“Maaf mak, Sute tak sengaja,” Sute ketakutan.
“Maaf…? Memang maaf bisa mengutuhkan kendi itu lagi, jawab…!” Surti membentak.
Namun di situ Sute hanya diam , layaknya Tejo yang termakan oleh bininya. Hatinya teriris-iris, tergores perkataan Surti yang setajam silet. Naluri, tak tahan lagi, Sute akhirnya nangis begitu keras, menembus batas pagar para mulut-mulut itu.
“Berisik…! Diam kau Kil, akhh… aku kian tak betah tinggal di gubuk reyot ini. Ehh.. pokoknya aku nggak mau tahu, kau bereskan semua ini sampai benar-benar bersih,” suruh Surti. Cepat-cepat, Surti pergi meninggalkan kerikilnya di kepulan. Lain sisi, ia akan terus menangis, entah sampai kapan, ia meratap, ia termenung dan ia begitu nelangsa. Dulu, ibu kandungnya saja rak sekejam emaknya yang sekarang, tapi apalah itu masa lalu. Semua telah terkubur oleh peperangan hitam. Bukankah hari akan terus melangkah jauh. Menyongsong masa depan yang lebih dari apa yang disebut itu anak hutan, kerikil, atau apalah itu anak sialan. Sampai-sampai tibalah si air, yang ditunggu-tunggu si api dan si kerikil.
“Sute…bapak pulang nak…”Tejo menginjakan kakinya ke mulut gubuk.
“Iya pak, sebentar…,”Sute berlari menyambut kedatangan Tejo dengan gembira.
Dan tak disangka-sangka, kaki Surti menyilang tepat ke muka mata-kaki Sute.
Dan. “auu…,” Sute terjatuh serta mengeluh kesakitan.
“Surti…apa-apaan kau ini,jangan terus meyakiti anakmu, ingat Sur, dia itu anakmu , anakmu Sur… kayak anak kecil saja kamu ini”, Tejo marah-marah.
“Hahh…apa aku tak salah dengar ? Dia anak siapa…? Anakku lagi …,mana mungkin aku punya anak sedekil ini, ihhh….jijik betul aku”, tambah Surti.
“Hust..jaga omonganmu Sur, dia itu masih anak-anak,”ujar Tejo.