5. persetujuan dan penerimaan.
E. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
1. Hambatan Perkawinan dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 197 Bab III Hambatan Perkawinan, pasal 13--21. Pasal  13 menyatakan bahwa: Perkawinan dapat dicegah jika ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat  perkawinan.
      Syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah segala hal yang berkaitan dengan rukun dan syarat  perkawinan yang sah serta syarat-syarat yang diatur oleh undang-undang, salah satunya adalah terpenuhinya semua unsur hukum formil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 197 dan Peraturan Perkawinan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 197.
2. Perceraian UU No. 1 Tahun 197 tentang Perkawinan  BAB IV PEMALSUAN PERNIKAHAN Pasal 22-28. Pasal 22 menentukan:
      Perkawinan dapat dibatalkan jika para pihak tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah syarat umur kedua  mempelai, syarat kesiapan kedua  mempelai, syarat izin orang tua calon mempelai, syarat administrasi dan rukun-rukun yang telah dijelaskan di atas. dan syarat sahnya perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 197 PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam.
      Perkawinan tidak dapat dibatalkan, kecuali ada yang meminta pembatalan perkawinan melalui pengadilan. Oleh karena itu, perjodohan, meskipun menyimpang dari hukum, tetap sah menurut hukum Islam. Menurut Fuqaha, hal itu bisa dilegalisasi dengan mengajukan permohonan akad nikah yang diaktakan oleh  pencatat nikah. Apabila para pihak yang mempunyai yurisdiksi menyatakan perkawinan yang dilamar itu tidak sah dan  pengadilan memutuskan untuk membubarkan perkawinan itu, pasangan tersebut dapat menikah lagi, yang harus mengikuti prosedur yang berlaku dan dibenarkan oleh undang-undang.
F. Pencatatan Perkawinan
      Secara administratif, suatu perkawinan  sah apabila diakhiri menurut undang-undang. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 197 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 197.
BAB II Pencatatan perkawinan Pasal 2 berbunyi:
      Pencatatan perkawinan  yang dilakukan menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat yang ditentukan dalam Undang-undang Perkawinan, Perceraian dan Pendaftaran Perkawinan No. 32 Tahun 195. Pencatatan perkawinan bagi mereka yang menikah secara agama dan kepercayaan selain Islam. Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sesuai dengan pasal 3 sampai dengan pasal 9 Peraturan Pemerintah. Dengan tidak mengurangi penerapan aturan-aturan khusus yang  berlaku.