Mohon tunggu...
Wahyu Aning Tias
Wahyu Aning Tias Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia yang mempercayai menulis untuk menyembuhkan

Terimakasih Marx, Kafka, Dostoyevski, Chekov, Camus, Murakami, Coelho, Rumi Dari kalian mengalir kefasihan bertutur dan kebijaksanaan dalam diam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bapak Tua dan Secangkir Teh

16 Maret 2017   08:45 Diperbarui: 16 Maret 2017   08:49 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bu Feni menghentikan kegiatan membacanya sembari menghela napas panjang.

“Saya sudah tahu Kamu akan menanyakan hal itu.”

Aku mengernyitkan dahi. Bu Feni kemudian bangkit dari duduknya, mengambil sebuah album foto dari lemari dan menyodorkannya padaku.

“Kakek yang selalu kau temui itu adalah ayahku, lebih tepatnya ayah kami. Kami duabelas bersaudara semuanya adalah pelanggan Kakek. Tidak ada yang tahu mengenai hal ini, karena ini memang murni skenario Kami bersama untuk menghibur Ayah. Ayah hanya memiliki satu orang pelanggan yang berasal dari luar, yaitu kamu.”

Aku bingung mendengarnya, tetapi saat kubuka album foto, aku tahu Bu Feni sama sekali tidak berbohong.

“Semenjak kepergian Ibu kami sekitar empat bulan yang lalu, Ayah seperti kehilangan semangat hidupnya. Ayah selalu berkata ingin menyusul Ibu dan membuat kami cukup prihatin dengan keadaan beliau. Lalu, kami memutuskan untuk membawa Ayah menemui psikiater dan kedai itu adalah salah satu bentuk terapinya. Kami juga banyak berterima kasih sama kamu, Adi. Berkat kesukaanmu akan melukis dan lukisan seperti mempertemukan lagi Ayah dan Ibu kami.” Bu Feni berkata dengan mata berkaca-kaca.

Aku juga jadi ikutan terharu sampai menitikkan airmata yang buru-buru kulap dengan punggung tanganku.

Rio acuh tak acuh, dia masih sibuk menerapkan teknik mewarnai terbarunya.

“Setelah selesai mengajar hari ini. Saya akan antarkan kamu ke tempat Kakek.”

“Kaakeeek…” tiba-tiba Rio berseru.

Sepanjang perjalanan aku berdebar-debar. Rasanya seperti ikut acara reality show dimana Aku adalah pelapor yang sedang mencari keberadaan orang terdekatnya. Biasanya sih, kalau sudah masuk adegan antar-mengantar begini, ujung-ujungnya pasti ke pemakaman. Tetapi, dugaanku keliru seratus delapan puluh derajat, aku malah diantar ke sebuah vila mewah yang memakan waktu sekitar tiga puluh menit dari kediaman Bu Feni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun