Tanpa ucap. Tejo malah enyah lagi dari hadapan Surti. Ia melangkah begitu jauh…. Menyusuri hutan lembo, dimana Tejo memungut si Sute yang terbuang. Tak ingin kehilangan batang hidung Tejo lagi, Surti mengejarnya diam-diam. Ia ingin tahu, apa yang lakinya perbuat di belantara hutan. Mereka berdua telah jauh dari kampung. Menapakkan kaki di jalanan terjal, hutan gambut dan segala macam perdu-perduan. Dan rupanya Tejo tahu, kalau dia telah diekori oleh Surti. Semakin dikejar, Tejo semakin laju membawa kakinya pergi.
“Jo… tunggu aku Jo…, mau kemana sih kamu ? teriak Surti terengah-engah.
Tak menggubris, Tejo meneruskan jejaknya tanpa lelah sedikitpun. Tapi, sang Surti lah yang terbirit-birit, mengendusi jejak yang semakin jauh dari hadapannya. Tanpa disadari.
“Akkhh…tolong…, teriak Surti seperti mambelah langit.
“Hakhh… mati aku, oh tidak… !” lagi-lagi teriak.
Dan tiba-tiba, cllarrrr….! Suara keras pecahan gerabah menghantam lantai-lantai dari arah dapur. Membangunkan bunga tidur Surti yang layaknya bunga bangkai itu.
“Huh..huh..huh..huh…huhh…” nafas Surti terpenggal-penggal.
“Ternyata cuma mimpi ya, hah...untunglah,” gumam Surti pelan.
Tiba-tiba ingat, “suara itu, sepertinya aku kenal,atau jangan-jangan…,” terka Surti seraya melompat dari bambunya menuju kepul-kepulannya.
Tak tahu apa sebabnya, tapi di sana kaki Sute menggigil dan pompa tubuhnya melompat-lompat entah kemana. Ia seperti telah kehilangan jiwanya.
“Oh…oh…oh ! Bagus ya, baru di diemin dikit aja kamu udah bikin onar lagi, ckckck, mau kamu itu sebenarnya apa sih? “ tanya Surti meledak-ledak.