“Tejo pasti di sana,” Surti berlanjut ke pancuran.
Bukannya Tejo yang ia dapat, tapi malah pukulan senyuman yang melayang ke wajahnya.
“Oh kau rupanya Kil,” ucap Surti dengan muka datar.
“Iya mak,” jawab Sute dengan halus.
Hati Sute bagai merangkul jagat, karena si Surti mau berucap padanya. Barang hanya seucap, tapi bagi Sute itu bak hujan salju di tengah gurun. Tapi Sute tak sadar rasa rindunya akan terhempas ke jurang-jurang.
“Coba apa kamu bilang…emak ?” Surti meninggi.
“I…iya mak,” saut Sute.
“Hei…hei…hei.. kok enak betul kau panggilku emak ! Aku ini bukan emakmu, kau itu juga bukan siapa-siapaku. Jadi jangan harap kau bisa panggil aku ini emak ya, dasar kerikil,” ujar Surti.
“Bapak Tejo yang menyuruhku memanggilmu emak”, jawab Sute dengan polosnya.
“Dan kenapa emak memanggilku kerikil, apa maksud emak ?” tanya Sute sedih.
“Dengar ya, kau di sini itu tiada gunanya, kau itu hanya parasit…! Yang akan menggerogot habis keutuhan keluarga kami,” sindir Surti.