“Lihat dirimu, ini bukan kau Sur, aku percaya itu, kau hanya dingin dengan hasutan antek-antek gaibmu itu,” ucap Tejo pelan. Surti malah terus menangis, melihat wajah Sute yang sayu. Tak tahu apa-apa, trauma, dan tak ada arus apapun.
Beberapa detik kemudian ia mulai meniup pita suaranya, “Sute bukan kerikil kan pak ?”tanya Sute.
“Apa yang kamu bicarakan Sute ?” sahut Tejo cepat.
“Emak memanggilku dengan panggilan itu pak ?” Sute menjawab.
Tak ada jawaban lagi dari Tejo, dan tiba-tiba suasana menjadi hening. Angin malam tengah melangkah, membelai jiwa sunyi tak bertepi. Tapi dengan angin itu pula semua amarah bisa terseret jauh keluar. Pembicaraan di rumah itu dinyalakan lagi oleh Tejo.
“Sur, kenapa kau lakukan itu pada Sute?” tanya Tejo dengan harap penuh.
“Menurutmu aku melakukan apa Jo pada anak sialan ini ?”, tanya Surti balik.
“Iya kan, kamu masih belum sadar rupanya ?” sangkal Tejo balik.
“Aku cuma minta kesadaranmu saja Sur, sebagai layaknya seorang ibu kau harus sadar dan bertingkah sewajarnya padanya”, tambah Tejo
“A.. aku..”, jawaban Surti terhenti.
“Kau kenapa Sur ?” tanya Tejo menyambung.