Aku bengong.
“Itu adalah bayaran untuk tehmu malam ini.”
Sesampainya di rumah, aku dengan tergesa masuk kamar dan mengeluarkan semua alat gambarku dari dalam ransel. Aku memanfaatkan semangatku untuk menggambar dalam buku sketsa tentang yang baru saja diceritakan oleh Kakek tadi. Besok akan kutunjukkan hasil imajinasiku tentang pertapa Jepang itu pada Kakek.
“Adiiiii, makan malam duluuuu..!!” seru Ibu dari bawah tangga.
“Yaa, Buu!”
***
“Hmm...lumayan...bagus...bagus sekali...” kata Kakek sambil tidak henti-hentinya memandangi gambar hasil imajinasiku tentang pertapa tua semalam.
“Jadi, bagaimana menurut Kakek? Lumayan, bagus, apa bagus sekali?” tanyaku penasaran.
“Eh, begini saja...” dia lalu mengeluarkan sebuah termos stainless berukuran sedang. “Berikan ini pada Ibumu. Kalau dia memberikan nilai yang bagus pada teh buatan Kakek ini, maka itu berlaku sama pada hasil karyamu. Bagaimana, cukup adil, kan?!” tanyanya sembari tersenyum. “Sekarang pulanglah. Ibumu pastinya sudah mencemaskanmu. Jangan lupa hari Minggu, ya?!”
“Pastiiii…!!” kataku sambil menunjukkan kedua jempol tanganku. Hari ini aku terlambat lagi, menjadi panitia Pentas Seni di sekolah menguras habis energi dan waktuku. Jadi, kami sepakat untuk melakukannya di hari Minggu saja.
Jam Baby G–ku sudah pukul setengah sepuluh malam. Kukayuh sepedaku lebih cepat agar segera sampai ke rumah.