Surti.

            Rupanya ia tak tahan dengan sandiwara yang dilakukanya selama ini. Seperti yang telah dikatakan oleh Encingnya tempo hari. Diakhirilah sandiwaranya ini hari. Setiap kali Surti melakukan hal-hal buruk kepada Sute, ia selalu lari ke hutan. Dan menangislah ia di sana. Ia sadar tak bisa memberikan momongan, tapi ia sudah kepalang bilang diawal-awal. Emosinya menggerus kasih sayang yang ada pada dirinya. Ia gengsi menarik ulur apa yang telah ia katakana. Entah itu, ia tak mau mengakui Sute sebagia anak dan entah apalah itu, kata-katanya begitu kasar. Tapi sebenarnya di lubuk hati Surti yang paling dalam, ia hatinya tak kuasa bila melihat seorang anak. Apalagi itu seorang anak kecil. Mungkin itu akibat rasa hausnya terhadap momongan.

            Jam dinding kan terus berdetak, menjadi saksi bisu yang ada di gubuk api itu. Dan kalau dulu tak lagi padam, tapi kini gubuk itu butuh perapian. Semuanya terasa dingin. Angin berhembus ke dalam. Tak lagi enggan menerpa mulut gubuk yang tajam. Tiba-tiba semuanya tersadar.

“Sur.. aku minta maaf ya soal yang tadi”, ujar Tejo

“Iya Jo, sudah aku maafkan” sahut Surti.

“Aku janji Sur, tak akan aku lakukan lagi hal sebodoh itu lagi padamu”, tambahan dari Tejo

“Kau tidak salah Jo, aku memang bodoh, aku pantas kau perlakukan seperti yang tadi”, ujar Surti.

Semuanya diam sejenak, lalu,”Nah.. kalau begini kan jadi enak, baik kita lupakan saja kejadian ini dan kita mulai hidup yang baru dengan penuh semangat”, ucap Tejo memecahkan keheningan yang ada.

Malam kian larut, tapi obor tak lagi redup. Pembicaraan hangat mereka berlanjut sampai ke ufuk. Obor-obor telah bersinar terang di gubuk itu. Kalian tahu, bukan obor itu yang dimaksud, tapi hati mereka lah yang selalu bersinar terang. Langit pun tersenyum, burung-burung malam berdendang riang. Kini, gubuk itu semarak dengan kehangatan. Kerikil-kerikil kian hilang, tersapu dewi malam yang melambai syahdu. Yang ada kini hanya zamrud dari hutan lembo. Elok dipandang dan halus dalam genggam. Ada asuh dan asuhan diantara mereka. Tak ada dinding pemisah, tak ada beda antara langit dan bumi. Semuanya indah menjadi satu kesatuan. Bintang-bintang nampak bertebaran dan usailah sudah penantian, tiada nasib yang meratap. Ilalang-ilalang menyambut riang, tersiram oleh kabut-kabut malam. Bahagia sungguh, keluarga kecil mereka. Tejo ,Surti dan Sute. Itulah mereka, air, api dan permata yang menawan. Entah apa jadinya, tapi itulah keadaannya. Yang ada hanyalah doa untuk mereka semua. Semoga keluarga mereka bahagia seutuhnya. Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun