Sudah lebih dari seminggu ini aku tidak mendatangi kedai Kakek semenjak Ibu selalu memaksa untuk mengantarkanku pergi ke sekolah.
“Biar Adi nggak capek pulang pergi dan bisa konsentrasi belajar. Jadi, Adi tidak boleh menolak tawaran Ibu!” begitu katanya saat makan malam terakhir sebelum ujian. Benar sih kedengarannya tidak memaksa, tapi mata Ibu yang sebesar bohlam jadinya tambah besar.
“Tapi Adi sudah kelas sebelas, Bu. Ya ampun, apa kata teman-teman nanti?!” seruku cemas.
Namun keputusan sudah ditetapkan, jadi sejak hari itu aku tidak pernah lagi melewati alun-alun kota seperti biasa sampai hari ini.
“Sudah dua hari ini kedainya tutup, Dik.” Kata seorang penjual siomay yang memiliki tenda tepat di sebelah kedai Kakek.
“Kemana perginya?” tanyaku.
Dia hanya mampu menggelengkan kepalanya membuatku jadi lemas seketika. Aku pulang dengan langkah gontai tidak bersemangat. Kemana Kakek pergi dan siapa yang bisa kutanyai tentang keberadaannya adalah pertanyaan yang terus berulang di kepalaku. Padahal Aku ingin bercerita pada Kakek tentang anak autis yang kuajari menggambar. Kehebatannya dalam melukis bahkan melebihi anak normal seusianya yang hobi melukis.
***
“Selamat sore, Rio!” kusapa Rio, murid pertamaku hampir dua bulan ini. Dia membalas dengan tersenyum sambil mengayunkan kuas yang sudah dipegangnya sedari tadi.
“Dia sudah nggak sabar menunggu gurunya.” Begitu kata sang Ibu padaku. Nah, Aku baru ingat kalau ibunya Rio adalah salah satu pelanggan di kedai Kakek. Mungkin dia tahu sesuatu, pikirku.
“Oh ya, Bu Fen, tahu tidak kalau sudah dua hari ini kedai Kakek tutup?” tanyaku berbasa-basi sambil mengajari Rio salah satu teknik mewarnai.