Siang itu aku merasa sebagai siang yang paling panas dalam musim kemarau tahun ini. Aku mengayuh sepedaku dengan perlahan, kelelahan dan kehausan menderaku. Di tengah perjalanan saat aku melewati pusat jajanan di sekitar alun-alun kota, sebuah pemandangan menarik menggelitik rasa ingin tahuku. Diantara jajaran para pedagang makanan dan minuman terdapat sebuah kedai teh yang mungil berdinding anyaman bambu, diatasnya bertuliskan ‘Kedai Teh’. Sepertinya baru saja dibuka karena aku biasa lewat sini dan tidak pernah mendapati kedai mungil itu sebelumnya. Akhirnya, kuputuskan untuk memarkir sepedaku di depan kedai dan masuk ke dalam, mungkin segelas es teh akan membantu meringankan rasa hausku.
“Selamat siang, Nak! Silakan duduk.” Seorang Bapak Tua, mungkin berusia sekitar enam puluh tahunan menyapaku dengan sangat ramah.
“Terima kasih, Pak.”
“Panggil saja Kakek. Mau memesan apa?”
“Saya mau segelas es teh.”
“Baiklah. Silakan duduk.”
Setelah memilih tempat duduk, kuedarkan pandanganku sesaat ke seluruh ruangan. Memang dari luar nampak biasa saja, tetapi desain interior kedai ini sungguh luar biasa, ada beberapa lukisan yang kukenal seperti lukisan Da Vinci, Rembrandt, Affandi yang dipajang bersama sederetan lukisan dan tembikar khas Asia Timur. Aku begitu takjub hingga tanpa sadar aku berjalan mengelilingi seluruh ruangan untuk menikmati keindahan lukisan-lukisan yang dipajang. Menyentuh beberapa patung dan guci. Entah kenapa Aku merasa sangat senang, seolah mengelilingi sebuah miniature museum seni.
“Kamu suka lukisan?” tanya Pak Tua itu begitu datang dengan nampan di tangannya. Rupanya beliau memperhatikanku.
“Eh, iya. Kebetulan saya sangat suka melukis, jadi saya menyukai lukisan.” Jawabku agak gugup. Aku belum terbiasa dengan keramahan pelayan, setahuku dimanapun aku bertemu pelayan mereka tidak pernah peduli pada apapun kecuali pesananku. Lalu Bapak itu meletakkan secangkir teh, gula, es batu di hadapanku.
“Maaf. Kami tidak punya gelas, jadi tehnya saya tuang ke dalam cangkir. Ini es-nya Kakek pisahkan supaya tidak tumpah.”
Aku meringis, kakek ini rupanya memiliki kedai yang unik. Tidak ada gelas, tidak ada es. Mungkin dia bermaksud untuk mengusung gaya tradisional yang konvensional, begitu pikirku.
“Tidak apa-apa, Kek. Begini saja sudah cukup.” Kataku berusaha untuk menghargai usahanya.
“Kalau begitu silakan diminum.”
“Terima kasih.”
Aku lalu mengambil beberapa bongkah kecil es dan mulai menyeduh teh lalu menyesapnya sedikit-sedikit. Ada rasa yang asing masuk ke dalam mulutku dan perlahan kurasakan mengalir ke lambung. Warnanya memang seperti teh pada umumnya, tetapi memiliki cita rasa yang lain. Pedas dan wangi khas yang pekat. Sepertinya kedai teh ini tidaklah sesederhana penampilan luarnya, ada cita rasa seni tingkat tinggi begitu memasukinya.
Rasa haus yang sedari tadi menghantui perjalanan pulangku perlahan mulai menyingkir dan ada perasaan lain yang datang bersamaan dengan hilangnya perasaan hausku, aku menjadi sedikit lebih segar, seperti menemukan semangat baru. Kulirik jam tanganku, satu jam lagi aku harus mengikuti kelas melukis dan itu artinya aku harus segera pulang agar bisa bersiap-siap. Akupun berdiri dan mendekat ke arah Kakek yang sedang sibuk menyeduh sesuatu di balik meja pemesanan.
“Berapa semuanya, Kek?”
Kakek itu mendongakkan kepalanya dan tersenyum ke arahku.
“Benar kamu bisa melukis?”
Bukannya menjawab pertanyaanku, beliau malah balik bertanya. “Iya, begitulah.”
“Kalau begitu datanglah lagi besok. Bawa semua alat lukismu dan lukislah wajah Kakek.” Kata-katanya seolah menantangku. “Bayarlah the seduhan Kakek dengan karyamu. Bagaimana?”
Meskipun masih diliputi tanda tanya, tetapi aku mengiyakan tantangan si Kakek. “Baiklah. Besok saya pasti akan datang lagi.”
***
Seharusnya sekarang sudah waktunya pulang sekolah, tetapi persiapan untuk acara pentas seni besok membuatku tidak bisa pulang hingga menjelang pukul sembilan malam.
“Aku duluan ya! Kasihan Ibu sendirian di rumah.” Kataku berpamitan pada teman-teman yang masih sibuk menata dekorasi. Rencananya mereka akan menginap di sekolah, tetapi aku rela pulang agak larut demi memenuhi janjiku pada Kakek pemilik kedai teh. Lagipula, Ibuku pasti akan lebih tenang kalau aku pulang ke rumah.
Sesampainya di pusat jajanan alun-alun, kulihat Kakek sudah merapikan kedainya sendirian.
“Kakek, maaf datang terlambat.” Kataku berusaha menyapanya.
Dia tersenyum melihatku datang, sepertinya senang. “Kakek kira kamu tidak datang. Hari ini Kakek tidak menyeduh teh.”
“Maksud Kakek, tidak ada pelanggan yang datang begitu?” tanyaku sedikit menyimpan perasaan bersalah.
“Heheheh...bukan begitu. Tapi Kakek sengaja menggantung tulisan TUTUP ini di daun pintu supaya kita bisa menikmati melukis dan dilukis bersama-sama.” Kata Kakek sembari terkekeh membuat rasa bersalahku tidak lagi tersimpan rapi, tapi semburat karena mendadak bertambah berkali-kali lipat. Seharian ini Kakek tidak mendapatkan pelanggan karena aku.
“Maafkan saya, Kek.” Kataku sekali lagi. Kali ini dengan nada dan raut wajah diliputi perasaan tidak enak.
“Sudah...sudah...Rejeki itu Tuhan yang mengatur. Jadi, Kakek tidak terlalu mencemaskan rejeki Kakek hari ini. Masih banyak hari esok untuk mengais rejeki. Sekarang kamu pulanglah, pasti orangtuamu khawatir kalau kamu pulang selarut ini.”
“Kek, besok saya pasti akan datang.” Aku berusaha untuk membuat janji lagi dengan Kakek.
Kakek menghentikan kegiatannya sejenak, lalu mengajakku untuk duduk di dalam. Dia kemudian membawa nampan berisi cangkir dan seteko teh. “Minumlah. Sepertinya Kamu lelah sekali setelah seharian di sekolah.” Kata Kakek sambil memperhatikanku yang masih mengenakan seragam sekolah.
“Kamu tahu darimana daun teh berasal?”
Aku menggeleng, “tidak tahu, Kek.”
“Dalam sebuah legenda Jepang disebutkan bahwa pernah ada seorang pertapa Budhha bernama Daruma memotong kelopak matanya agar dia tidak tertidur saat melakukan meditasi. Kesungguhannya rupanya membuat dewa tersentuh dan memberinya berkah dengan menumbuhkan tanaman teh dari tempat jatuhnya kelopak mata sang pertapa. Dia lalu menyeduh daun teh itu menjadi minuman dan mengetahui bahwa seduhan teh bisa membantunya menghilangkan rasa kantuk saat melakukan meditasi. Karena itu, kesungguhanmu dalam berusaha pasti memiliki nilai tersendiri di mata Tuhan Yang Maha Tahu. Jadi, jangan selimuti dirimu dengan perasaan bersalahmu itu.” Kakek menatapku seolah sedang memberikan petuah pada anaknya. “Kakek tahu Kamu telah berusaha menepati janjimu.” Katanya lalu menepuk bahuku.
Aku senang sekali mendengarnya sampai Aku berpikir seandainya guru kelas mengatakan hal itu pada muridnya yang datang terlambat, ‘tidak masalah. Bapak tahu kamu sudah berusaha untuk sampai ke sekolah.’. Pasti menyenangkan.
“Terima kasih, Kek. Teh, cerita serta petuahnya membuat saya jadi semangat. Rasanya jadi tidak sabar menunggu besok untuk melukis.” Kataku senang.
Kakek tersenyum, matanya berbinar puas.
“Kamu bisa, kan menggambar apa yang baru saja Kakek ceritakan?”
“Hahh??” aku terkejut mendengar pertanyaan Kakek, padahal janjiku belum kupenuhi.
“Entahlah, Kek. Aku tidak tahu kalau tidak mencobanya”
“Kalau begitu cobalah.”
Aku bengong.
“Itu adalah bayaran untuk tehmu malam ini.”
Sesampainya di rumah, aku dengan tergesa masuk kamar dan mengeluarkan semua alat gambarku dari dalam ransel. Aku memanfaatkan semangatku untuk menggambar dalam buku sketsa tentang yang baru saja diceritakan oleh Kakek tadi. Besok akan kutunjukkan hasil imajinasiku tentang pertapa Jepang itu pada Kakek.
“Adiiiii, makan malam duluuuu..!!” seru Ibu dari bawah tangga.
“Yaa, Buu!”
***
“Hmm...lumayan...bagus...bagus sekali...” kata Kakek sambil tidak henti-hentinya memandangi gambar hasil imajinasiku tentang pertapa tua semalam.
“Jadi, bagaimana menurut Kakek? Lumayan, bagus, apa bagus sekali?” tanyaku penasaran.
“Eh, begini saja...” dia lalu mengeluarkan sebuah termos stainless berukuran sedang. “Berikan ini pada Ibumu. Kalau dia memberikan nilai yang bagus pada teh buatan Kakek ini, maka itu berlaku sama pada hasil karyamu. Bagaimana, cukup adil, kan?!” tanyanya sembari tersenyum. “Sekarang pulanglah. Ibumu pastinya sudah mencemaskanmu. Jangan lupa hari Minggu, ya?!”
“Pastiiii…!!” kataku sambil menunjukkan kedua jempol tanganku. Hari ini aku terlambat lagi, menjadi panitia Pentas Seni di sekolah menguras habis energi dan waktuku. Jadi, kami sepakat untuk melakukannya di hari Minggu saja.
Jam Baby G–ku sudah pukul setengah sepuluh malam. Kukayuh sepedaku lebih cepat agar segera sampai ke rumah.
“Masyaallah, Adi! Ibu tidak habis pikir kegiatan apa yang kamu lakukan hingga selalu saja pulang selarut ini!”
Aku senyum-senyum saja, lalu dengan perlahan kukeluarkan termos pemberian Kakek dari dalam ranselku. “Ini buat Ibu.” Kataku singkat.
“Apa ini?”
“Itu teh, Bu. Rasanya enak sekali, coba Ibu cicipi kalau tidak percaya.”
Ibu mengernyitkan dahinya. “Darimana ini?”
“Dari teman, Bu. Dia punya kedai teh di tengah kota.”
“Baiklah. Cepat masuk dan mandi air hangat. Ibu sudah menyiapkannya.”
Ibu selalu baik seperti biasanya, “terima kasih, Bu.”
Aku langsung bergegas ke kamarku, mengganti pakaian dan berlalu ke kamar mandi sambil bersiul perlahan. Aku melihat Ibu sedang mencicipi teh dan aku melihat ada perubahan yang baik di wajahnya.
“Adi, sini deh! Ayo minum teh sama Ibu. Ini enak, lo! Teman kamu pintar sekali membuatnya.”
Aku tersenyum dan mengiyakan. Benar kata Kakek, Ibu pasti senang kalau menerima teh itu. Kini tinggal satu hal yang harus kulakukan.
“Menurut Ibu, berapa nilai yang akan Ibu berikan untuk teh buatan temanku ini?”
Ibu yang sibuk menyeruput tehnya jadi berhenti sejenak untuk berfikir. “Hmm...mungkin Ibu akan memberikan nilai sembilan untuk teh ini. Enak sekali.”
Aku terbelalak. “Ibu serius?!”
Ibuku mengangguk teratur. “Memangnya ada masalah? Katamu Ibu harus menilai, bukan?”
Aku tertawa kecil, lama-lama aku jadi tergelak. Kubiarkan Ibu menatapku keheranan, tetapi aku cukup puas dengan hasil tantangan kecilku satu jam yang lalu. Lagipula, aku belum pernah mendapatkan nilai sembilan dalam mata pelajaran apapun di sekolah.
***
“Nah, Kek. Aku sudah selesai membuat sketsanya. Silakan kalau Kakek mau melihatnya sementara aku akan menyiapkan kuas dan cat.”
Begitulah, sepanjang siang di hari Minggu ini aku mengayunkan pensil dan pena lukisku dan Kakek dengan setia tidak bergerak sedikitpun dalam posenya. Hari ini Kakek mengenakan busana terbaiknya sehingga terlihat gagah dan berwibawa. Sempat terbersit dalam pikiranku bahwa Kakek yang misterius dan penyendiri ini sebenarnya adalah sosok orang kaya yang kesepian. Tetapi, aku cepat-cepat menepis pikiran konyol itu. Bisa-bisa lukisanku jadi tidak sempurna kalau aku tidak segera kembali berkonsentrasi.
“Indah sekali. Kakek tidak salah menilaimu. Kau adalah seorang beraliran realis yang berbakat, Nak.”
Aku tengah mengaduk cat dengan kuas. “Terima kasih, Kek. Tapi, pujian Kakek terdengar agak berlebihan. Kadang aku merasa belum sepenuhnya bisa melukis dengan baik. Aku pernah membeli buku sketsa yang mahal dengan tabunganku sendiri, tetapi aku malah menghabiskannya dalam satu malam.”
“Kau melukis sebanyak itu?”
Aku menggeleng, “kubuang ke tempat sampah semuanya.”
Kakek kembali duduk sambil berpikir sejenak. “Memangnya kamu melukis apa?”
“Aku mencoba meniru lukisan Da Vinci, Vitruvian Man.”
Kakek terkekeh-kekeh mendengarnya. “Kenapa kau bodoh sekali, Nak. Membuang-buang kertas hanya untuk meniru lukisan orang lain.”
Aku tersenyum saja mendengarnya. Memang terkadang aku menjadi demikian bodoh untuk mencari tahu apa yang sebenarnya aku inginkan.
Sedikit demi sedikit warna yang aku torehkan mulai menghidupkan sosok yang aku gambar. Kakek setia menemani di belakangku, terkadang terhenti sejenak untuk melayani pelanggan. Aku menyuruh Kakek untuk membuka kedai setelah aku selesai menggambar sketsanya. Terkadang orang akan tertarik saat melihat seseorang menunjukkan kebolehannya memberi warna.
“Kakek buka saja kedainya. Mungkin saja saat pelanggan melihatku mewarnai mereka jadi terhibur. Syukur-syukur kalau tiba-tiba ada yang menawariku menjadi guru les privat menggambar.” Begitu kataku sambil nyengir ke arah Kakek.
Benar saja, setiap kali ada pelangan datang, mereka seperti tertarik saat melihat kebolehanku di atas kanvas. Setelah lima atau tujuh pelanggan kemudian, seorang Ibu paruh baya memberiku kartu namanya dan mengundangku datang ke rumahnya minggu depan untuk mengajari anak pertamanya yang autis menggambar.
“Dia suka sekali menggambar, mencorat-coret tidak beraturan. Mungkin kalau kamu mau mengajarinya, Saya akan sangat senang sekali.”
Aku harus memberitahu Ibu tentang kejadian hari ini. Hari yang paling kunikmati selama menjadi seorang pelajar biasa.
***
Sudah lebih dari seminggu ini aku tidak mendatangi kedai Kakek semenjak Ibu selalu memaksa untuk mengantarkanku pergi ke sekolah.
“Biar Adi nggak capek pulang pergi dan bisa konsentrasi belajar. Jadi, Adi tidak boleh menolak tawaran Ibu!” begitu katanya saat makan malam terakhir sebelum ujian. Benar sih kedengarannya tidak memaksa, tapi mata Ibu yang sebesar bohlam jadinya tambah besar.
“Tapi Adi sudah kelas sebelas, Bu. Ya ampun, apa kata teman-teman nanti?!” seruku cemas.
Namun keputusan sudah ditetapkan, jadi sejak hari itu aku tidak pernah lagi melewati alun-alun kota seperti biasa sampai hari ini.
“Sudah dua hari ini kedainya tutup, Dik.” Kata seorang penjual siomay yang memiliki tenda tepat di sebelah kedai Kakek.
“Kemana perginya?” tanyaku.
Dia hanya mampu menggelengkan kepalanya membuatku jadi lemas seketika. Aku pulang dengan langkah gontai tidak bersemangat. Kemana Kakek pergi dan siapa yang bisa kutanyai tentang keberadaannya adalah pertanyaan yang terus berulang di kepalaku. Padahal Aku ingin bercerita pada Kakek tentang anak autis yang kuajari menggambar. Kehebatannya dalam melukis bahkan melebihi anak normal seusianya yang hobi melukis.
***
“Selamat sore, Rio!” kusapa Rio, murid pertamaku hampir dua bulan ini. Dia membalas dengan tersenyum sambil mengayunkan kuas yang sudah dipegangnya sedari tadi.
“Dia sudah nggak sabar menunggu gurunya.” Begitu kata sang Ibu padaku. Nah, Aku baru ingat kalau ibunya Rio adalah salah satu pelanggan di kedai Kakek. Mungkin dia tahu sesuatu, pikirku.
“Oh ya, Bu Fen, tahu tidak kalau sudah dua hari ini kedai Kakek tutup?” tanyaku berbasa-basi sambil mengajari Rio salah satu teknik mewarnai.
Bu Feni menghentikan kegiatan membacanya sembari menghela napas panjang.
“Saya sudah tahu Kamu akan menanyakan hal itu.”
Aku mengernyitkan dahi. Bu Feni kemudian bangkit dari duduknya, mengambil sebuah album foto dari lemari dan menyodorkannya padaku.
“Kakek yang selalu kau temui itu adalah ayahku, lebih tepatnya ayah kami. Kami duabelas bersaudara semuanya adalah pelanggan Kakek. Tidak ada yang tahu mengenai hal ini, karena ini memang murni skenario Kami bersama untuk menghibur Ayah. Ayah hanya memiliki satu orang pelanggan yang berasal dari luar, yaitu kamu.”
Aku bingung mendengarnya, tetapi saat kubuka album foto, aku tahu Bu Feni sama sekali tidak berbohong.
“Semenjak kepergian Ibu kami sekitar empat bulan yang lalu, Ayah seperti kehilangan semangat hidupnya. Ayah selalu berkata ingin menyusul Ibu dan membuat kami cukup prihatin dengan keadaan beliau. Lalu, kami memutuskan untuk membawa Ayah menemui psikiater dan kedai itu adalah salah satu bentuk terapinya. Kami juga banyak berterima kasih sama kamu, Adi. Berkat kesukaanmu akan melukis dan lukisan seperti mempertemukan lagi Ayah dan Ibu kami.” Bu Feni berkata dengan mata berkaca-kaca.
Aku juga jadi ikutan terharu sampai menitikkan airmata yang buru-buru kulap dengan punggung tanganku.
Rio acuh tak acuh, dia masih sibuk menerapkan teknik mewarnai terbarunya.
“Setelah selesai mengajar hari ini. Saya akan antarkan kamu ke tempat Kakek.”
“Kaakeeek…” tiba-tiba Rio berseru.
Sepanjang perjalanan aku berdebar-debar. Rasanya seperti ikut acara reality show dimana Aku adalah pelapor yang sedang mencari keberadaan orang terdekatnya. Biasanya sih, kalau sudah masuk adegan antar-mengantar begini, ujung-ujungnya pasti ke pemakaman. Tetapi, dugaanku keliru seratus delapan puluh derajat, aku malah diantar ke sebuah vila mewah yang memakan waktu sekitar tiga puluh menit dari kediaman Bu Feni.
“Ayo masuk!”
“Ayah! Ada tamu istimewa yang datang mencari.” Kata Bu Feni pada Kakek yang duduk membelakangi kami Nampak sibuk dengan kuasnya.
Kakek lalu menghentikan mengecat dan membalikkan badannya ke arah kami.
“Adi! Kenapa kamu lama sekali?”
Mataku berkaca-kaca, entah kenapa. “Kakek…”
Kamipun berpelukan. Entah kenapa. Seperti ada ikatan misterius diantara kami berdua.
“Bagaimana ujianmu? Maafkan Kakek sudah membuatmu khawatir.”
Aku mengangguk. “Saya sudah berusaha yang terbaik, Kek! Seperti sang pertapa.”
Kakek tertawa melihatku. “Ayo! Kita bicara di dalam saja sambil minum teh.”
***
“Silakan tehnya, Bu.” Kataku ramah pada seorang pelanggan baru kami. Yap, sudah genap satu semester setelah pertemuan terakhirku dengan Kakek. Setelah hari itu, setiap sore aku mengganti pakaian putih abu-abuku dengan seragam waiter yang didesain sendiri oleh Kakek. Terkadang aku undang teman-teman sekelas untuk datang ke kedai Kakek, terutama teman-teman sesama klub seni.
“Yoo, Adi! Kita datang nih!” seru Yolan, sang ketua klub.
“Wahhh…sepertinya ini asli!” seru Rani, si cantik (ehem…) anggota klub seni sembari menyentuh salah satu lukisan Van Gogh.
“Ini nih, yang asli. Ayo, silakan diminum.” Kataku saat menghidangkan teh untuk mereka.
“Enak…”
“Eh, iya enak lho!”
“Ho-oh…enak.”
“Mantap, tenan!”
“Hahahaha…dasar ndeso!”
Aku tersenyum mendengar komentar teman-teman yang saling bersahutan. Kupandang lukisan seorang pria muda yang berdiri dengan gagah dengan mata berkaca-kaca. Terharu.
***
“Kakek ingin berterimakasih pada seluruh putra dan putri Kakek yang sudah bekerja keras untuk menyembuhkan perasaan Kakek.”
Aku dan Bu Feni mendengarkan Kakek dengan seksama sambil sesekali menyeruput teh tarik buatan Kakek.
“Kakek juga berterima kasih secara khusus untuk Adi. Kamu telah membuat Kakek kembali merasakan kenangan bersama Nenek.”
Aku menoleh ke arah Bu Feni. “Nenek adalah pelukis dan mereka bertemu saat Kakek meminta Nenek untuk melukis wajahnya.”
“Sekarang Kakek bisa kembali bekerja dan lukisan Nenek ini.” Kakek lalu mengeluarkan sesuatu dari bawah meja. “Letakkan di dalam kedai dan kamu Kakek beri amanah untuk melanjutkan mengelola kedai bersama Feni, putriku.”
“Memangnya Kakek mau pergi kemana?” tanyaku polos.
“Kakek disini hanyalah seorang pertapa tua yang meninggalkan tempat pertapaannya. Sudah waktunya Kakek kembali.”
Semenjak itu aku mulai paham tentang siapa sebenarnya sosok Kakek. Kehilangan adalah pukulan yang paling berat setelah kita mampu memiliki segalanya, begitu kata-kata terakhir Kakek sebelum kami berpisah di ruang tunggu bandara. Tetapi ternyata menghadirkan kenangan indah mampu memberikan semangat baru untuk menjalani kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H