Aku menggeleng, “kubuang ke tempat sampah semuanya.”
Kakek kembali duduk sambil berpikir sejenak. “Memangnya kamu melukis apa?”
“Aku mencoba meniru lukisan Da Vinci, Vitruvian Man.”
Kakek terkekeh-kekeh mendengarnya. “Kenapa kau bodoh sekali, Nak. Membuang-buang kertas hanya untuk meniru lukisan orang lain.”
Aku tersenyum saja mendengarnya. Memang terkadang aku menjadi demikian bodoh untuk mencari tahu apa yang sebenarnya aku inginkan.
Sedikit demi sedikit warna yang aku torehkan mulai menghidupkan sosok yang aku gambar. Kakek setia menemani di belakangku, terkadang terhenti sejenak untuk melayani pelanggan. Aku menyuruh Kakek untuk membuka kedai setelah aku selesai menggambar sketsanya. Terkadang orang akan tertarik saat melihat seseorang menunjukkan kebolehannya memberi warna.
“Kakek buka saja kedainya. Mungkin saja saat pelanggan melihatku mewarnai mereka jadi terhibur. Syukur-syukur kalau tiba-tiba ada yang menawariku menjadi guru les privat menggambar.” Begitu kataku sambil nyengir ke arah Kakek.
Benar saja, setiap kali ada pelangan datang, mereka seperti tertarik saat melihat kebolehanku di atas kanvas. Setelah lima atau tujuh pelanggan kemudian, seorang Ibu paruh baya memberiku kartu namanya dan mengundangku datang ke rumahnya minggu depan untuk mengajari anak pertamanya yang autis menggambar.
“Dia suka sekali menggambar, mencorat-coret tidak beraturan. Mungkin kalau kamu mau mengajarinya, Saya akan sangat senang sekali.”
Aku harus memberitahu Ibu tentang kejadian hari ini. Hari yang paling kunikmati selama menjadi seorang pelajar biasa.
***