Mohon tunggu...
Wahyu Aning Tias
Wahyu Aning Tias Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia yang mempercayai menulis untuk menyembuhkan

Terimakasih Marx, Kafka, Dostoyevski, Chekov, Camus, Murakami, Coelho, Rumi Dari kalian mengalir kefasihan bertutur dan kebijaksanaan dalam diam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bapak Tua dan Secangkir Teh

16 Maret 2017   08:45 Diperbarui: 16 Maret 2017   08:49 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kakek menghentikan kegiatannya sejenak, lalu mengajakku untuk duduk di dalam. Dia kemudian membawa nampan berisi cangkir dan seteko teh. “Minumlah. Sepertinya Kamu lelah sekali setelah seharian di sekolah.” Kata Kakek sambil memperhatikanku yang masih mengenakan seragam sekolah.

“Kamu tahu darimana daun teh berasal?”

Aku menggeleng, “tidak tahu, Kek.”

“Dalam sebuah legenda Jepang disebutkan bahwa pernah ada seorang pertapa Budhha bernama Daruma memotong kelopak matanya agar dia tidak tertidur saat melakukan meditasi. Kesungguhannya rupanya membuat dewa tersentuh dan memberinya berkah dengan menumbuhkan tanaman teh dari tempat jatuhnya kelopak mata sang pertapa. Dia lalu menyeduh daun teh itu menjadi minuman dan mengetahui bahwa seduhan teh bisa membantunya menghilangkan rasa kantuk saat melakukan meditasi. Karena itu, kesungguhanmu dalam berusaha pasti  memiliki nilai tersendiri di mata Tuhan Yang Maha Tahu. Jadi, jangan selimuti dirimu dengan perasaan bersalahmu itu.” Kakek menatapku seolah sedang memberikan petuah pada anaknya. “Kakek tahu Kamu telah berusaha menepati janjimu.” Katanya lalu menepuk bahuku.

Aku senang sekali mendengarnya sampai Aku berpikir seandainya guru kelas mengatakan hal itu pada muridnya yang datang terlambat, ‘tidak masalah. Bapak tahu kamu sudah berusaha untuk sampai ke sekolah.’. Pasti menyenangkan.

“Terima kasih, Kek. Teh, cerita serta petuahnya membuat saya jadi semangat. Rasanya jadi tidak sabar menunggu besok untuk melukis.” Kataku senang.

Kakek tersenyum, matanya berbinar puas.

“Kamu bisa, kan menggambar apa yang baru saja Kakek ceritakan?”

“Hahh??” aku terkejut mendengar pertanyaan Kakek, padahal janjiku belum kupenuhi.

“Entahlah, Kek. Aku tidak tahu kalau tidak mencobanya”

“Kalau begitu cobalah.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun